Konten dari Pengguna

Partisipasi Opinion Leader dalam Strategi Komunikasi Penanganan Krisis Covid-19

Rizkiya Ayu Maulida
Dosen Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta. Pengamat isu Komunikasi Publik dan Komunikasi Pemerintah. Alumni University of Leeds, UK. Contact: [email protected]
8 April 2020 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizkiya Ayu Maulida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa di Indonesia terdapat dua orang penderita Corona melalui konferemsi pers di depan awak media. Beberapa hari kemudian, pemerintah menunjuk Achmad Yurianto, sebagai Juru Bicara Pemerintah Khusus Corona, dimana Yurianto diminta untuk memberikan informasi mengenai Corona dengan Bahasa yang sederhana, yang dapat dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Setiap hari, Ahmad akan memberikan informasi memgenai perkembangan terbaru penanganan wabah Covid-19, melalui konferensi pers, yang kemudian disiarkan melalui kanal media yang ada.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, konferensi pers masih menjadi medium andalan pemerintah untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan penanganan kasus Corona di Indonesia. Selain menggunakan konferensi pers, informasi terkait penanganann Corona disalurkan melalui akun social media milik instansi yang memiliki otoritas terkait Corona. Kementerian Kesehatan, misalnya, lebih banyak menyalurkan informasi melalui platform social media milik institusi mereka, seperti Instagram @KemenkesRI dan akun Twitter @KemenkesRI. Pemda DKI Jakarta juga merupakan salah satu otoritas terkait yang secara konsisten memberikan informasi mengenai perkembangan penanganan Corona. Mengingat wabah Corona mempengaruhi berbagai lini kehidupan, informasi yang dibagi melalui akun Instagram Pemda DKI Jakarta, tidak hanya informasi yang berkaitan dengan penanganan wabah Corona secara medis, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terdampak, seperti pelayanan transportasi umum, obyek wisata, sekolah dan sebagainya. Tulisan ini akan membahas mengenai kebijakan komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat mengenai penanganan Corona, terutama pada pemilihan channel (saluran), komunikasi agar informasi dapat sampai kepada masyarakat yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Juru Bicara Pemerintah Khusus Covid-19, Achmad Yurianto, memberikan keterangan pada koferensi pers, di Kantor Presiden, DKI Jakarta (Foto: Sekretariat Kabinet)
Saluran Komunikasi Kurang Merata
Pada proses komunikasi, agar pesan yang disampaikan dapat sampai kepada target audiens, maka pemilihan saluran komunikasi harus menyesuaikan dengan media habit (kebiasaan menggunakan media) target audiens. Selama ini, pemerintah pusat mengandalkan media konvensional dan media digital untuk menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Corona. Konferensi pers yang dilakukan oleh Achmad Yurianto setiap harinya, diliput oleh media untuk kemudian disebarkan melalui berbagai kanal media massa. Pernyaan Presiden Jokowi disiarkan melalui akun Instagram Presiden Jokowi.
Pertanyaannya, apakah seluruh saluran komunikasi yang digunakan pemerintah dapat menjangkau seluruh rakyat Indonesia? Berapa persen jumlah rakyat Indonesia yang memiliki akses terhadap televisi dan bentuk media massa lainnya? Apabila mereka menggunakan media digital, apakah mereka tertarik untuk mengakses platform yang memiliki informasi yang berhubungan dengan Corona?
ADVERTISEMENT
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018, ada 171,17 juta pengguna internet di Indonesia, dimana mencapai lebih dari separuh penduduk Indonesia. Akan tetapi, survey yang sama menunjukkan bahwa 24,7% pengguna internet menggunakan internet untuk berkomunikasi dan 18% menggunakan internet untuk mengakses social media. Hanya 5% yang menggunakannya untuk akses berita. Padahal, sebagian besar informasi dari perintah disalurkan melalui situs berita online. Apabila disampaikan dengan menggunakan akun social media dari situs berita online tersebut tidak menjamin apakah masyarakat akan mengakses konten dari akun social media tersebut karena sifat internet yang memberi kebebasan kepada user-nya untuk mengakses konten sesuai dengan kebutuhan mereka.
Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, keluarga pasien PDP nekat membawa pulang jenazah anggota keluarganya dengan menggunakan mobil pribadi (Kompas.com, 2020). Hal tersebut menunjukkan bahwa kurangnya informasi mengenai corona, sehingga masyarakat tidak mengetahui protocol penananganan jenazah pasien Corona. Di Banyumas, jenazah korban Corona dilempari dengan batu oleh masyarakat yang tinggal di daerah tersebut. Begitu juga dengan pemahaman masyarakat yang setengah-setengah mengenai konsep lockdown dan social distancing. Di beberapa wilayah masih ada masyarakat yang menerapkan lockdown untuk kampung mereka, namun alih-alih menerapkan social distancing, masyarakat justru bergerombol di pintu masuk kampung mereka. Semua itu bersumber dari kurangnya edukasi dan informasi kepada masyarakat mengenai penanganan virus Covid-19.
ADVERTISEMENT
Selain tidak meratanya saluran komunikasi yang digunakan pemerintah, masalah lainnya adalah pemerintah tidak memiliki satu sumber khusus yang berisi segala informasi mengenai Corona. Masyarakat menjadi tidak memiliki sumber yang dapat dijadikan rujukan. Informasi tersebar melalui pada berbagai kanal yang dirangkum dari berbagai sumber, baik melalui lembaga yang memiliki otoritas di bidang kesehatan, situs berita online, dan sebagainya. Ketika akhirnya pemerintah meluncurkan situs khusus yang menjadi sumber informasi penanganan Covid-19 dan layanan Whatsapp khusus mengenai perkembangan penanganan Corona, informasi tersebut sudah terkaburkan oleh berbagai perkembangan isu yang ada, sehingga masyarakat tidak menggunakan layanan dari pemerintah tersbeut sebagai rujukan. Ditambah, kesadaran masyarakat Indonesia untuk secara aktif mencari sendiri informasi yang kredible juga masih rendah. Masyarakat Indonesia lebih menyukai informasi yang disuapkan langsung ke mereka, tanpa memeriksa kredibiltas dari sumber pesan tersebut. Salah satunya, melalui pesan yang mereka terima dari grup Whatssapp.
ADVERTISEMENT
Strategi Jemput Bola untuk Komunikasi Penanganan Corona
Dalam menangani krisis Corona, selain menggunakan berbagai media untuk menjangkau masyarakat, pemerintah pusat harus melibatkan otoritas local dan pihak yang menjadi opinion leader pada suatu komunitas. Pihak-pihak tersebut adalah pihak yang bertugas mengantarkan informasi kepada masyarakat, dalam hal ini adalah otoritas yang terkait kesehatan, seperti Dinas Kesehatan setempat serta pemuka pendapat di masyarakat local, seperti Ketua RT/RW, warga yang dituakan dan sebagainya.
Implementasi dari strategi jemput bola tersebut berangkat dari kesadaran bahwa jika masyarakat belum memiliki kesadaran untuk mengakses sendiri informasi yang mereka butuhkan, maka informasi tersebut yang harus datang kepada mereka. Disamping itu, terdapat kemungkinan bahwa masyarakat tidak memiliki akses terhadap media. Padahal, pesan sudah disampaikan melalui media yang biasa mereka akses.
ADVERTISEMENT
Mengingat wilayah Indonesia yang luas, maka strategi jemput bola ini tidak bisa hanya dikomando oleh pemerintah pusat. Pemerintah perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melibatkan otoritas setempat untuk memberikan sosialisasi. Apa yang dilakukan oleh Walikota Surabaya Tri Risma Harini yaitu berkeliling kota dengan menggunakan speaker, sambil memberikan instruksi kepada masyarakat untuk melakukan praktik socal distancing mampu menjembatani gap yang tidak dapat diisi oleh saluran media above the line. Akan tetapi, dibutuhkan upaya yag lebih terstruktur sehingga dapat mencapai seluruh lapisan masyarakat. Upaya yang dilakukan Risma hanya mencapai masyarakat yang berada di sekitar jalanan yang dilewati Risma.
Inisiatif Pemerintah Kota Surabaya tersebut dapat ditiru oleh pemerintah daerah lain. Akan tetapi, agar hal tersebut terjadi, maka pemerintah pusat perlu memberikan komando kepada seluruh jajaran pemerintah darerah agar dapat dilakukan secara merata.
