Konten dari Pengguna

Demokrasi atau Oligarki: Menilik Realitas Politik Indonesia di Era Modern

Rizqi Aulia Pramuditya
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Untirta
4 November 2024 12:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Aulia Pramuditya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi Oleh Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi Oleh Penulis
ADVERTISEMENT
Oleh Rizqi Aulia Pramuditya*
Di tengah idealisme reformasi pasca-Orde Baru yang bertujuan memulihkan demokrasi di Indonesia, pengaruh oligarki dalam pemerintahan justru semakin menguat. Kekuatan elit politik yang menguasai sumber daya besar menciptakan realitas politik yang rumit, di mana nilai-nilai demokrasi sering kali disingkirkan demi kepentingan para pemilik modal. Pertanyaannya kemudian menjadi kritis: apakah Indonesia masih mempertahankan demokrasi, ataukah telah beralih menjadi negara yang dikendalikan oleh oligarki?
ADVERTISEMENT
Paradoks Demokrasi: Suara Mayoritas atau Manipulasi?
Demokrasi di Indonesia, dan bahkan di banyak negara lain, sering kali dikritik karena dianggap mudah dimanipulasi oleh kekuatan elit. Seperti yang disampaikan oleh Edward Bernays dengan konsep "public relations" yang merupakan bentuk propaganda modern, publik sering kali diarahkan atau dimanipulasi untuk mendukung kepentingan tertentu. Demokrasi yang diklaim sebagai "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat," ternyata dapat digunakan sebagai alat untuk mengontrol rakyat itu sendiri. Dengan memberikan ilusi pilihan, publik merasa memiliki kebebasan, padahal di belakang layar, elit ekonomi dan politik berperan besar dalam menentukan hasil akhirnya.
Beberapa filsuf Yunani kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles telah menyuarakan skeptisisme terhadap demokrasi. Socrates, misalnya, menganggap bahwa demokrasi akan menghancurkan dirinya sendiri karena kelemahan mendasarnya: demokrasi mengutamakan pendapat mayoritas tanpa mempertimbangkan kebenaran atau kualitas pemikiran. Pandangan ini relevan dalam konteks modern, di mana manipulasi media dan hubungan patron-klien memperkuat pengaruh oligarki, sehingga demokrasi menjadi sekadar prosedural dan bukan substansial.
ADVERTISEMENT
Struktur Sosial: Oligarki dalam Sistem Politik
Di Indonesia, oligarki mencerminkan hubungan erat antara politik dan kekuatan ekonomi yang dikendalikan oleh segelintir individu. Jeffrey Winters, seorang pakar oligarki, memperkenalkan konsep "wealth defense" atau pertahanan kekayaan, di mana para oligark menggunakan pengaruh ekonomi mereka untuk mengendalikan kebijakan negara, media, dan sistem hukum. Contoh nyata adalah kebijakan Presiden Jokowi yang sering kali menguntungkan kelompok elit, seperti deregulasi sektor ekonomi melalui Omnibus Law yang kontroversial. Deregulasi ini memberi keleluasaan bagi para pengusaha untuk memperbesar kekayaan mereka, bahkan di tengah isu lingkungan dan hak asasi manusia yang sering kali terabaikan.
Fenomena Serangan Fajar: Contoh Manipulasi Demokrasi di Tingkat Akar Rumput
Manipulasi dalam demokrasi tidak hanya terjadi di level kebijakan nasional tetapi juga terlihat nyata dalam proses pemilu. Fenomena serangan fajar adalah contoh konkret, di mana calon atau pendukung mereka memberikan uang atau barang kepada warga pada pagi hari pemilihan untuk memengaruhi pilihan suara mereka. Praktik ini menunjukkan bagaimana demokrasi di Indonesia sering kali ternoda oleh politik uang. Para elit atau calon dengan sumber daya besar dapat memanfaatkan kelemahan ekonomi masyarakat untuk membeli suara, mengubah preferensi politik demi kepentingan pribadi atau kelompok. Fenomena ini mengilustrasikan bahwa tanpa pengawasan ketat dan pemahaman politik yang kuat di kalangan rakyat, demokrasi di tingkat akar rumput mudah dimanipulasi.
ADVERTISEMENT
Upaya Memperpanjang Masa Jabatan: Bukti Dominasi Oligarki
Selain itu, upaya memperpanjang masa jabatan presiden adalah contoh nyata bagaimana oligarki mendominasi kepentingan politik nasional. Meskipun konstitusi pasca-Soeharto telah menetapkan batas masa jabatan presiden sebagai bentuk perlindungan demokrasi, ada segelintir tokoh pemerintahan yang berusaha memperpanjang masa jabatan ini. Ini menguntungkan kepentingan oligarki yang ingin mempertahankan proyek-proyek investasi besar, seperti pemindahan ibu kota ke Kalimantan, yang memberikan keuntungan ekonomi signifikan kepada pihak tertentu.
Realitas Sosial: Hubungan Patron-Klien dalam Partai Politik
Kekuatan oligarki juga terlihat jelas dalam struktur partai politik. Banyak partai di Indonesia masih dikelola oleh figur kuat yang bertindak layaknya “godfather,” menjaga kekuasaan dengan membentuk hubungan patron-klien. Hal ini menciptakan sistem partai yang sangat terpusat, di mana figur utama memegang kendali penuh terhadap kader partai. Dengan lemahnya institusionalisasi dan aturan internal yang memungkinkan loyalitas buta, demokrasi internal dalam partai sulit berkembang. Fenomena ini memperkuat posisi oligarki dalam partai politik serta menghambat proses regenerasi kepemimpinan yang sehat.
ADVERTISEMENT
Ketergerusan Demokrasi: Demokrasi Hanya di Permukaan
Dalam konteks ini, apa yang tersisa dari demokrasi di Indonesia? Di satu sisi, demokrasi Indonesia masih berfungsi secara prosedural melalui pemilu dan kebebasan berpendapat yang terbatas. Namun, oligarki menciptakan kondisi di mana kepentingan ekonomi lebih dominan dari suara rakyat. Elite dengan akses ke sumber daya besar sering kali mendikte kebijakan publik yang akhirnya menguntungkan mereka. Perubahan kebijakan seperti dalam Undang-Undang Minerba dan deregulasi lainnya memperlihatkan bahwa “kehendak rakyat” kerap kali hanya menjadi simbol tanpa esensi demokratis yang sejati.
Masa Depan Demokrasi di Indonesia
Untuk mengembalikan demokrasi yang substansial, Indonesia membutuhkan reformasi struktural mendalam dalam sistem partai politik dan hukum. Ini mencakup peningkatan transparansi keuangan partai serta penegakan aturan yang membatasi keterlibatan oligarki dalam politik. Tanpa perubahan tersebut, Indonesia berisiko tetap berada dalam cengkeraman oligarki, dengan demokrasi yang hanya berfungsi di permukaan. Filosofi Yunani kuno yang menganggap demokrasi sebagai "privilese bagi yang berilmu" mungkin relevan di sini: demokrasi hanya efektif ketika publik yang memilih memiliki pemahaman yang memadai, bukan ketika mereka mudah terpengaruh atau dimanipulasi oleh elite yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
*Penulis adalah Mahasiswa Pengantar Ilmu Politik, Prodi Kom, FISIP Untirta