news-card-video
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mengenal Supremasi Sipil dan Model Penerapannya di Indonesia

Rizky Anugrah Perdana
Polisi Pamong Praja Ahli Pertama Kabupaten Belitung
27 Maret 2025 9:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Anugrah Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Desain Pribadi Via Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Desain Pribadi Via Canva
ADVERTISEMENT
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik tertinggi berada di tangan rakyat. (Aristoteles). Sejalan dengan pemikiran klasik Romawi dari Juvelai dan Omnia Romae yang mengatakan bahwa demokrasi adalah supremasi sipil, termasuk terhadap komando angkatan bersenjatanya.
ADVERTISEMENT
Jadi, bisa dikatakan posisi kedudukan rakyat yang notabene adalah masyarakat sipil berada di atas militer. Dengan kata lain bahwa rakyat selaku pemegang kekuasaan tertinggi dapat terganggu apabila militer, yang mempunyai wewenang monopoly of violence, penggunaan kekerasan secara sah, tidak berada di bawah kontrol sipil.
Selain itu, dalam jurnal Armed Forces & Society (1992), Kenneth W. Kemp and Charles Hudlin mengatakan bahwa supremasi sipil adalah tradisi demokrasi di Amerika Serikat yang menekankan bahwa angkatan bersenjata suatu negara harus selalu di bawah kontrol masyarakat sipil.
Ciri ideal supremasi sipil dapat dilihat di negara-negara bekas jajahan Inggris, cenderung lebih menonjolkan supremasi sipil. Rakyat lebih percaya kepada warga sipil untuk memerintah negara dibandingkan dengan militer. Hal ini dapat kita buktikan antara lain di negara-negara seperti Singapura, India, Afrika Selatan, maupun New Zealand, sebagai anggota persemakmuran (commonwealth).
ADVERTISEMENT
Pentingnya supremasi sipil di Negara demokrasi
Pada relasi sipil–militer yang otoritarian, tidak ada kontrol sipil atas militer menyebabkan keberadaan pemerintahan sipil kerap dilangkahi oleh militer. Ketika militer mengambil alih sektor sipil, demokrasi seringkali menjadi korban. Rezim militer cenderung mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi seperti pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta partisipasi politik warga negara.
Militer yang tidak berada di bawah kontrol sipil sering kali berujung pada kudeta militer, sebuah upaya untuk menggantikan pemerintahan sipil dengan pemerintahan militer. Dikutip dari jurnal Pacific Affairs, beberapa kasus kudeta militer di dunia kerap berakhir dengan pergantian pemerintahan sipil yang demokratis dengan pemerintahan militer yang otoriter. Dengan kata lain, tanpa supremasi sipil, demokrasi akan sulit untuk ditegakkan. Bahkan, tak jarang dalam mempertahankan kekuasaannya menggunakan kekerasan dan menerapkan hukum darurat secara sewenang-wenang.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu mengambil contoh yang jauh, di kawasan Asia Tenggara misalnya Myanmar. Kurang lebih 50 tahun lebih di bawah pemerintahan junta militer. Saat kepemimpinan Negara berada di tangan sipil yang demokratis, dengan mudahnya pada tahun 2021 lalu digulingkan oleh militer, membungkam oposisi, menekan kebebasan berpolitik, dan memberlakukan hukum darurat.
Contoh lain di Chile, kudeta terhadap kepemimpinan sipil yaitu Presiden Salvador Allende pada tahun 1973. Pemerintahan junta militer mengambil tampuk kekuasaan. Menyebabkan kediktatoran brutal selama 17 tahun berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang parah.
Kemudian di Negara Pakistan. Periode kudeta Pakistan diawali pada tahun 1958 ketika militer Pakistan melakukan pembatalan atas Undang-Undang Dasar (UUD) Pakistan 1956 hingga tahun 2007 ketika Jenderal Musahrraf terpilih menjadi Presiden (Budiardjo, 2008, hh. 126–127). Kondisi ekonomi, sosial, politik di Pakistan luluh lantah akibat banyaknya kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh petinggi-petinggi militer sehingga memperburuk iklim demokrasi pakistan.