ADVERTISEMENT
Melibatkan Opinion Leader
Lazarsfeld (1944) mengungkapkan konsep two-steps flow of communication, dimana opinion leader yang berada di masyarakat dapat menjadi penyambung lidah bagi informasi yang terdapat pada media massa. Opinion leader umumnya memiliki status social yang tinggi di mata masyarakat, sehingga mereka dapat mempengaruhi opini publik. Temuan Lazafrsfeld tersebut dipatahkan bersamaan dengan semakin mudahnya akses media massa ke seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi, pada masyarakat yang memiliki literasi digital rendah serta memiliki kesadaran rendah untuk mengakses informasi yang penting bagi mereka, peran opinion leader ini ternyata masih sangat besar. Sebuah penelitian mengenai isu perubahan iklim di Amerika Serikat yang dilakukan oleh American University, Washington DC, pada tahun 2009, mengatakan bahwa walaupun informasi mengenai perubahan iklim mudah untuk ditemukan, akan tetapi kepedulian masyarakat terhadap isu tersebut masih sangat rendah. Hal itu disebabkan karena masyarakat memilih konten media berdasarkan preferensi mereka, yang sering kurang peduli terhadap isu actual yang terjadi. Selain itu, penelitian yang dilakukan Keller dan Berry (2003) mengatakan bahwa masyarakat cenderung lebih percaya pada informasi yang berasal dari orang yang mereka kenal, seperti kolega, teman dan kelurga. Oleh karena itu, melibatkan opinion leader local ini penting agar informasi dapat sampai kepada masyarakat yang membutuhkan. Selain itu, masyarakat akan lebih mudah percaya dengan komunikator yang memiliki kesamaan dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Peran opinion leader ini dapat dilihat pada strategi yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, pada wawancaranya di akun Youtube Dedy Corbuzier mengatakan bahwa mereka mengadakan sosialisasi kepada masyarakat yang rentan terhadap penyakit Covid-19 melalui kegiatan pengajian, perkumpulan PKK, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah DKI Jakarta mengeluarkan arahan kepada Ketua RT/RW sebagai ujung tombak penanggulangan Corona. Pada akun Instagram @dkijakarta terdapat unggahan yang berisi arahan mengenai tugas Ketua RT/RW terkait penanganan Corona. Arahan tersebut berisi antara lain agar Ketua RT/RW mengedukasi warga yang memiliki gejala Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri, menginformasikan kepada warga mengenai langkah yang tepat untuk mengatasi virus Corona serta memberikan edukasi kepada warga agar tidak memberikan stigma negatif terhadap ODP, PDP dan pasien yang positif Covid-19.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta.. Pada 23 Maret 2020, Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan imbauan kepada warga DIY yang berjudul “Sapa Aruh Rakyat” . Dalam pidato yang disampaikan dengan Bahasa Jawa tersebut, Sultan menyampaikan imbauan untuk melakukan social distancing serta untuk melakukan laku prihatin karena sedang dalam masa pagebluk (wabah penyakit). Imbauan tersebut diikuti oleh semua warga DIY. Terbukti, keesokan harinya, (24/04), berdasarkan rekaman kamera pengawas, nyaris tidak ada kegiatan di tempat umum di kota Yogyakarta. Bagi masyarakat Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X bukan hanya seorang pemimpin, akan tetapi juga merupakan seorang panutan.
Protokol Komunikasi untuk Situasi Krisis
Segala blunder komunikasi publik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki protocol komunikasi publik yang baku pada saat terjadi krisis. Tebukti, dari pemilihan media yang dilakukan pemerintah yang kurang komprehensif. Selain itu, upaya komunikasi publik ini tidak bisa diremehkan lagi pada situasi bencana, selain upaya penanggulangan bencana itu sendiri. Pasalnya, pada saat krisis, masyarakat membutuhkan sumber informasi yang akurat, cepat dan terpercaya untuk menghindari kepanikan. Apabila dengan di era sekarang, dimana informasi dapat menyebar dengan cepat, tanpa disertai dengan tingkat literasi digital yang tinggi. Keadaan Indonesia yang rawan bencana pun menjadikan penyusunan protocol komunikasi saat terjadi bencana ini adalah suatu keharusan. Terakhir, komunikasi publik yang baik akan sia-sia jika masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk mengakses informasi yang berkualitas. Masyarakat yang sudah terampil memfilter informasi tentu akan mengurangi beban kerja pemerintah saat terjadi situasi krisis. Oleh karena itu, peningkatan literasi digital sebagai solusi jangka panjang juga harus dilakukan.
ADVERTISEMENT