Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Mengisi Kekosongan Hukum Sidang Tindak Pidana Secara Online di Pandemi COVID-19
9 Agustus 2020 13:10 WIB
Tulisan dari Rizky Karo Karo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perubahan adalah kepastian, apabila manusia tidak mengikuti perubahan maka niscaya hidupnya tidak akan bahagia dan bermanfaat. Corona memaksa seluruh umat manusia untuk berubah dengan cepat dan beradaptasi dalam hal apa pun, pekerjaan, belajar, rapat dan termasuk dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, hukum pidana materiil (materiell strafrecht) yang termuat dalam KUHP sudah sangat tua namun masih tetap berlaku hingga RUU KUHP kelak nantinya disahkan, begitu juga dengan hukum pidana formil (formeel strafrecht) yang sudah berumur 39 tahun melalui UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila dilihat sejarahnya, layanan internet melalui world wide web (WWW) ditemukan dan dikembangkan pada tahun 1989 oleh saintis bernama Tim Berners – Lee yang bekerja untuk European Organization for Nuclear Research (CERN) maka tidak dapat dipungkiri dan harus dimaklumi bahwa KUHAP kita tidak mengikuti perkembangan zaman dan tidak mengenal sistem elektronik. Walaupun Indonesia telah memiliki UU ITE pada tahun 2008 dan telah diubah pada tahun 2016 namun UU ITE tersebut tidak mengakomodir ketentuan hukum acara di persidangan.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung memang telah melakukan terobosan hukum acara yakni dengan meluncurkan persidangan online (E-Court, The Electronik Jusice System) pada tanggal 13 Juli 2018 dengan dasar hukum Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018 namun telah dicabut dan digantikan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (Perma 1/2019) namun e-court (e-filing; e-payment; e-summons; e-litigation) ini masih terbatas untuk penyelesaian jenis perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer dan tata usaha Negara. Menurut Mahkamah Agung, hingga Desember 2019 sudah 24ribu advokat yang telah terverifikasi pada sistem e-court. E-court ini bermanfaat untuk memangkas waktu persidangan yang sangat lama, khususnya saat agenda jawab-menjawab, replik-duplik.
ADVERTISEMENT
Perdebatan antara apakah peradilan pidana secara online (daring) yang diselenggarakan melalui teleconference (konferensi video) diperbolehkan atau tidak masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun menurut hemat Penulis, demi alasan kepastian hukum masa tahanan dan kesehatan serta Corona yang masih berstatus sebagai bencana non-alam maka peradilan pidana online adalah jalan terbaik demi mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Apabila dilihat dari sejarah penggunaan teleconference salah satunya, pada tahun 2002, Mahkamah Agung telah memberikan izin kepada Presiden RI ke-3 B.J. Habibie untuk memberikan kesaksian secara langsung dari Hamburg, Jerman menggunakan teleconference dalam kasus dengan terdakwa saat itu yakni Akbar Tandjung.
Penulis mencoba merangkum pertentangan dan kegelisahan norma dalam KUHAP dengan peradilan pidana daring yang mau tidak mau wajib tetap dilaksanakan. Pertama, keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan ‘disidang’ tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri [Pasal 189 ayat (1) KUHAP] dan haknya untuk diadili ‘di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum’ (Pasal 64 KUHAP); Kedua, keterangan saksi adalah alat bukti yang saksi nyatakan ‘di sidang pengadilan’ [Pasal 185 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 160 KUHAP]; Ketiga, keterangan ahli juga dinyatakan ‘di sidang pengadilan’ [Pasal 186 KUHAP]; Keempat, bahwa sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang dan aparat penegak hukum mengenakan pakaian sidang&atribut [Pasal 230 ayat (1), (2) KUHAP]; Kelima, sidang dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak apabila tidak dipenuhi maka mengakibatkan batalnya putusan demi hukum (Pasal 153 junto. Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman).
ADVERTISEMENT
Advokat/Penasihat Hukum menyangsikan pelaksanaan sidang peradilan pidana secara online dikarenakan Catur Wangsa baik Hakim, Jaksa Penuntut Umum dan Advokat akan kesulitan untuk menggali, dan mencari kebenaran materiil (materiele waarheid) baik yang dikemukakan oleh para saksi, ahli dan terdakwa itu sendiri, terlebih bahwa Indonesia menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative (negative wettelijk) sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, hakim menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memiliki keyakinan bahwa terdakwa-lah yang melakukan tindak pidana tersebut. Namun apabila merujuk pada asas ‘in dubio pro reo’ maka apabila hakim ragu apakah terdakwa salah atau tidak maka seyogyanya menjatuhkan putusan yang menguntungkan terdakwa dan bermuatan keadilan bermartabat.
