Konten dari Pengguna

Polemik Tambang Laut Beriga: Kepentingan Negara atau Kepentingan Rakyat

Rizky Anugrah Perdana
Polisi Pamong Praja Ahli Pertama Kabupaten Belitung
19 November 2024 16:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Anugrah Perdana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Polemik Tambang Beriga. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Polemik Tambang Beriga. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Belum selesai Negara menyelesaikan kasus terkait tata kelola niaga timah yang ditaksir mengakibatkan kerugian ekologis sebesar 271 Triliun. Kini dihadapkan pula dengan ihwal permasalahan sosial baru yang berkaitan dengan tambang laut.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pemberitaan media lokal bahkan nasional. Dikatakan bahwa penambangan laut di Desa Batu Beriga, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, menghadapi polemik yang belum terselesaikan. Warga menuntut agar rencana penambangan dikaji ulang karena mayoritas mata pencaharian utama mereka adalah nelayan.
Di sisi lain, pihak dari PT Timah. Tbk selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mengelola menginginkan semua pihak harus memaklumi dan tidak perlu memperdebatkan. Lantaran mereka mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan merasa bahwa perairan laut Beriga adalah zona tambang laut sebagaimana yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2020-2040.
Dalam konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
ADVERTISEMENT
Jika kita bedah pasal tersebut, unsur terpenting yang terkandung di dalamnya ada pada kalimat terakhir. Dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lantas, jika tambang laut tersebut adalah proyek BUMN yang notabene dikelola oleh Negara, maka seharusnya mempertimbangkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apabila proyek tambang laut tersebut justru mengorbankan mata pencaharian mayoritas masyarakat yang terdampak, apakah layak Negara mengelola tambang laut tersebut?
Dilema Tambang
Sektor pertambangan seolah-olah seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi Negara, namun pada sisi yang lain sebagai penyumbang terbesar kontribusi dalam kerusakan lingkungan di Indonesia. Bahkan, berpotensi menyebabkan krisis sosial di masyarakat.
Data Kementerian ESDM di dalam APBN 2023 menyebut PNBP yang dihasilkan sektor minerba telah mencapai Rp 173 Triliun, sekitar 58% dari total PNBP sektor ESDM (Rp 300 Triliun). Namun, pada sisi sebaliknya, bahkan untuk satu kasus di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung saja, pertambangan telah memberikan kontribusi dalam kerusakan ekologis hingga 271 Triliun. Tentu sebuah ironi apabila sektor pertambangan masih dijadikan sumber penerimaan dalam pembangunan Negara ini.
ADVERTISEMENT
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat ada 45 konflik tambang yang terjadi di sepanjang 2020. Ini menunjukkan bahwa selain krisis ekologis juga telah menciptakan krisis sosial melalui perampasan dalam ruang hidup masyarakat lokal yang terdampak.
Membangun sebuah negara melalui hegemoni ekonomi boleh saja. Tapi, apakah perlu harus mengorbankan sisi sosial dan ekologis dengan menciptakan masalah baru. Hal ini bukanlah sebuah perbandingan yang setimpal. Alih-alih membangun sebuah negara menjadi superior, justru menciptakan sebuah krisis kepercayaan terhadap pemerintah terkait penyelesaian isu lingkungan.
Dapat dikatakan bahwa di setiap tambang beroperasi, maka di situ juga terdapat penderitaan. Dalam pergaulan sosial masyarakat, keberadaan tambang menjadi jurang pemisah yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Membentuk kelompok di dalam masyarakat, yaitu penerima tambang, dan penolak tambang. Pada akhirnya, konflik antara masyarakat pun bisa terjadi kapan saja dan tidak terhindarkan
ADVERTISEMENT
Meminjam pemikiran Marcus Tullius Cicero (106-43SM) yang menyatakan bahwa “salus populi suprema lex esto.” Hal ini berarti bahwa, dalam konteks apapun, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Sehingga, apabila sebuah kebijakan yang dituangkan dalam regulasi justru menimbulkan konflik yang meluas, sepatutnya keselamatan rakyat lebih diutamakan dan kebijakan tersebut harus dihentikan.
Partisipasi Masyarakat Sebagai Solusi Mencegah Konflik
Dalam konteks polemik tambang laut Beriga ini, Negara tidak mampu dan gagal untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan di bidang pertambangan yang tidak melibatkan partisipasi rakyat secara utuh.
