Konten dari Pengguna

Tidak Lagi Bicara Privasi, Akan Tetapi Keamanan dan Perlindungan Data

Rizky Ridho Pratomo
Seorang Content Writer di Yayasan Generasi Literat, sebuah yayasan yang bergerak di isu pendidikan, literasi, dan perdamaian. Menyukai isu futuristik seperti bioteknologi, AI, keamanan data.
6 Juni 2022 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ridho Pratomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Fernando Arcos: https://www.pexels.com/photo/white-caution-cone-on-keyboard-211151/
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Fernando Arcos: https://www.pexels.com/photo/white-caution-cone-on-keyboard-211151/
ADVERTISEMENT
Teknologi masa depan memang sangat menarik. Di sana-sini, kita melihat banyak penemuan: CRISPR-Cas9, mobil listrik, teknologi energi terbarukan dan masih banyak lagi. Pada tahun-tahun berikutnya, daftarnya akan semakin panjang. Salah satu teknologi yang paling menarik perhatian adalah Artificial Intelligence (AI). Penerapannya pun juga telah kita nikmati. Contoh sederhananya adalah rekomendasi YouTube dan Netflix. Self-autonomous car akan menerapkan teknologi itu. Tidak hanya itu, teknologi kesehatan juga akan mengandalkan AI untuk melakukan pelayanan rutin hingga operasi yang rumit. Teknologi ke depan akan membutuhkan banyak data supaya maksimal penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Berbicara tentang data, ada satu isu yang sedang banyak dibicarakan, yaitu soal privasi. Arti kata privasi adalah hak untuk mengendalikan apa yang ada di dalam diri kita. Secara etimologi, privasi itu kebebasan atau keleluasan pribadi. Jika kita terjemahkan ke dalam konteks, privasi dalam data adalah bagaimana kita punya kebebasan untuk mengendalikan data kita dan tidak ada orang lain selain kita yang punya kendali. Ketika COVID-19 melanda Bumi, privasi data menjadi salah satu hal yang paling penting. Kita mulai khawatir bagaimana data kita digunakan. Kita tidak ingin, bukan, tiba-tiba ditelepon sama orang yang tidak dikenal saat kerja atau beraktivitas? Oleh karena itu, kita berusaha menjaga data-data penting kita (nama, alamat rumah, email, nomor handphone).
ADVERTISEMENT

Privasi Data yang Hilang

Akan tetapi, bisakah kita? Menurut penulis, kita tidak bisa lagi memiliki privasi dalam data kita. Mengapa demikian? Ada dua argumen yang dapat penulis tawarkan. Argumen pertama, teman-teman pasti memiliki media sosial atau setidaknya menggunakan beberapa aplikasi, kan? Supaya kita bisa menggunakan aplikasi, biasanya, kita mengisi data diri terlebih dahulu. Karena kita ingin menggunakannya untuk kepentingan kita, kitapun mengisinya. Setelah semua identitas diisi, akhirnya kita bisa menikmati aplikasi tersebut.
Dari ilustrasi ini, apakah ada yang aneh? Mengapa berbicara soal privasi data ketika kita secara sukarela menyerahkan data kita untuk menikmati layanan dalam sebuah aplikasi? Dan pola ini telah berulang kali kita lakukan dan mungkin kitapun juga tidak peduli lagi dengan itu. Terlebih, jika melihat perkembangan pengguna media sosial secara global, menurut We Are Social dan Hootsuite, jumlah penggunanya pun meningkat: dari 4,199 miliar di tahun 2021 menjadi 4,623 miliar di tahun 2022. Berarti, ada 4,623 miliar orang yang telah menyerahkan data pribadinya ke perusahaan teknologi. Benar, data adalah hak kita dan kita punya kendali soal penggunaannya. Akan tetapi, saat kita menyerahkan data kita, masihkah kita punya kendali?
ADVERTISEMENT
Argumen kedua adalah sifat dari perkembangan penemuan teknologi. Data adalah sumber minyak dalam ekonomi digital. Mereka seperti minyak bumi, yang akan terus dicari. Data menjadi satu faktor penting dalam inovasi teknologi. Contohnya adalah self-driving car. Supaya mobil pintar bisa beroperasi dengan maksimal, para arsiteknya membutuhkan banyak data. Data tersebut di antaranya tentang bagaimana manusia mengatasi kemacetan, jalan tercepat untuk sampai ke tujuan, bagaimana manusia menghindari kecelakaan, dan lain-lain.
Mari kita ambil ilustrasi lainnya. Ada beberapa perusahaan yang bergerak di bidang genetika: 23andMe, MyHeritage, FamilyTreeDNA, dan Ancestry. Kita ambil contoh, 23andMe. 23andMe adalah perusahaan genetika yang menyediakan layanan tes DNA agar kita bisa mengetahui asal-usul keturunan kita. Bagaimana caranya? Masyarakat yang berlangganan layanannya hanya perlu mengirimkan saliva ke test kit mereka. Kemudian saliva itu dianalisis. Setelah dianalisis dan keluar hasilnya, 23andMe akan mengirimkan hasilnya kepada kita.
ADVERTISEMENT
23andMe adalah perusahaan yang menarik, di mana mereka memfasilitasi kita supaya bisa mengetahui detail keluarga kita. Bahkan, mereka juga menyediakan laporan kesehatan. Akan tetapi, mari kita lihat dari perspektif privasi data. Tidak seperti kartu kredit, informasi di dalam DNA kita tidak bisa diubah. Dengan kata lain, saat orang-orang menggunakan layanannya, mereka juga menyerahkan datanya ke pihak perusahaan. Meskipun 23andMe punya kebijakan privasi yang cukup detail, akan tetapi kita tidak bisa menutup kemungkinan soal penyalahgunaan data. Mungkin untuk kepentingan riset tidak begitu masalah, akan tetapi jika untuk profit, ceritanya akan berbeda. Terlebih, pada tahun 2019 lalu, 23andMe telah menguji sembilan juta orang. Kompetitor mereka, Ancestry, telah menguji 14 juta orang di tahun yang sama. Itu berarti, data genetik kita tidak hanya menjadi milik kita sendiri. Ancestry dan 23andMe telah memegang data genetika banyak orang.
ADVERTISEMENT

