Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pengalaman Dosen IPB Melewati Dua Kali COVID-19 sebagai Penyintas Kanker
25 Agustus 2021 21:08 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Rizky Adha Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Rindang Matoati (40) masih ingat, awal mula bagian perutnya mulai kerap terasa sakit. Saat itu tahun 1996, ketika Rindang merasa bagian perutnya mulai membesar dan membengkak. Lambat laun ia merasa jika ada yang tidak beres pada tubuhnya. “Tahun 1996 pernah sakit lambung dan hati yang nggak selesai gitu. Lambat laun perut mulai bengkak dan membesar, saya mulai kepikiran saat itu,” ujar Rindang, Rabu (4/8/2021), saat diwawancarai melalui telepon.
ADVERTISEMENT
Sempat Merasa Sedih dan Terpuruk
Karena tidak kunjung hilang, Rindang memeriksa kondisi tubuhnya untuk mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya. Hingga pada tahun 2009, hasil diagnosis Dokter menunjukkan jika terdapat adenoma tubular di usus Rindang, yang merupakan salah satu dari sel kanker. Rindang sempat merasa kaget dengan hasil tersebut. “Saya benar-benar merasa shock pada saat itu” ucapnya.
Pada awalnya, perempuan yang kini bekerja sebagai Dosen program studi Manajemen di Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut, sempat merasa sedih dan terpuruk. Rindang sempat mengeluhkan kondisi yang terjadi atas tubuhnya. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai dapat menerima dan berdamai dengan dirinya sendiri sebagai penyintas kanker.
“Saya sempat merasa sedih. Sempat berpikir kenapa harus saya yang sakit, seperti itu,” ucap Rindang. “Tapi ya akhirnya terima aja kalau sakit, jalanin aja semuanya. Kalau harus berobat ya berobat, kalau harus kemoterapi ya kemoterapi,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Penerimaan diri dan berdamai dengan kanker tersebut menjadi langkah awal Rindang untuk menggapai kesembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Risiko Kanker Meningkat Karena Tingkat Stress Pekerjaan Tinggi
Rindang merupakan seorang perempuan pekerja keras yang selalu memiliki ambisi yang besar dalam bekerja. Perempuan yang dahulu bekerja di perusahan asing yang bergerak di bidang logistik ekspor-impor tersebut, kerap tidur hanya dua sampai tiga jam dalam sehari, bahkan sesekali hanya satu jam. “Saya orang yang ambisius dalam bekerja, saya bahkan bisa mengevaluasi atasan saya jika saya tidak naik pangkat,” ucap Rindang. “Saya tidur cuma 2-3 jam, bahkan 1 jam setiap hari saat itu,” lanjutnya.
Ambisi besar Rindang pada saat itu dengan terpaksa harus ia hentikan untuk sementara. Rindang direkomendasikan oleh dokter untuk berhenti dari pekerjaannya jika ia ingin sembuh. Pada saat itu, dunia Rindang seolah telah berubah. Hari-hari yang penuh ambisi bekerja, terpaksa harus ia hentikan. “Dokter meminta berhenti dari pekerjaan itu jika saya ingin sembuh. Dunia mulai terasa berubah bagi saya,” ucap Rindang.
ADVERTISEMENT
Rindang mengatakan jika tingkat stress yang tinggi sangat berpengaruh terhadap kesehatannya. Rindang percaya jika cara kerjanya yang penuh ambisi, dengan mengorbankan waktu istirahatnya, berpengaruh terhadap munculnya tumor adenoma tubular di dalam ususnya. “Saya terlalu nge-push pekerjaan saya, menurut saya tingkat stress sangat berpengaruh, saya menikmati pekerjaan saya, tapi stressful dengan itu,” ucapnya. “Setelah saya keluar dari pekerjaan lama saya, posisi saya digantikan oleh 6 orang. Kamu bisa bayangin betapa hardworking-nya saya,” pungkasnya.
Senada dengan yang dikatakan Rindang, Dokter Siska Yunita, Dokter Klinik Utama CMI juga mengatakan jika tingkat stress yang tinggi dapat meningkatkan risiko munculnya sel-sel kanker yang dapat menimbulkan tumor. Karena stress dapat memicu radikal bebas di dalam tubuh yang dapat meningkatkan risiko munculnya sel-sel kanker.
ADVERTISEMENT
“Stress memicu terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh, pertama itu. Kedua, dia melemahkan respons antibodi dalam tubuh. Jadi, ketika misalnya kita salah makan, harusnya kan ada antibodi yang menetralisir zat racunnya itu, ini kan nggak ada, karena dia stress. Menurunkan sensitivitas antibodi. Yang paling sering sih stress itu menyebabkan terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh,” kata Dokter Siska ketika diwawancara di Klinik Utama CMI, Kamis (5/8/2021).
