Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kritik Mata Pelajaran Sosiologi di Sekolah Menengah Atas (SMA)
29 Agustus 2021 8:19 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rizky Adha Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayangan saya saat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memutuskan hendak mengambil program studi Sosiologi di kuliah adalah, saya bisa menjadi salah satu orang yang mampu menyelesaikan masalah sosial di Indonesia. Atau paling tidak, di sekitar saya.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut dilakukan dengan menjadi bagian dari Kementerian Sosial, Dinas Sosial, atau instansi pemerintah lainnya, yang bertugas menangani permasalah sosial. Pikir saya dahulu, satu-satunya mengatasi masalah sosial adalah melalui kebijakan pemerintah.
Misalnya, dengan membuat pelatihan seni musik bagi para musisi jalanan untuk meningkatkan kapasitas mereka. Dengan harapan, mereka mampu menembus industri musik yang lebih luas.
Bayangan tersebut tidak pernah terbayangkan lagi saat ini, ketika saya telah lulus dari program studi Sosiologi di perguruan tinggi. Saat ini saya berpikir, “kok bisa ya aku senaif itu dahulu”.
Kementerian Sosial yang dahulu saya kira bisa menyelesaikan masalah sosial di Indonesia, malah jadi sumber masalah sosial yang besar. Apalagi kalau bukan perkara korupsi dana bantuan sosial COVID-19 senilai Rp 32,2 miliar oleh Menteri Sosial, Juliari Batubara, dikutip melalui Tempo.co.
ADVERTISEMENT
Benar dan Salah dalam Sosiologi Hanya Mitos
Saya merasa jika kenaifan saya dahulu, salah satunya karena transfer pengetahuan antara guru dan murid yang terlalu kaku menggunakan logika benar-salah dalam melihat permasalahan sosial. Masyarakat itu luar biasa dinamis dan selalu berubah-ubah. Ini yang harusnya diterapkan pada mata pelajaran Sosiologi di SMA.
Alih-alih pembahasan yang cair, guru Sosiologi Saya dahulu justru memilih metode sangat terpaku pada benar-salah di dalam buku. Seolah buku pelajaran adalah entitas kebenaran tunggal, melebihi realitas masyarakat itu sendiri. Jika tidak sesuai dengan buku pelajaran, dianggap salah.
Saya ingat pada salah satu materi tentang stratifikasi sosial ketika SMA dahulu, terdapat sebuah argumen di dalam buku pelajaran yang kurang lebih berisi “pekerjaan Direktur perusahaan dianggap lebih tinggi stratanya daripada Petani”.
ADVERTISEMENT
Secara pendapatan ekonomi mungkin iya, secara status sosial? Wah jelas ini bentuk ketidakadilan dalam berpikir. Kalau dahulu saat SMA sih, saya berpikir “oh iya benar.” Tetapi sekarang saya berpikir, "bagaimana mungkin seorang Petani yang notabenenya menanam apa yang menjadi kebutuhan pokok manusia, bisa-bisanya memiliki status sosial yang lebih rendah dari pekerjaan apa pun?"
Jelas ini berbahaya, bisa menjadi salah satu pelanggengan stigma jika Petani adalah pekerjaan yang ‘tidak atau kurang layak’. Salah satu dampaknya dalam jangka panjang tentu bisa menurunkan minat generasi muda untuk menjadi Petani, dikutip melalui Tirto.id. Saya agak sulit membayangkan Tanah Air Indonesia yang luar biasa subur ini, mengalami krisis regenerasi Petani.
Logika benar-salah dalam mata pelajaran Sosiologi adalah mitos. Dosen saya pernah mengatakan kurang lebih “seharusnya istilah benar dan salah dalam melihat realitas sosial, diubah menjadi baik dan buruk. Benar dan salah sifatnya mutlak, sedangkan baik dan buruk sifatnya argumentatif. Tidak bisa melihat masyarakat dengan kacamata kemutlakan, sedangkan masyarakat itu sifatnya dinamis.”
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin realitas sosial yang begitu luas, yang dapat dilihat dari berbagai sudut pandang dan dimensi, disederhanakan menjadi pertanyaan dalam bentuk “pilihan ganda”. Pilihan ganda itu logikanya menganggap jika selain jawaban yang benar, berarti jawaban itu salah.
Saya contohkan melalui soal di atas yang diambil dari halaman resmi Ruangguru.com. Menurut saya, semua jawaban yang disajikan di atas, bisa digunakan untuk menjawab pertanyaannya. Tentu saja didukung dengan argumen masing-masing jawaban.
Tetapi, pembahasan soal di atas menganggap jika jawaban yang benar adalah A, dan yang lain salah. Penyederhanaan dari penerapan benar dan salah tersebut, menurut saya dapat berdampak pada cara berpikir yang kurang kritis siswa SMA dalam melihat permasalahan sosial.
Menurut saya, alangkah lebih baik jika pertanyaan dalam mata pelajaran Sosiologi disajikan dalam bentuk esai. Tujuannya untuk melatih eksplorasi menjawab pertanyaan siswa SMA. Contohnya, pertanyaan di atas dapat diganti dengan “Mengapa pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tayangan televisi penting?”
ADVERTISEMENT
Masalah Sosial Tidak Berdiri Sendiri
Setelah saya lulus dari program studi sosiologi, saya sadar jika apa yang dipelajari pada mata pelajaran Sosiologi di SMA sangat jauh dari kata ‘dasar’.
Sosiologi terlalu luas, sifatnya multi-dimensional dan multi-disiplin. Tak jarang, Sosiologi bersinggungan dengan disiplin keilmuan yang lain. Ini sangat jarang disinggung pada saat saya belajar Sosiologi di SMA. Seolah permasalahan sosial berdiri sendiri, tanpa melibatkan aspek permasalahan lainnya.
Contohnya, dalam melihat konflik lahan di Lamandau, Kalimantan Tengah. Konflik merupakan permasalahan sosial, tetapi di balik konflik tersebut, terdapat banyak persoalan lain yang menjadi bahan bakar konflik. Seperti permasalahan lingkungan, budaya, dan ekonomi, dikutip melalui Mongabay.co.id.
Sosiologi di SMA terlalu berkutat pada definisional, alih-alih menjelaskan secara kontekstual kondisi masyarakat. Seperti pada materi interaksi sosial, pembahasan lebih berkutat pada definisi; bentuk-bentuk; ciri-ciri; dan faktor-faktornya. Ini menurut saya pembahasan yang sangat “teknis” dan terlalu umum.
ADVERTISEMENT
Setidaknya itu yang saya alami ketika belajar Sosiologi di SMA dengan kurikulum KTSP 2006, sekitar 6-8 tahun lalu, yang saat ini menjadi sebuah keresahan. Jika tidak ada perubahan sampai saat ini, mungkin kritik saya terhadap mata pelajaran Sosiologi di SMA masih cukup relevan.