Konten dari Pengguna

Mudik: Momen untuk Disconnect

Rizky Ridho Pratomo
Seorang Content Writer di Yayasan Generasi Literat, sebuah yayasan yang bergerak di isu pendidikan, literasi, dan perdamaian. Menyukai isu futuristik seperti bioteknologi, AI, keamanan data.
22 April 2023 15:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ridho Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Momen mudik untuk memelihara kesehatan mental. Photo by Denniz Futalan from Pexels: https://www.pexels.com/photo/passengers-on-railway-station-in-asia-4330937/
zoom-in-whitePerbesar
Momen mudik untuk memelihara kesehatan mental. Photo by Denniz Futalan from Pexels: https://www.pexels.com/photo/passengers-on-railway-station-in-asia-4330937/
ADVERTISEMENT
Biasanya, aku tidak begitu excited untuk mudik. Namun dua tahun terakhir, ada perasaan yang berubah pada diriku. Ketika ditanya ingin mudik atau tidak, aku selalu mengiyakan dengan tegas.
ADVERTISEMENT
Aku pikir mungkin memang menyenangkan bertemu saudara/I yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi, jika aku pikirkan lebih dalam, ada suatu hal yang hanya bisa aku dapatkan di kampung halaman.

Ibukota yang Melelahkan

Tentunya bukan lempeng, brem, atau sambal pecel. Makanan tersebut memang jarang – bahkan tidak ada – di Jakarta. Kalaupun aku ingin mendapatkan ketiga makanan tersebut, aku bisa menghubungi saudara/I yang ada di sana untuk mengirimkannya ke rumah.
Namun, bukan itu yang aku cari. Aku merasa bahwa kampung halaman adalah tempat di mana aku bisa menyegarkan kembali pikiran, mental, dan fisik.
Mengapa demikian?
Tempat tinggalku saat ini, Jakarta, adalah tempatnya lelah: tempat orang-orang bekerja keras untuk meraih sesuatu. Tempatnya para achiever yang berambisi menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tempat di mana orang-orang selalu ingin terlihat sibuk. Apalagi jika kita berusaha meraih impian, tetapi masih belum menemukan jalan yang tepat. Kita akan bekerja keras mencari rute paling cepat.
ADVERTISEMENT
Namun, realita kadang menampar kita bahwa kerja keras yang kita lakukan saat ini belum tentu mendapat ganjaran yang setimpal. Ada orang yang seusiaku, bahkan di bawah usiaku, telah sukses. Ada yang masih terseok-seok mencari penghidupan yang layak dan ada yang jatuh bangun merintis usahanya.
Terlepas dari kondisinya, orang-orang tersebut pun menghadapi masalahnya sendiri. Orang yang sukses mungkin stress mencari tahu bagaimana mengangkat kesuksesannya ke tingkat yang lebih tinggi, mempertahankan kariernya, atau meningkatkan performa bisnisnya. Orang yang merangkak mencari penghidupan yang layak mungkin sedang memutar otak untuk menemukan cara mendapatkan pundi-pundi yang mencukupi kebutuhan. Yang sedang membangun usaha mungkin sedang memikirkan solusi inovatif agar bisnisnya stabil.
Masalah-masalah tersebut justru akan mendorong kita untuk bekerja keras, bahkan ekstra keras. Kita percaya bahwa dengan bekerja keras, kita akan meraih hal-hal yang kita cita-citakan. Film, motivator, serial televisi, juga anime menggebu-gebukan pentingnya kerja keras.
ADVERTISEMENT
Bagiku, itulah Jakarta.
Agak keras, ya, kedengarannya? Ini bukan aku yang sedang mengeluh. Memang begitulah adanya. Jakarta bukan tempat untuk sekadar rebahan tanpa melakukan apapun. "Dosa besar" jika kita hanya menjadi kaum rebahan di Jakarta.
Tetapi lambat laun, kita akan mencapai titik saturasi tertentu. Titik di mana akhirnya kita mengalami kelelahan atau burnout. Fisik, pikiran, dan mental menjadi tidak optimal untuk melakukan sesuatu, yang akhirnya berdampak pada kehidupan sosial dan profesional.
Apakah perasaan yang aku rasakan valid? Ada riset yang memvalidasinya. Microsoft, dalam risetnya di tahun 2022, menemukan bahwa hampir 50% karyawan dan 53% manajer di 11 negara di dunia mengalami kelelahan. Di tahun yang sama, McKinsey menemukan bahwa 1 dari 3 karyawan di Asia mengalami hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Aku bisa jadi adalah bagian kecil dari persentase tersebut. Aku suka bekerja keras. Itu menyenangkan. Tetapi, kadang kita butuh berjarak dengan kesibukan. Aku butuh berjarak dengannya agar aku bisa bergumul lagi dengan hingar bingar Jakarta dan mencintai apa yang sedang aku kerjakan.

Tempat untuk Memelihara Kesehatan Mental

Peran itulah yang hanya bisa diisi oleh kampung halaman. Mudik menjadi momen yang tepat untuk mengambil jarak dengan Jakarta dan segala kebisingannya.
Kampung halaman menjadi tempat bagiku untuk jeda atau disconnect dengan realita: deadline pekerjaan dan project yang menumpuk, hiruk-pikuk karier, serta drama dan kekecewaan dalam hidup.
Jeda memberikan waktu bagiku untuk menghargai apa yang aku capai, memulihkan energi, menghabiskan momen bersama orang-orang tersayang, serta bersenang-senang dan berdialog dengan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Itulah alasan mengapa aku ingin mudik ke kampung halaman. Ditambah lagi dengan suasana yang berbeda, vibes yang berbeda, dan kondisi yang berbeda membuat kampung halaman jadi tempat yang selalu ingin aku kunjungi setiap tahun.
Bagiku, tidak masalah menormalisasikan kerja ekstra keras. Banyak orang melakukan itu dan meraih sesuatu di hidupnya. Aku pun mendukung pentingnya kerja keras. Yang tidak bisa dinormalisasikan adalah kerja keras tanpa jeda atau disconnect.
Mengambil jeda sejenak adalah hal yang wajar karena diri kita ini bukan robot. Komponen dalam tubuh kita jauh lebih rapuh. Suku cadang organ tubuh kita lebih mahal dan sulit didapatkan. Kadang, kita lupa tentang itu.
Jadi, aku manfaatkan momen mudik ini sebaik mungkin untuk disconnect. Aku harap teman-teman pun demikian! Memanfaatkan momen lebaran untuk jeda agar bisa lebih baik lagi beraktivitas. Selamat menikmati keheningan!
ADVERTISEMENT