Strategi Efektif Menangkal Radikalisme di Kalangan ASN

Rizky Pratama Putra
Last year student at Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
8 Juni 2020 8:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Pratama Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menteri Agama, Fachrul Rzi ( sumber: antaranews.com )
Radikalisme merupakan salah satu isu yang tak ada habisnya untuk dibahas dan masih terus menjadi permasalahan serius di Indonesia. Maraknya paham radikalisme terutama di era globalisasi seperti sekarang tentunya semakin menimbulkan kekhawatiran di tengah masyarakat mengingat isu tersebut merupakan isu yang sensitif dan berbahaya. Radikalisme secara umum dapat diartikan sebagai sebuah paham atau ideologi yang bertujuan untuk mengubah suatu tatanan sosial politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Tindakan radikalisme seringkali dikaitkan dengan berbagai jenis keyakinan dan agama yang juga dapat dihubungkan dengan serangkaian aksi teror yang dilakukan para penganut paham radikal untuk mencapai tujuannya. Beragam aksi teror yang terjadi di berbagai belahan dunia menjadi permasalahan yang menarik untuk dibahas. Karena menjadi pusat perhatian para anti agama untuk mengobok-obok eksistensi agama dari satu sisi. Setiap gerakan terorisme yang terjadi pada akhirnya selalu dihubungkan dengan identitas suatu keyakinan seperti peristiwa pengeboman 11 September 2001, propaganda Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), peristiwa Bom Bali 1 dan 2, pembakaran terhadap beberapa rumah ibadah dan lain-lain yang disinyalir terjadi akibat berkembangnya paham radikalisme. Pada awalnya, yang mendasari tindakan radikalisme adalah politik lokal yang berangkat dari ketidakpuasan dengan proses politik yang ada. Namun pasca lahirnya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicunya, kemudian menjadi faktor legitimasi yang sangat penting bagi gerakan kelompok garis keras.
ADVERTISEMENT
Perkembangan radikalisme yang cukup pesat yang didukung dengan perkembangan teknologi informasi seringkali tidak mudah terdeteksi dan tidak menutup kemungkinan jika paham radikalisme dapat menjalar ke berbagai kalangan. Paham radikalisme pada umumnya cenderung sering menjerat kalangan berusia muda dikarenakan pada usia tersebut seseorang masih belum dibekali dengan pemahaman dan pengetahuan yang cukup serta masih berusaha untuk menemukan jati dirinya. Pernyataan ini sejalan dengan temuan data yang dikeluarkan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) yang menyebutkan bahwa anak muda berusia 17-24 tahun sangat rentan untuk terpapar radikalisme (Voaindonesia.com, 2019). Data lainnya yang sejenis dan mendukung adanya hal ini berasal dari penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) tentang potensi radikalisme di Indonesia yang menyatakan bahwa 25 persen siswa dan 21 persen guru berpendapat Pancasila tak relevan lagi. Fakta lainnya yang lebih mencengangkan, ada sekitar 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru menyetujui penerapan syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju untuk melakukan tindakan kekerasan demi solidaritas agama mencapai 52,3 persen siswa dan 14,2 persen diantaranya membenarkan serangan bom (Tirto.id, 2016). Beberapa data di atas mendukung serangkaian pendapat yang menyebutkan bahwa sebagian besar anak muda Indonesia mengalami radikalisasi secara ideologis dan menunjukkan tanda-tanda intoleransi meskipun tidak terjadi secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Terdapat banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam paham atau ideologi radikalisme. Faktor-faktor tersebut jika dibagi secara garis besar merujuk pada kondisi finansial yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan, latar belakang pendidikan yang kurang baik, latar belakang keluarga, lingkungan sosial dan lain-lain. Pernyataan ini didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2011 yang menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) faktor utama mengapa seseorang dapat terpapar radikalisme. Yang pertama adalah kepentingan personal yang menyangkut urusan ideologi dan finansial. Selanjutnya adalah adanya rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang kemudian dapat memicu seseorang untuk bergabung ke dalam kelompok radikalisme. Faktor ketiga adalah berbagai macam propaganda dan fasilitas yang ditawarkan juga memungkinkan seseorang untuk bergabung ke dalam kelompok radikalisme. Hal ini terlihat dalam perekrutan anggota yang dilakukan oleh ISIS dengan berbagai macam propaganda dan janji yang ditawarkan. Faktor terakhir berkaitan dengan persoalan kultural yang menyangkut agama dan kepercayaan. Faktor ini semakin didukung dengan tingkat pendidikan yang minim dan pemahaman yang keliru mengenai suatu kepercayaan yang dianut (Tempo.co, 2018).