Covid-19 ini memaksa agar nilai kemanfaatan dalam penyelesaian proses pemeriksaan terdakwa wajib diutamakan. Apakah bermanfaat jika terdakwa dihadirkan dalam persidangan mengingat terdakwa yang ditahan harus kembali ke rumah tahanan (rutan)? Bagaimana jika saat dihadirkan terdakwa tersebut dalam keadaan sehat namun begitu selesai sidang dan kembali ke rutan menunjukkan gejala penyakit Corona? Marcus Tullius Cicero (De Legibus Cicero) pernah mengatakan bahwa salus populi suprema lex esto, kesejahteraan/keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Lawan kita sekarang bentuknya sangat kecil bahkan tidak terlihat, cukuplah Pengadilan Negeri Surabaya yang sempat ditutup sementara demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
ADVERTISEMENT
Mengisi Kekosongan Hukum Peradilan Pidana Daring
Penulis berharap agar Mahkamah Agung segera menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung yang bersifat regelling dan berisi tentang pedoman teknis pelaksanaan persidangan melalui teleconference sembari memikirkan dan memfokuskan, serta menjadikan RUU KUHAP untuk masuk ke dalam prolegnas prioritas karena sifatnya sudah genting dan mendesak. Namun sayangnya, DPR tidak memasukkan RUU KUHAP ini dalam daftar 37 RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung no. 1 Tahun 2020, Perjanjian Kerja Sama Antara MA, Kejaksaan RI, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pelaksanaan persidangan melalui teleconfence serta Surat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum No: 379/DJU/PS.00/3/2020 perihal persidangan perkara pidana secara teleconference harus segera ditingkatkan ke dalam PerMA yang telah memenuhi landasan filosofis, landasan yuridis maupun sosiologis demi menjunjung tinggi kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan serta menjadi tatanan/norma baru (new normal, new norm) bagi pencari keadilan di masa pandemi Covid-19 ini, bagi penegak hukum (JPU, Advokat dan Hakim). Namun kritik Penulis terhadap Perjanjian Kerja Sama tersebut adalah seharusnya unsur advokat juga dilibatkan karena advokat juga adalah penegak hukum yang mendampingi terdakwa baik sifatnya wajib sebagaimana diamanatkan dalam bantuan hukum dalam KUHAP ataupun tidak wajib.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat Penulis, rancangan PerMa ini wajib bermuatan 4 (empat) hal berikut: pertama, aparat penegak hukum dalam proses peradilan tetap wajib menggunakan toga&atribut sidang kecuali untuk memeriksa anak yang berkonflik dengan hukum. Kedua, memperluas definisi ruang sidang menjadi pemeriksaan sidang pengadilan yang juga diselenggarakan secara elektronik melalui teleconference karena dalam pidana umum, terdakwa harus hadir dan diperiksa dalam pengadilan ‘kecuali’ dalam pengaturan terhadap tindak pidana khusus yang mengatur peradilan in absentia, misalnya dalam UU Tipikor bahwa perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. Perluasan ini juga berpengaruh pada asas yang menyatakan bahwa sidang harus terbuka untuk umum kecuali ditentukan lain oleh undang-undang sehingga harus dinyatakan bahwa sidang terbuka untuk umum dan juga diselenggarakan secara elektronik.
ADVERTISEMENT
Kedua, PerMa wajib mengatur pemeriksaan agenda sidang apa yang harus tetap dilaksanakan secara offline (luring-luar jaringan) karena dalam agenda pemeriksaan alat bukti surat harus dicocokkan keasliannya dan tetap wajib memperhatikan protokol kesehatan.
Ketiga, PerMa wajib mengatur pemeriksaan mekanisme pemeriksaan terdakwa, saksi, ahli dengan tetap memperhatikan hak-hak mereka. Di mana terdakwa diperiksa, apakah di rutan? Apakah di Kantor Kejaksaan Negeri? Sama halnya dengan saksi, di mana saksi a charge dan a de charge diperiksa? Bagaimana dengan teknis penyumpahan saksi? Bagaimana teknis pemeriksaan saksi, salah satu yang dapat dilakukan saksi yang tidak diperiksa ditaruh pada ‘waiting room’ aplikasi teleconference demi menjaga integritas saksi, lalu Bagaimana dengan teknis pemeriksaan saksi yang berada pada zona waktu yang berbeda misalnya berada pada zona Waktu Indonesia Timur? Bagaimana dengan teknis pemeriksaan saksi yang berada di luar wilayah Kejaksaan Negeri ataupun Pengadilan Negeri pemeriksa perkara a quo? Hal ini memerlukan koordinasi internal dan kebijakan internal antara Kejaksaan Negeri ataupun Pengadilan Negeri.
ADVERTISEMENT
Keempat, PerMa wajib menjunjung tinggi asas perlindungan data pribadi, keamanan sistem elektronik yang dipergunakan. Hal ini dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika maupun Badan Siber dan Sandi Negara. Apabila persidangan secara elektronik juga dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum maka akan berpotensi akan disusupi oleh peretas ataupun ‘oknum’ yang ingin mengganggu jalannya persidangan. Jika sidang luring akan mudah, pengganggu sidang tersebut akan disuruh keluar. Namun bagaimana dengan pengunjung sidang secara elektronik? Jika dia ‘kick’ dari sistem aplikasi, dia akan dapat masuk lagi dengan identitas elektronik lainnya.
Proses peradilan pidana tidak mungkin tidak dilaksanakan karena pandemi Covid-19, namun pemeriksaan terdakwa, saksi, ahli tidak serta merta ‘hanya’ dapat dilakukan dan dianggap sah apabila dalam ruang sidang. Demi memberikan kepastian hukum bagi terdakwa karena tidak mungkin membiarkan terdakwa bebas demi hukum karena alasan habis masa tahanan padahal alat/barang bukti perkaranya sudah lebih dari satu dan sudah cukup (unus testis nullus testis), demi menjunjung tinggi keadilan bermartabat bagi korban ataupun keluarga korban maka proses peradilan wajib di masa pandemi tetap dilakukan baik secara daring ataupun luring namun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan.
ADVERTISEMENT