Wakil yang ditunjuk dari masyarakat bahkan seringkali tidak menunjukkan keterwakilan pendapat mereka. Hal ini dibuktikan dengan adanya penolakan-penolakan yang justru dilakukan oleh mayoritas masyarakat terdampak. Pemerintah juga telah gagal membangun keberlanjutan ruang hidup ekologis untuk masa depan bangsa terutama di sektor kelautan.
ADVERTISEMENT
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangatlah penting. Sebab, kegagalan Negara berkonsensus dengan rakyat dapat menyebabkan krisis kepercayaan pada pemerintah hingga eskalasi konflik sosial yang lebih tinggi.
Bukan saja konflik antara masyarakat dengan perusahaan, tapi juga antara sesama masyarakat itu sendiri. Gejala konflik tersebut sudah terjadi sebagaimana yang diberitakan media lokal yaitu satu keluarga diusir oleh warga lantaran mendukung tambang laut di perairan Beriga.
Salah satu bentuk kegagalan Negara berkonsensus dengan rakyat adalah rentetan peristiwa yang terjadi saat krisis 1998 terjadi, bukan saja menciptakan kebencian terhadap pemerintah. Namun juga mengalami eskalasi menjadi kebencian terhadap etnis tertentu yang berujung kekerasan dan pembantaian.
Dalam konsep dimensi kepercayaan publik, dengan terjadinya intensitas interaksi yang tinggi antara masyarakat dan pemerintah, akan menciptakan suatu bentuk kecerdasan di dalam pergaulan antara keduanya yang disebut sebagai cognitive knowledge yang positif. (Dwiyanto, 2011).
ADVERTISEMENT
Dengan terciptanya cognitive knowledge, Negara akan semakin diterima dan diberikan kepercayaan penuh oleh masyarakat. Sehingga dengan keadaan sadar masyarakat secara sukarela menggantungkan nasibnya. Pada akhirnya respon masyarakat terhadap sebuah kebijakan menjadi positif dan mencegah potensi terjadinya konflik.
Perlu dicatat bahwa intensitas interaksi yang tinggi ini baru dapat tercipta jika pemerintah dan para pejabat di dalamnya memiliki sifat transparan, kemudahan dalam akses informasinya, dan pilar paling penting adalah memberikan kesempatan rakyatnya untuk berpartisipasi dalam sebuah pengambilan kebijakan strategis.
Presiden baru memang sudah dilantik, tapi sejumlah 545 daerah di Indonesia dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, masih harus menunggu untuk melakukan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tak terkecuali Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini juga dapat menjadikan isu polemik ini rawan untuk dijadikan bahan politisasi yang kapan saja dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok opportunis. Oleh karena itu, situasi ini tidak bisa dibiarkan terus menyelimuti pergaulan sosial di masyarakat Desa Batu Beriga.
Perlu adanya upaya nyata yang dilakukan pemerintah. Tidak cukup hanya mendampingi masyarakat yang terdampak pengusiran. Tidak cukup hanya bersurat kepada perusahaan. Tapi, perlu ada komunikasi dan dialog aktif dua arah antara perusahaan dan Masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Bahkan, intervensi Pemerintah Pusat diperlukan untuk mengatasi polemik ini. Tentu dapat dimanfaatkan sebagai momen untuk memperbaiki hubungan antara Negara dan masyarakat terdampak tambang yang selama ini tidak terjalin dengan baik.
Ancaman krisis kepercayaan dan konflik sosial sudah terjadi di depan mata. Jangan sampai akibat polemik ini masyarakat justru kehilangan kepercayaan pada pemerintah, pada akhirnya masyarakat justru akan berkonflik dengan aparat ketika melakukan aksi-aksi masa.
ADVERTISEMENT
Abrahan Lincoln pernah mengatakan bahwa untuk meraih kembali kepercayaan publik bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, jauh lebih sulit dari saat memperolehnya pertama kali dari hati rakyat. Beliau menyatakan “Jika publik sudah tidak menaruh kepercayaan, sesungguhnya sudah tidak ada lagi kepemimpinan, sekalipun anda melakukan dua hal. Pertama, mengatakan dengan sejujur-jujurnya dan setulus-tulusnya kepada publik bahwa anda sudah bertaubat dari kesalahan masa lalu. Kedua, menggunakan retorika yang indah, menarik, dan memukau publik. Tetap saja publik tidak percaya”.