Ancaman Pidana Mati Bagi Pelaku Korupsi Dana Pandemi Corona

Rizky Karo Karo
Dosen di Fakultas Hukum UPH
Konten dari Pengguna
27 Mei 2020 7:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Karo Karo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi koruptor. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Indonesia belum memiliki track record menjatuhkan vonis pidana mati bagi koruptor yang terbukti dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Pada tahun 2011 pun pelaku tipikor dana bantuan bencana tsunami Nias, Sumut hanya diberikan oleh hakim pemeriksa perkara di Mahkamah Agung (vide Putusan No. 356K/PID.SUS/2012) berupa pidana penjara 5 (lima) tahun dikurangi masa tahanan, denda subsidair kurungan dalam waktu tertentu &uang pengganti subsidair pidana penjara.
ADVERTISEMENT
Vonis pidana mati bagi pelaku yang terbukti melakukan korupsi terhadap dana bencana khususnya bencana wabah corona adalah perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM)? Jawabannya adalah tidak dan sudah sesuai dengan hukum positif di Indonesia. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah ada niatan korupsi/ ‘bagi-bagi kue’ dana kedaruratan kesehatan wabah corona? Jawabannya, ya sangat mungkin karena jumlah anggaran baik dari Pemerintah ataupun donasi dari masyarakat Indonesia sangat massif dan besar. Di sinilah diperlukan partisipasi masyarakat untuk berani melapor kepada pihak yang berwajib, misalnya: KPK, Kepolisian
Beberapa masyarakat menganggap Pemerintahan Presiden Jokowi lamban dalam melakukan penanganan baik preventif ataupun represif corona, namun beberapa mengatakan sebaliknya. Menurut hemat Penulis, langkah yang diambil Presiden Jokowi bukanlah tidak tegas namun semua keputusan direncanakan dan diambil dengan hati-hati agar keputusan tersebut adalah keputusan yang menguntungkan bagi seluruh rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Misalnya, hingga tulisan ini dibuat, Presiden Jokowi tidak mengambil langkah untuk lockdown negara ataupun beberapa daerah tertentu bukanlah karena lamban, takut atau menganggap enteng virus corona, tapi karena setiap daerah memiliki karakter berbeda-beda. Namun Presiden juga telah dengan tegas menerbitkan Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemerintah telah memutuskan untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sebagaimana diatur dalam PP No. 21 Tahun 2020, misalnya untuk melakukan pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Presiden juga telah menyiapkan anggaran penanganan wabah corona sebanyak Rp. 405,1 triliun untuk penanganan virus corona di Indonesia dan rakyat Indonesia pun bahu-membahu untuk membantu dengan membuka donasi berupa uang tunai, barang-barang yang menunjang kesehatan, keamanan tenaga medis dan siap menyalurkannya baik kepada pemerintah, rumah sakit. Kita dapat bayangkan, jika rakyat telah bergotong-royong untuk menyalurkan dana kemanusiaan tersebut kepada pemerintah maka akan sangat besar jumlahnya dan itu adalah bukti bahwa negara tidak sendirian, karena rakyat bersama negara.
ADVERTISEMENT
Ibarat peribahasa tak ada asap jika tidak ada api. Uang, benda yang sangat banyak tersebut akan membangkitkan nafsu serakah (greedy), membangunkan mens rea, menarik ‘tikus-tikus koruptor’ dari tingkat desa, kabupaten/kota hingga pusat untuk memotong dana kemanusiaan dengan alasan administratif yang tidak jelas, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ataupun hanya mengambil dengan nominal kecil yang dirasa tidak akan ketahuan atau bahkan hingga nominal besar, memotong dana bantuan langsung tunai, bantuan dalam bentuk sembako yang harus diterima masyarakat, memotong dana pembelian alat pelindung diri (APD) dengan cara membeli barang yang paling murah adalah tindak pidana korupsi (tipikor).
Pelaku tipikor yang terbukti mengambil dana kemanusiaan bencana corona wajib siap dihukum mati. Sekali lagi, apakah vonis pidana mati bagi pelaku tipikor tersebut melanggar konstitusi dan hak asasi manusia serta tidak memiliki rasa keadilan yang bermartabat? Jawabannya adalah tidak. Karena konstitusi kita, Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa dalam menjalankan HAM, rakyat wajib tunduk pada pembatasan dalam undang-undang untuk menjamin penghormatan bagi kebebasan orang lain juga.
ADVERTISEMENT
UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) juga telah dengan tegas mengatur hal tersebut, yakni dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yakni “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Agar tidak bias&memudahkan kita untuk memahami, norma dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor yakni “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan megara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, penetapan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia masuk sebagai kategori perbuatan ‘dalam keadaan tertentu’ dan telah dikuatkan dengan KepPres RI No. 12 Tahun 2020 bahwa penyebaran COVID-19 adalah bencana nasional non-alam serta pemberian sanksi menurut Roeslan Saleh (1983) adalah reaksi atas delik, berwujud nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pelaku sehingga pelaku tentu sudah memperkirakan akibatnya apabila terbukti menyalahgunakan data penanganan COVID-19.
Mafhud MD saat ini menggaungkan dan mengagungkan adagium hukum ialah “salus populi suprema lex’ (keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi). Perbuatan tipikor disaat bencana wabah corona ini adalah perbuatan ‘membunuh’ rakyat, tenaga medis.
Menurut hemat penulis, sanksi yang tepat dijatuhkan hingga putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah pidana mati dan menghukum keluarga pelaku untuk memberikan ganti rugi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus berani untuk membuat dakwaan primer atau menuntut dengan hukuman terberat yakni pidana mati dan hakim pemeriksa perkara a quo di tingkat Pengadilan Negeri berani untuk menjatuhkan pidana mati dengan alasan yang memberatkan bahwa korupsi pada saat bencana corona adalah perbuatan melanggar HAM dan membahayakan keselamatan rakyat.
ADVERTISEMENT
Serta penulis berharap apabila nantinya ada upaya hukum biasa di tingkat banding di Pengadilan Tinggi ataupun upaya hukum luar biasa di tingkat kasasi di Mahkamah Agung seyogyanya Putusan yang diberikan yakni menguatkan Putusan hakim tingkat PN karena vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dan rakyat tentu menghendaki dan berharap hakim sebagai wakil Tuhan di dunia dapat mengabulkan kehendak rakyat tersebut sehingga putusan yang inkracht tersebut dapat menjadi yurisprudensi.