Hukum Jadi Penting

Terdengar menakutkan, bukan? Akan tetapi, karena semakin banyak layanan dalam bentuk aplikasi, kita juga harus menyerahkan data kita untuk menikmatinya, baik itu untuk layanan kesehatan, transportasi, asuransi, bahkan transaksi di metaverse. Pertanyaannya bukan lagi tentang mempertahankan privasi, akan tetapi bagaimana kita, sebagai masyarakat, bisa mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan jika data kita disalahgunakan?
Kuncinya ada di dalam hukum. Hukum adalah jalan satu-satunya, karena hukum mengatur segala praktik penggunaan data. Pada tahun 2018 lalu, Uni Eropa memberlakukan sebuah undang-undang yang disebut General Data Protection Regulation (GDPR). Regulasi ini mengatur ketat soal penggunaan data yang dilakukan perusahaan dan organisasi. Mereka tidak lagi bebas untuk mengubah data menjadi keuntungan. Seseorang bisa melakukan request untuk menanyakan datanya dan bisa menghapus beberapa datanya. Di dalam GDPR, penyebutannya disebut Subject Access Request (SAR). Secara garis besar, GDPR adalah soal perlindungan dan keamanan data pribadi. Selain Uni Eropa, Brazil dan Amerika Serikat (AS) juga punya undang-undang yang mirip dengan GDPR.
ADVERTISEMENT
Ketika hukumnya telah mapan, kita memiliki kekuatan untuk melindungi data pribadi kita. Kita mempunyai hak untuk mempertanyakan tujuan penggunaan datanya. Jika kita mengetahui penggunaannya, kita akan merasa aman jika misalnya ada kejadian yang tidak terduga. Itu berarti, perusahaan dan organisasi punya kewajiban untuk memberi tahu penggunaan data kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas. Consent menjadi kata kuncinya. Perlu ada kesepakatan tentang batas dan tujuan penggunaan data.
Indonesia perlu segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi agar masyarakat mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan data. Data menjadi hal penting bagi kita dan bagaimana cara perusahaan dan organisasi menggunakannya menjadi satu hal yang harus diregulasi sedetail mungkin.
Di dunia sekarang, semuanya adalah tentang data. Kita adalah sumber data. Untuk menikmati layanan yang perusahaan atau organisasi kasih, kita perlu menyerahkan data kita. Oleh karena itu, jaminan keamanan dan perlindungan data menjadi isu yang penting. Bagi kita sebagai anak muda, memahami isu ini penting supaya kita bisa lebih bijak dalam menggunakan data kita dan mengetahui hak kita sebagai pemilik data.
ADVERTISEMENT