Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kekerasan Oknum Prajurit Militer: Dampak, Sebab, dan Solusi
14 Desember 2024 19:06 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rizky Anugrah Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Fenomena kekerasan dan potensi penurunan kepercayaan publik
Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh peristiwa penyerangan terhadap warga oleh 33 oknum prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terjadi di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang yang menyebabkan 1 orang warga sipil meninggal dan 13 warga sipil luka-luka.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut menambah daftar panjang konflik antara sipil vs oknum prajurit militer. Terlepas dari sebab awal penyerangan tersebut menimbulkan pro dan kontra. Tapi tetap saja, apapun alasannya tidak dengan serta-merta menghalalkan penyerangan terhadap warga sipil.
Fenomena tersebut tentu dapat mengancam penurunan kepercayaan publik terhadap militer. Sebab, menurut data survey kepercayaan publik yang dilakukan Indikator pada Januari 2024. Masih menempatkan TNI pada urutan paling atas sebagai lembaga yang paling dipercaya masyarakat dengan persentase 89,3%.
Salah satu alasan yang menyebabkan timbulnya kekerasan yang berujung penyerangan oleh oknum prajurit militer terhadap warga sipil terus terjadi adalah sistem peradilan militer yang ada saat ini masih belum mencerminkan asas equality before the law serta Undang-Undang Peradilan Militer yang sudah usang. Sistem peradilan militer di dalam Undang-Undang Peradilan Militer sudah tidak relevan dan tidak lagi sejalan dengan semangat reformasi.
ADVERTISEMENT
Apalagi undang-undang tersebut dibuat pada saat militer masih memiliki kekuatan politik di pemerintahan. Sehingga politik hukumnya cenderung menguntungkan kelompok militer. Sistem yang berjalan selama ini hanya menjadi sarana impunitas bagi oknum prajurit militer yang melakukan kekerasan. Implikasinya adalah terjadinya polemik yang berulang antara sipil vs oknum prajurit militer.
Data dari Imparsial menunjukkan sepanjang Januari hingga November 2024 telah terjadi kurang lebih 25 peristiwa kekerasan oknum prajurit militer terhadap warga sipil. Tentu, hal ini sepatutnya telah menjadi alarm darurat yang harus dijadikan pengingat bahwa betapa pentingnya dilakukan reformasi di dalam peradilan militer agar tidak terjadi pengulangan konflik yang berkesinambungan.
Sistem peradilan militer dan asas equality before the law
Asas equality before the law atau dikenal juga sebagai asas persamaan hak di hadapan hukum adalah asas di dalam hukum yang memandang bahwa siapapun ia baik orang perorangan atau badan hukum ketika terlibat dalam sebuah perkara hukum maka dianggap sama tanpa adanya perbedaan atau bahkan diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum mengejawantahkan secara tegas prinsip dari negara hukum dengan mencantumkan asas tersebut di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada Pasal 27 Ayat (1) yang mengatakan bahwa “Segala warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung hukum tersebut tanpa pengecualian”.
Hal ini menegaskan bahwa setiap warga negara di Indonesia itu tunduk dan sama kedudukannya di hadapan hukum ketika ia terlibat perkara hukum, baik itu kaya, miskin, tua, muda, perseorangan, kelompok, sipil, maupun prajurit militer.
Pada dasarnya pinsip asas equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum adalah salah satu pilar fundamental yang mendasar dalam sistem hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua warga negara. Hal ini berarti bahwa setiap individu, termasuk prajurit militer itu sendiri harus tunduk pada hukum dan memiliki hak yang sama di dalam proses peradilan.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Yang seringkali terjadi adalah penolakan untuk memproses oknum prajurit militer melalui peradilan umum ketika mereka terlibat dalam tindak pidana sehingga menghambat proses hukum yang layak (due process of law).
Terdapat keistimewaan apabila seorang prajurit militer terlibat sebuah tindak pidana. Pasal 9 Angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer (Undang-Undang Peradilan Militer) memberikan kewenangan yurisdiksi bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit militer atau anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang militer.
Hal ini menunjukkan adanya keistimewaan yang menciptakan ilusi kekebalan hukum terhadap oknum prajurit militer dan menghapuskan pertanggungjawaban yang seharusnya dihadapi di peradilan umum. Padahal prinsip kesetaraan di hadapan hukum telah menekankan bahwa penegakan hukum wajib dilakukan secara adil dan setara, tanpa adanya perlakuan khusus untuk kelompok tertentu termasuk pula oknum prajurit militer itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Beberapa kasus pernah menjadi sorotan media dan publik secara luas, misalnya skandal korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas), kasus korupsi terkait pembelian helikopter AW-101, korupsi pengadaan alutsista di Kemenhan, korupsi dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD), korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi Bakamla.
Namun demikian, tetap saja proses hukum yang berjalan seringkali menghadapi kendala dalam yurisdiksi sistem peradilan, ditambah lagi dengan intervensi politik yang berusaha agar oknum prajurit militer tidak diproses melalui peradilan umum. Pada akhirnya menjadikan sistem peradilan militer sebagai sarang impunitas, menciptakan ketidakpercayaan dalam sistem peradilan.
Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menunjukkan bahwa sepanjang Oktober 2021 hingga September 2022, pengadilan militer telah mengadili kurang lebih 61 perkara dengan 152 terdakwa. Namun hukuman yang diberikan terhadap terdakwa sangat ringan dengan mayoritas vonis hanya berupa penjara dalam hitungan bulan.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga disebabkan karena militer memiliki pengaruh yang cenderung kuat dalam politik Indonesia untuk melakukan intervensi politik agar oknum prajurit yang terlibat tindak pidana cukup diproses di peradilan militer. Implikasinya adalah hambatan dalam proses hukum yang adil, setara dan layak. Keistimewaan ini menunjukkan bahwa dalam implementasinya asas equality before the law tidak cukup sakti saat berhadapan dengan oknum prajurit militer.
Reformasi sebagai solusi
Sebetulnya, mandat untuk melakukan reformasi terhadap sistem peradilan militer ini secara tegas telah tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Undang-Undang TNI), tepatnya pada Pasal 65 Ayat (2) yang berbunyi “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Selain itu, TAP MPR No. VII Tahun 2000 juga secara tegas telah membatasi ruang antara sipil dan militer.
ADVERTISEMENT
Ketentuan dalam Undang-Undang Peradilan Militer yang memperbolehkan pengadilan militer memproses tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer jelas bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang TNI yang mengatakan bahwa prajurit militer harus tunduk pada peradilan umum apabila melakukan tindak pidana.
Agenda prioritas percepatan reformasi hukum salah satunya melakukan reformasi peradilan melalui revisi Undang-Undang Pengadilan Militer sebetulnya sudah diusulkan dalam prolegnas 2025. Langkah ini memang dinilai sangat terlambat. Sebab, sudah lewat dua dekade sejak reformasi dan tentunya dalam kurun waktu tersebut sudah banyak peristiwa yang terjadi. Oleh karena langkah yang terlambat, maka perlu segera dalam tempo yang sesingkat-singkatnya ditempatkan pada urutan prioritas dan dilakukan reformasi.
Sepatutnya prajurit militer sebagai garda terdepan pertahanan Negara yang berarti melindungi segenap rakyat dan bangsa ini mempedomani adagium Salus Populi Suprema Lex Esto yang berarti "keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi".
ADVERTISEMENT
Sehingga ketika seorang oknum prajurit militer terlibat kasus pidana, meskipun regulasi saat ini memperbolehkan militer menolak peradilan umum agar diproses melalui peradilan militer. Berdasarkan prinsip equality before the law dan adagium salus populi suprema lex esto, seyogianya tetap menunjukkan kewibawaan dan mentalitas untuk tunduk pada proses peradilan umum.