ADVERTISEMENT
Radikalisme tak hanya dapat menjerat kelompok usia muda melainkan dapat masuk ke berbagai kalangan, tak terkecuali bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan (Detik.com, 2018), pada saat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 lalu, terkuak bahwa ada ribuan ASN dari berbagai profesi yang tergabung kedalam organisasi radikal tersebut. Dikutip dari laman (Kompas.com, 2019) sejak laman www.aduanasn.id dibuka, telah terdapat 77 aduan yang terkait dengan radikalisme. Aduan tersebut terkait dengan sikap anti-NKRI, anti-pancasila, hingga sikap intoleransi. Meski demikian, hanya sekitar 11 aduan yang diverifikasi karena menyertakan bukti. Kebanyakan radikalisme ASN terlihat dari postingan-postingan pendapat ASN yang diutarakan di media sosial pribadi mereka. Beberapa pemahaman radikal yang banyak beredar di kalangan ASN diantaranya : (1) ASN yang cenderung menolak pancasila dan menolak melakukan berbagai upacara kebangsaan seperti upacara bendera, (2) Beberapa ASN menganggap tindakan kekerasan sebagai hal yang benar dengan label “jihad” yang mereka pahami, dan (3) tindakan mengujar kebencian kepada pemerintah (Detik.com, 2018). Peredaran radikalisme di kalangan ASN di Indonesia cukup cepat. Radikalisme di kalangan ASN tidak boleh terjadi, karena sejatinya ASN merupakan alat perekat sekaligus penyambung lidah antara pemerintah dan masyarakat Indonesia. Selain itu, radikalisme juga dapat membahayakan berbagai aspek dalam penyelenggaran pemerintahan, salah satunya aspek pelayanan. Hal ini didasari dengan adanya fakta bahwa orang yang terpapar radikalisme cenderung tertutup dan tidak mau menerima masukan dan berhubungan dengan orang di luar alirannya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pada tahun 2019 lalu Menteri Agama Republik Indonesia, Fachrul Razi melayangkan pernyataan kontroversial terkait larangan memakai cadar dan celana cingkrang bagi ASN. Larangan tersebut diutarakan karena menurutnya gaya berpakaian tersebut tidak sesuai dengan budaya Indonesia dan dapat membuka kemungkinan anggapan yang salah bahwa gaya berpakaian tersebutlah yang mencerminkan keimanan seseorang. Hal ini dilakukan guna mencegah paham radikalisme di kalangan ASN. Beliau juga melanjutkan dengan memberikan beberapa pernyataan lain mengenai bagaimana seseorang dapat terpapar radikalisme. Ia menjelaskan bahwa penyebab perkembangan radikalisme diantaranya adalah kemiskinan dan pendidikan. Ketidakcukupan kondisi ekonomi menyebabkan seseorang cenderung bertindak melawan hukum hingga radikalisme karena dianggap mampu mengubah kehidupan mereka. Selanjutnya pendidikan, dimana kurangnya pemahaman dan bahan bacaan yang terbatas oleh seseorang dapat menyebabkan berbagai pemahaman yang salah. Pemahaman yang salah ini akan mendorong pemahaman radikalisme (Republika.co.id, 2019). Pernyataan mengenai faktor penyebab seseorang terkena radikalisme memang ada benarnya, namun adanya pelarangan pemakaian cadar dan celana cingkrang bukanlah solusi. Menurut Hudiyana (2019), hal tersebut tidaklah efektif untuk menangkal radikalisme di kalangan ASN. Sangat sulit untuk merubah keyakinan seseorang karena orang tersebut tentu saja sudah menganggap apa yang diyakininya adalah yang paling benar. Selain itu, tindakan untuk berusaha mengubah keyakinan seseorang juga dapat menjadi bumerang yang malah akan memancing tindakan-tindakan yang tidak diinginkan. Pada umumnya, seseorang terpapar radikalisme dikarenakan kehilangan arah dan tujuan hidup. Oleh karena itu, tindakan yang perlu dilakukan adalah dengan menyeimbangkan agama dengan identitas lainnya seperti kehidupan keluarga, bisnis, dan lain sebagainya. Hudiyana juga menuliskan bahwa penganut paham radikal yang berpartisipasi dalam program deradikalisasi akan mengurangi keyakinan mereka untuk melakukan tindakan kekerasan karena adanya identitas alternatif tersebut (Theconversation.com, 2019).