ADVERTISEMENT
Sejarah penegakan supremasi sipil di Indonesia
Penegakkan supremasi sipil di Indonesia dimulai pasca-Reformasi 1998. Ditandai dengan dimasukkannya agenda penghapusan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang memperbolehkan militer memegang jabatan sipil selama Orde Baru yang kemudian dirumuskan menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan dianggap sebagai bagian integral dari agenda Reformasi TNI.
Pada era orde baru, ABRI memiliki sebuah kewenangan yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI. Kewenangan tersebut membuatnya memiliki peran sentral dalam pembangunan nasional karena mampu menjalankan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi pertahanan dan fungsi sosial politik (Harisanto, 1993). Sehingga, pada era tersebut ABRI tidak hanya bertugas di barak saja, tetapi juga menempati berbagai posisi strategis di lembaga legislatif dan birokrasi sipil.
ADVERTISEMENT
Kurang lebih 12 menteri dan 27 anggota kabinet, serta 11 orang yang memegang posisi strategis di kementerian berasal dari unsur militer pada tahun 1966 (Winarno, 2007). Selain itu, sejak Juli 1998, ada 14 provinsi dari total 27 provinsi di Indonesia, atau 55,5 persen, yang dipimpin oleh anggota militer (Abdulsalam, 2017). Kemudian, ada sekitar 41,1 persen walikota/bupati dipegang anggota militer di seluruh Indonesia (Abdulsalam, 2017).
Pasca-Reformasi 1998, diskursus untuk mengurangi peranan militer dalam urusan sipil, atau dikenal dengan istilah penguatan supremasi sipil, mulai menguat sejalan dengan menguatnya semangat reformasi. (Sujito, 2002, hh. 122). Meskipun demikian, praktik pelemahan supremasi sipil tetap saja terjadi di Indonesia saat ini.
Model penerapan supremasi sipil di Indonesia
ADVERTISEMENT
Umumnya, dalam sistem pemerintahan demokrasi, hubungan sipil-militer menganut pola supremasi sipil. Sedangkan pada sistem otoritarian, pola hubungan sipil-militer bervariasi derajat perbedaannya. Di satu sisi, adakalanya menganut pola hubungan supremasi militer, tetapi pada sisi lain menganut pola hubungan yang setara. Namun demikian, hubungan sipil-militer dalam sistem pemerintahan otoritarian dalam praktiknya kebanyakan menganut pola supremasi militer.
Samuel P. Huntington, memperkenalkan 2 model pola hubungan antar sipil-militer. Yaitu kontrol sipil subjektif, dan kontrol sipil objektif. Adapun kontrol sipil subjektif membuat militer menjadi lebih dekat ke sipil, sedangkan kontrol sipil objektif membatasi militer untuk tidak masuk ke ranah sipil, sehingga militer murni hanya mengurusi soal pertahanan secara profesional. Pada kedua model ini, Huntington mengidealkan kontrol sipil objektif untuk menciptakan pola hubungan yang sehat. (Hungtignton Samuel P. Prajurit dan Negara; Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (Jakarta Grasindo, 2003).
ADVERTISEMENT
Inti dari hubungan sipil-militer yang sehat, menurut Huntington, adalah bagaimana mewujudkan tentara yang profesional dalam hal ini tentara yang ahli dalam bidangnya sebagai alat pertahanan negara, tunduk pada otoritas sipil, tidak berpolitik, tak berbisnis, tunduk pada aturan hukum, dan kesejahteraannya terjamin.
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah memikiki agenda untuk memprofesionalkan militer dan secara normatif berhasil membuat militer tidak lagi berpolitik. Namun, apabila kita kembali pada teori Huntington, model yang diterapkan di Indonesia lebih cenderung menggunakan model kontrol sipil subjektif ditandai dengan penempatan militer yang relatif lebih dekat dengan masyarakat sipil. Misalnya, secara normatif masih ada jabatan sipil yang boleh ditempati prajurit di luar bidang pertahanan.
Pada akhirnya, hubungan antara sipil-militer yang sehat perlu kesadaran semua pihak untuk menjaganya. Baik itu dari pihak militer yang menyadari profesionalismenya, dan kesadaran masyarakat sipil untuk mengawasinya. Semoga masyarakat sipil, pemerintah dan institusi TNI itu sendiri berkomitmen dalam menjaga marwah demokrasi dengan integritas tinggi dalam penerapan supremasi sipil di Indonesia.
ADVERTISEMENT