Kumparan Plus - Mencari Adil.

Surat Keluarga Adil

Rizky Kurniawan
Copywriter
7 Februari 2022 2:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komet segera menyambut dan memasukkan uang kembalian ke saku kemejanya. Selain luntur, kemeja itu kebesaran. Komet kembali menatap kertas di tangannya selagi kondektur bercakap-cakap dengan penumpang lain. Meski surat itu tak menyebutkan namanya, baik yang asli maupun julukan, dia tahu kepadanyalah surat itu ditujukan. Surat tentang seseorang yang telah pergi tanpa kabar selama 25 tahun, orang yang memegang kunci agar Ma Siah—neneknya—bisa memenuhi impian berangkat ke tanah suci.
Sayup-sayup Komet mendengar tawar-menawar antara kondektur dan penumpang yang duduk di baris keenam sisi kanan bus. Penumpang itu membayar dua puluh lima ribu untuk tujuan yang sama dengannya. Komet penumpang baru, tak tahu harga dan si kondektur mematok suka-suka. Surat dalam genggamannya sama saja, datang suka-suka. Tak terhitung hari-hari yang telah dihabiskan Komet untuk mencari tahu di mana orang yang diceritakan di dalam surat itu, sia-sia, dan kemarin sore surat itu menyodorkan jawaban mudah begitu saja.
***
Sore itu, Komet baru tiba dari kediaman pamannya, Jauhari, saat dilihatnya seorang petugas pos berdiri di muka teras rumah Ma Siah. Komet lekas turun dari motor dan menghampiri pria tambun berseragam oranye tersebut.
“Ada surat untuk Pak Burhan, dari Keluarga Adil,” katanya. Nada suaranya mengesankan keraguan. Napasnya memburu. Lelaki itu kemudian membolak-balik amplop surat, lalu berkata dengan lebih mantap, “Benar, Adil.”
Komet menerima surat itu dan menandatangani berkas penerimaannya dengan pulpen yang dipinjamkan oleh Pak Pos.
Komet mematung sampai sekian lama setelah petugas pos itu berlalu. Ia kesulitan memahami nama pengirim surat. Betul, Burhan adalah nama mendiang kakeknya. Surat ini tak salah alamat. Namun, nama Keluarga Adil yang tertera sebagai pengirim terasa ganjil baginya. Komet berjalan ke teras, lalu mengempaskan bokongnya di bangku bambu panjang, menciptakan bunyi berderit yang singkat tetapi memekakkan.
Komet membuka amplop cokelat muda itu. Kedua tangannya gemetar. Ia menarik selembar folio bergaris bertulisan tangan, lalu membacanya sambil menenang-nenangkan diri.
Paling atas tertera tanggal penulisan surat, yaitu tiga hari lalu. Di bawahnya ada nama kakek Komet, sekali lagi, sebagai penerima surat. Huruf demi huruf surat itu mengalir ke dalam benak Komet, menjadi serangkaian bunyi yang menyisakan gema panjang:
***
Komet melipat surat dan memasukkannya kembali ke amplop. Ia melirik Ma Siah yang duduk di pinggir tempat tidur, terbungkus mukena. Perempuan itu tak mengatakan apa-apa meski surat telah selesai dibacakan oleh cucunya. Komet mendengar nafasnya, putus-putus, dan memandangi wajahnya yang mendadak kuyu.
Komet menggamit tangan Ma Siah yang layu.
“Pergilah. Temui ayahmu," kata Ma Siah, memecahkan keheningan yang terasa seperti selamanya.
Komet mengangguk. Dia meninggalkan kamar Ma Siah dan masuk ke kamarnya sendiri. Semalaman tidur Komet tak nyenyak. Di satu sisi, pencariannya terhadap Adil akhirnya menemui titik terang. Di sisi lain, dia memikirkan bagaimana pertemuan mereka nanti. Apakah Adil, ayahnya, akan mengenali dirinya? Bagaimana dengan sertifikat tanah yang selama ini dicari Ma Siah? Hal-hal itu terus berputar dalam batok kepala Komet, bahkan sampai pagi, saat dia mengikat tali sepatu dan bersiap untuk berangkat.
“Beritahu Adil, istri dan ayahnya sudah lama mati,” kata Ma Siah saat Komet mencium punggung tangannya. Alih-alih pesan, kata-kata itu terdengar seperti gumaman di telinga Komet, namun tak urung ia mengangguk.
“Kalau sertifikat tanah itu benar disimpan oleh… Ayah,” kata Komet, ia tak nyaman menggunakan sebutan itu, “Komet pasti membawanya pulang, Ma."
Komet memutuskan untuk menjenguk Adil demi Ma Siah. Ilustrasi: Dian Intan/kumparan+
Ya, sertifikat itulah yang utama, dan karena itulah Komet menerima undangan Riri untuk menengok Adil. Tanpa bukti kepemilikan, Ma Siah tak bisa menjual rumahnya. Dan tanpa menjual rumah, ia tak bisa berangkat haji. Komet memantapkan niatnya.
Ajal. Adil segera menemui ajalnya, tapi itu bukan soal penting, pikir Komet. Yang penting, Ma Siah bisa lekas naik haji.
Sambil memandangi kendaraan-kendaraan yang merayap di Gerbang Tol Cikupa, Komet melipat surat itu empat kali, ujung ketemu ujung, sampai kertas itu kecil dan bantat. Ia menjejalkannya ke saku kemeja. Surat itu, kabar tentang Adil yang sesak nafas, kini berdesak-desakan dengan empat lembar lima ribuan.
***Bersambung***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh. Anda akan mendengar penulisnya, Rizky Kurniawan, bertutur langsung untuk Anda.
Baca kelanjutan cerita Adil di sini:
Mencari Adil. Foto: Dian Intan/Tim Kreatif kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten