Konten dari Pengguna

Bukan Media Sosial, Tetapi Kontennya yang Mempengaruhi Kita

Rizky Ridho Pratomo
Seorang Content Writer di Yayasan Generasi Literat, sebuah yayasan yang bergerak di isu pendidikan, literasi, dan perdamaian. Menyukai isu futuristik seperti bioteknologi, AI, keamanan data.
27 Juli 2022 16:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ridho Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Media Sosial: https://www.pexels.com/photo/person-holding-iphone-showing-social-networks-folder-607812/
zoom-in-whitePerbesar
Media Sosial: https://www.pexels.com/photo/person-holding-iphone-showing-social-networks-folder-607812/
ADVERTISEMENT
Ketika saya membuka media sosial, banyak teman-teman saya yang kariernya mulai sukses, sibuk dengan proyek kantornya. “Keren sekali hidup mereka,” pikir saya. Pikiran bawah sadar perlahan mulai membandingkan diri dan berkesimpulan bahwa pencapaian saya tidak ada apa-apanya dibandingkan teman-teman saya. Saya menjadi insecure.
ADVERTISEMENT
Namun, dari sini saya bertanya, “Mengapa bermain media sosial menjadi sedemikian rumitnya?” Saya mulai menggali kembali alasan penciptaan media sosial dan mengapa media sosial disangkutpautkan dengan depresi, kecemasan, dan perasaan teralienasi.

Esensi Media Sosial

Sewaktu Mark Zuckerberg masih menjadi mahasiswa di Harvard tahun 2004 lalu, dia mengatakan bahwa alasannya menciptakan Facebook untuk memecahkan masalah komunikasi di kampusnya.
Mark ingin menciptakan aplikasi yang membuat mahasiswa-mahasiswi saling terhubung. Akhirnya, terciptalah Facebook sebagai platform untuk berhubungan dengan orang banyak.
Jack Dorsey menyusul Mark Zuckeberg dan menciptakan Twitter di tahun 2006. Gagasan awalnya adalah untuk menciptakan aplikasi berbagi pesan kepada sekelompok orang, mirip dengan SMS. Lambat laun berproses, akhirnya Jack berhasil menciptakan Twitter, dengan tweet pertama yang berbunyi, “just set up my twttr.”
ADVERTISEMENT
Enam tahun kemudian, Kevin Systrom dan Mike Krieger menciptakan Instagram. Bagi mereka, Instagram merupakan tempat berbagi foto.
Kemudian, pada tahun 2016, Instagram menciptakan fitur story, yang terinspirasi dari Snapchat. Netizen bisa membagikan cerita mereka dengan perspektif yang lebih kaya.
Perusahaan asal Tiongkok, Bytedance, menciptakan TikTok di tahun 2016 sebagai aplikasi untuk membuat dan membagikan video pendek ke netizen. Singkatnya, TikTok berfungsi sebagai media sosial penghibur bagi para user yang lelah beraktivitas.
Sampai sekarang, media sosial telah digunakan miliaran orang secara global. Mereka berbagi momen kebersamaan, berkomunikasi, membagikan video lucu, dan melakukan pemasaran di media sosial.
Dari penggalian ini, satu kesamaannya adalah dibuatnya media sosial bertujuan untuk tiga hal: sharing, communication, dan entertainment. Itu esensi media sosial. Semua orang di berbagai belahan dunia bisa berkomunikasi dan berbagi dengan teman mereka.
ADVERTISEMENT

Makna dari Sharing

Lalu, kenapa bermain media sosial menghasilkan perasaan tertentu?
Ada satu kata yang menjadi fokus saya: sharing. Saya memahami bahwa makna kata sharing di media sosial tidak hanya soal konten informatif, tetapi membagikan beberapa hal tentang diri kita, khususnya sisi-sisi baik.
Kita ingin orang-orang melihat bahwa kita sudah menjadi sosok yang ideal. Misalnya, memiliki pekerjaan yang baik, mempunyai banyak teman, dan terlibat dalam berbagai komunitas yang sesuai dengan kepedulian kita.
Survei dari We Are Social tahun 2022 mengungkapkan ada dua alasan mengapa orang bermain media sosial: terhubung dengan teman dan keluarga (58%) dan mengisi waktu luang (57%%).
Ini memang benar adanya, karena ketika di media sosial, kita bisa merespon story dan postingan teman-teman kita, berbalas komentar dan pesan langsung.
ADVERTISEMENT
Tetapi, survei itu masih umum. Saat melihat dari sudut pandang psikologis, jawabannya berbeda. Studi dari New York Times pada tahun 2011 lalu menemukan bahwa 68% responden berbagi di media sosial karena ingin menunjukkan kepada orang-orang tentang diri dan apa yang dipedulikan.
Karena alasan itu, kita mengkurasi konten yang akan kita publikasikan supaya sesuai dengan sisi ideal kita. Tak jarang, saat kita buka story, feed, atau status, sisi baik seseorang akan terlihat.
Psikolog Carl Rogers menjelaskan bahwa diri kita terbagi dua: sisi ideal dan sisi sejati. Sisi sejati kita berada di dunia nyata, sedangkan sisi ideal kita berada di media sosial.
Di media sosial, sisi ideal itulah yang kita tonjolkan. Kita melakukan branding bahwa diri yang ada di media sosial adalah yang sejati. Padahal, bisa jadi, diri mereka yang ada di dunia nyata tidak sebaik di media sosial.
ADVERTISEMENT
Jadinya, kita bermain media sosial untuk mendapatkan status tertentu. Tucker Max, seorang penulis best-selling asal Amerika Serikat, mungkin tepat mengatakan bahwa tujuan sharing di media sosial adalah soal status.
Orang-orang akan membicarakan konten kita dan itu tentunya menguntungkan kita. Karena itu, kita ingin memastikan jika orang-orang hanya membicarakan hal baik tentang kita.
Maka dari itu, kita sekarang hidup di dua dunia: nyata dan digital. Di dunia nyata, kita hidup dengan diri kita apa adanya. Sedangkan di dunia digital, kita menciptakan diri yang ideal.

Bukan Platformnya, Tetapi Kontennya

Postingan di media sosial adalah hak setiap orang. Kita bebas memposting apapun selama tidak melanggar ketentuan dari media sosial masing-masing.
Media sosial hanyalah sebuah teknologi. Lalu, memang bisa teknologi menimbulkan perasaan negatif? Terus mengapa ketika melihat postingan story, feed, dan status teman yang menunjukkan kesuksesannya, kita malah merasakan emosi negatif?
ADVERTISEMENT
Pencarian jawaban saya akhirnya mengarah pada satu kata: konten. Media sosial memungkinkan kita menampilkan sisi terbaik kita, sehingga konten kita berupa story, feed, dan status berusaha menonjolkan sisi itu.
Postingan tersebut adalah konten: konten yang kita kurasi supaya orang melihat sisi terbaik kita. Bagaimana jika konten tersebut dilihat oleh orang-orang, yang situasi dan kondisinya tidak seindah orang lain di media sosial?
Katakanlah seseorang yang sedang kesepian, kemudian melihat konten teman dekatnya sedang bersenang-senang. Dan teman dekatnya tidak mengundangnya. Atau ketika seseorang tidak naik kariernya melihat postingan temannya yang baru promosi menjadi Senior Manager.
Bisa jadi, konten tersebut membuat kita merasa insecure, lalu membandingkan dirinya dengan temannya. Kita merasa tidak signifikan dan menjadi orang yang paling kesepian di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Studi tahun 2018 yang terbit di Jurnal Sosial dan Psikologi Klinis mengungkapkan bahwa media sosial menjadi penyebabnya. Peneliti menemukan bahwa orang yang tidak sering bermain media sosial tidak terlalu depresi dan merasa kesepian.
Namun, saya berpikir bukan media sosialnya, karena dia hanya teknologi. Akan tetapi konten yang ada di dalamnya. Konten yang kita lihatlah yang membuat kita merasakan perasaan tertentu, baik itu negatif ataupun positif.
Kesimpulannya, perubahan sifat media sosial dari positif ke negatif itu tergantung kita sendiri sebagai konsumen konten-konten media sosial. Tergantung kondisi, situasi, dan pola pikir kita, konten di media sosial bisa berpengaruh positif atau negatif.
Sayangnya, kita tidak bisa mengendalikan konten yang terpublikasi. Kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada di lingkup diri kita: respon dan pola pikir.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, perasaan insecure dan rendah diri yang saya rasakan terjadi karena saya belum bisa mengendalikan respon dan emosi. Alhasil, saya perlu menguatkan kendali di dalam diri supaya perasaan negatif ini tidak muncul kembali.