ADVERTISEMENT
Melarang penggunaan celana cingkrang dan cadar di lingkungan ASN bukan merupakan cara efektif untuk menangkal radikalisme. Pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang dapat menjadi pedang bermata dua bagi pemerintah. Meskipun seorang ASN berpakaian sesuai dengan keyakinannya, bukan berarti hal tersebut melambangkan bahwa ia bersikap dan memiliki pemikiran yang radikal terhadap NKRI. Selain itu, pembatasan seseorang untuk mengekspresikan keyakinannya yang tidak melanggar peraturan tidaklah mencerminkan UUD 1945 dan pancasila. Bukan melarang, pemerintah seharusnya lebih berusaha untuk menanamkan pemahaman empat pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika) kepada masyarakat sehingga pancasila dianggap merupakan ideologi yang disetujui bersama oleh masyarakat Indonesia saat ini. Seperti yang dinyatakan oleh Hudiyana, bahwa dengan memiliki identitas lain selain identitas agama, seseorang akan berkurang keyakinannya terhadap radikalisme. Artinya, dengan adanya tanggung jawab lain yang dipikul oleh seorang individu, individu tersebut dapat bersikap lebih rasional dalam menanggapi perbedaan pendapat.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya preventif dalam rangka menangkal radikalisme yang marak terjadi di Indonesia. Selain membentuk kerja sama dan menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) di antar kementerian dan membentuk portal aduan bagi ASN yang diduga terpapar radikalisme, upaya lainnya dapat dilakukan dengan dua cara, yakni kontra-radikalisasi dan deradikalisasi. Meskipun kedua hal ini sebenarnya berhubungan dan memiliki maksud yang sama, namun keduanya memiliki perbedaan. Yang dimaksud dengan kontra-radikalisasi adalah segala bentuk upaya pencegahan terhadap tindakan radikalisme dengan mengajak setiap stakeholders untuk terlibat dan bersama dalam memerangi tindakan tersebut. Upaya kontra-radikalisasi dapat diwujudkan dengan berbagai cara seperti mengadakan workshop atau seminar pencegahan propaganda radikal, seminar kebangsaan dan penanaman nilai pancasila, dan lain-lain (nu.or.id, 2017). Sementara pengertian tentang deradikalisasi dapat dipahami baik secara ideologis maupun perilaku. Seperti yang dijelaskan oleh Ashour dalam (Davis & Cragin, 2008), deradikalisasi merupakan sebuah proses mengerahkan individu maupun kelompok untuk mengubah perilaku dan cara pandangnya terhadap tindakan kekerasan. Secara singkat yang dimaksud dengan deradikalisasi adalah upaya pencegahan terhadap segala tindakan radikalisme bagi pelaku tindakan tersebut dengan cara-cara dan pendekatan kekeluargaan.
ADVERTISEMENT
Selain dengan melakukan kedua upaya yakni deradikalisasi dan kontra-radikalisasi, langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk menangkal radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara adalah dengan memperbaharui sistem perekrutan. Untuk mencegah adanya radikalisme tak cukup jika hanya mengandalkan tes kompetensi dasar dan tes kompetensi bidang. Sistem perekrutan harus diperketat dan perlu adanya serangkaian tes untuk melihat setiap rekam jejak digital calon Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pengenalan dini terhadap setiap karakteristik calon seperti sikap intoleran, fanatik, eksklusif dan revolusioner yang cenderung membahayakan. Di sisi lain, selain mengerahkan fokus kepada hal-hal yang bersifat mencegah, pemerintah juga perlu melakukan pengawasan ketat terhadap setiap gerak-gerik Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menetapkan aturan berupa regulasi yang tegas dan mengikat. Sejumlah regulasi seperti UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, PP 42 Tahun 2008 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah dan PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil memang cukup membantu dalam menangkal dan melakukan proses screening terhadap tindakan radikalisme di kalangan ASN, namun rasanya upaya ini saja tidak cukup. Harus ada beberapa aturan yang bersifat operasional terkait pencegahan dan penanganan terhadap radikalisme dan intoleransi di kalangan ASN. Penguatan terhadap pihak internal dalam hal ini yaitu Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) juga dapat digunakan sebagai salah satu opsi efektif dalam menangkal radikalisme di kalangan abdi negara. Lembaga tersebut diharapkan dapat berkontribusi bukan hanya untuk mengawasi bidang perekonomian dan pembangunan, namun dapat juga digunakan untuk mengawal dan mengatasi isu radikalisme (Antaranews.com, 2019).
ADVERTISEMENT