Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Peran UU ITE dalam Kasus Cyber Bullying dan Target Sasaranya
13 Desember 2022 17:50 WIB
Tulisan dari Rizkinta Nathania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
1.Permasalahan umum yang sering terjadi secara garis besar

Apa yang anda pikirkan dengan perkembangan teknologi?
ADVERTISEMENT
Seiring dengan berkembangnya teknologi seperti, internet dan media sosial merupakan suatu kesempatan besar untuk setiap tindakan, baik secara positif maupun negatif. Namun, suatu permasalahan utamanya adalah bentuk kejahatan secara luring di mana pelaku tersebut melakukan segala bentuk penindasan kepada korban yang awalnya didominasi oleh suatu motif, yaitu motif kompetensi merupakan motif untuk membuktikan kepada orang sekitar bahwa pelaku Cyber Bullying itu bisa menggunakan kekuasaannya secara sewenang untuk menindas orang lain.
Tak jarang juga kita menemukan anak dari orang yang memiliki pengaruh besar, terutama dalam bidang hiburan atau yang dikenal dengan public figur yang kerap mendapatkan penindasan secara tidak wajar dan merupakan sasaran utama dari tindakan Cyber Bullying. Hal tersebut juga sesuai dengan paparan dari Muhadjir Effendy, selaku dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bahwa sebanyak 45% tindakan Cyber Bullying menyerang anak di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bukankah data tersebut terdengar sangat memprihatikan?
2.Contoh Kasus dan Analisis secara Yuridis
Salah satu contoh kasusnya adalah kasus Betrand Peto yang di mana pelakunya juga sesama anak (di bawah 18 tahun). Betrand sendiri kerap mendapatkan penghinaan secara fisik, ancaman, dan tindakan rasisme yang menyangkut agama sehingga orang tuanya, Ruben Onsu dan Sarwendah memutuskan untuk melakukan proses secara hukum.
Apabila ditinjau secara yuridis, pelaku tersebut sudah mendapatkan beberapa pelanggaran, yaitu menyangkut pada Undang Undang No. 8 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tepatnya Pasal 27 ayat 3 yang berisikan : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Hal tersebut sesuai dengan tindakan pelaku yang dilandasi dengan unsur kesengajaan dalam tindakan penghinaan, terutama penghinaan secara fisik sehingga bisa mengarah pada kasus pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Pasal 27 ayat 4 yang berisikan : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.” Hal tersebut sesuai dengan tindakan pelaku yang melakukan ancaman kepada Bertrand, yaitu mengenai pengancaman untuk membunuhnya.
Pasal 28 ayat 2 yang berisikan : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).” Hal tersebut sesuai dengan kondisi yang dialami oleh Betrand yang telah dilaporkan bahwa dia mendapatkan perilaku yang tidak mengenakkan, yaitu berupa rasisme, mengenai bagaimana tindakan pelaku tercerminkan melalui unsur kesengajaan dalam menggunakan agama tertentu untuk mengolok Bertrand.
ADVERTISEMENT
3. Solusi dan Upaya Penanggulangan Kasus Cyber Bullying
Dampak yang dihasilkan terjadi kepada dua pihak, yaitu dari sisi pelaku dan sisi korban, yaitu Betrand. Karena melihat pelakunya juga masih tergolong belum dewasa sehingga dibutuhkan suatu penanganan secara khusus, salah satunya memproses jalur hukum secara alternatif, berupa pembinaan yaitu melalui Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial atau disingkat sebagai LPKS atau bisa disebut dengan Restorative Justice selama 3-6 bulan.
Hal tersebut bisa dilihat bahwa bukan merupakan hukuman penjara atau denda mengingat bahwa Pasal 1 Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan bahwa setiap anak itu berhak untuk tumbuh kembang dengan optimal, salah satunya harus mendapatkan perlindungan atas tindakan yang diskriminatif, melihat kehidupan di penjara sangat kejam dan keras sehingga hal tersebut bukan malah membentuk kepribadian pelaku lebih baik, tetapi malah lebih buruk karena sering melihat kekerasan yang sering dilakukan oleh narapidana yang lain yang berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan sosiologis pelaku.
ADVERTISEMENT
Namun, mempertimbangkan juga dari pelaku juga harus tetap bertanggung jawab atas segala bentuk ucapan secara daring yang ternyata sama menyakiti dan membuat korban merasa trauma dan tidak berharga , terlepas korban tersebut merupakan anak artis yang “mungkin” orang lain melihat kehidupan anak artis itu “sempurna” karena bisa dilihat bahwa kasus ini tidak bisa hanya diselesaikan secara musyawarah atau dengan pernyataan maaf saja, tetapi kita juga harus melihat dari sisi korban itu sendiri karena telah menerima kata- kata yang tidak wajar, yaitu merupakan ancaman, rasisme, dan penghinaan yang berdampak secara sosial, psikis, maupun fisik. Hal yang sulit untuk dilupakan dan diterima adalah ketika harus berdamai dengan trauma atas perkataan yang menyakitkan yang nantinya berdampak besar terhadap kehidupan si korban terlepas apa pun itu kondisinya.
ADVERTISEMENT
Melihat dari kasus tersebut dan paparan dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, hal tersebut merupakan suatu urgensi bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung yang diiringi dari peran pemerintah, menteri, lembaga pendidikan, lembaga sosial, maupun masyarakat sekitar untuk mengedukasi seluruh lapisan masyarakat untuk menghindari tindakan Cyber Bullying, bukan sekedar berpikir bahwa hanya pemerintah yang bisa menangani kasus tersebut melalui pengesahan UU ITE.
Salah satunya dengan mempergunakan platform media sosial dengan bijaksana dan mampu menanggulangi dengan baik apabila mengalami secara langsung tindakan tersebut, melihat anak merupakan calon generasi penerus bangsa yang seharusnya menciptakan suatu budaya untuk tidak menolerir ataupun melakukan normalisasi baik secara langsung dan ataupun tidak langsung terhadap segala bentuk penghinaan dan penindasan yang ada di media sosial karena mengingat kasus ini bukan hanya berlaku antar individu, tetapi berlaku secara umum karena bagaimana nasib bangsa Indonesia kedepannya apabila masih menggunakan media sosial untuk menghujat satu sama lain tanpa berpikir mengenai pentingnya kesadaran hukum dalam bertindak?
ADVERTISEMENT