Menghindari Stress Membantu Menyembuhkan Kanker
Selain karena faktor pengobatan medis yang telah ia jalani, Rindang merasa kondisinya lebih baik setelah ia bisa menerima dan berdamai dengan dirinya. Rindang selalu teringat dengan ucapan ibunya, yang mengatakan jika serahkan semuanya kepada Tuhan, dan selalu berbuat baik setiap harinya sebagai bentuk rasa cinta terhadap Tuhan. “Ibu saya sering bilang kalau kita sebagai ciptaan Tuhan, harus selalu percaya dan beribadah kepada Allah. Kamu harus memberi yang terbaik untuk yang nyiptain kamu, salah satunya dengan perbuatan baik,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Penerimaan dengan tulus terhadap kondisi tubuhnya dan selalu berpikir positif tersebut, mampu membuat Rindang lebih semangat untuk menggapai kesembuhan. Anggapan Rindang tersebut bukan hanya isapan jempol belaka. Secara medis, terdapat hubungan antara berpikir positif dengan penyembuhan penyakit, termasuk kanker.
“Itu kan sugesti, semua penyakit itu bisa sembuh dengan sugesti. Terus juga pengeluaran hormon endorfin saat bahagia. Endorfin kan hormon baik, dia bisa berfungsi sebagai antioksidan. Jadi ketika hormon endorfin meningkat, bagus untuk pembaharuan sel-sel yang sudah rusak untuk diperbaharui,” ungkap Dokter Siska Yunita, Dokter Klinik Utama CMI, Kamis (5/8/2021), saat wawancara di Klinik Utama CMI.
Selain menjalani kemoterapi dan sempat menjalani operasi, Rindang menjalani diet ketat untuk membantu proses penyembuhannya. Hal itu dilakukan sebagai bentuk usaha darinya, sebelum berserah diri kepada Tuhan.
ADVERTISEMENT
“Pada saat itu saya langsung melakukan diet ketat dengan mengubah pola makan. Saya stop makan yang mengandung minyak goreng, nggak boleh makan durian dan minum kopi, saya hanya makan nasi dan ikan yang direbus, harus makan banyak buah, nggak bisa minum soda, nggak bisa makan makanan yang mengandung pengawet. Untuk menikmati kopi, saya hanya mencium aromanya saja, itu sudah terasa nikmat banget bagi saya waktu itu,” ujar Rindang. Rindang mengatakan jika sakit yang ia alami merupakan sebuah peringatan dari Tuhan. Sebab, banyak evaluasi diri yang dia dapat lakukan setelah menjadi penyintas tumor adenoma tubular.
Pengalaman Melewati Infeksi Covid-19 Sebagai Penyintas Kanker
Hari-hari berat Rindang tidak berhenti sampai di situ. Selain sebagai penyintas tumor adenoma tubular di usus, ia pun pernah terinfeksi COVID-19 sebanyak dua kali. Infeksi pertama terjadi pada bulan Maret 2020. Infeksi kedua terjadi pada sekitar bulan Januari hingga Februari 2021. “Saya terkena COVID-19 dua kali. Pertama itu pada Maret 2020, dan kedua itu antara Januari atau Februari 2021. Saya sempat mengalami penurunan saturasi oksigen hingga di bawah 90,” kata Rindang.
ADVERTISEMENT
Meski sempat mengalami sedikit sesak napas, infeksi pertama berhasil dilalui Rindang cukup dengan isolasi mandiri di rumah dan rutin mengkonsumsi suplemen. “Yang Maret cuma sesak tapi nggak separah yang kedua, cukup isoman dan minum suplemen,” ujar Rindang.
Gejala yang cukup parah baru dirasakan Rindang pada saat terinfeksi COVID-19 yang kedua. Pada awalnya, gejala yang dialami Rindang berupa gatal-gatal seperti alergi. Rindang memutuskan untuk melakukan tes swab antigen. Hasilnya menunjukkan jika Rindang negatif COVID-19. Namun seiring berjalannya waktu, Rindang mulai merasa tidak enak pada tubuhnya. Rindang mulai merasakan sesak.
Akhirnya Rindang memutuskan untuk mendatangi salah fasilitas kesehatan. Alih-alih mendapat penanganan yang baik, Rindang justru mendapat perlakukan yang menurutnya kurang menyenangkan. Rindang sama sekali tidak mendapatkan obat oleh Satgas Penanganan COVID-19 dan Puskesmas. Karena pada saat itu Rindang dianggap sudah dalam kondisi yang hendak sembuh. Hal tersebut sempat membuat Rindang putus asa.
ADVERTISEMENT
“Saya sempat putus asa karena nggak dikasih obat sama sekali oleh satgas atau puskesmas. Saya dibilang sudah mau sembuh,” ungkap Rindang. “Sudah sempat merasakan ingin meninggal, untuk mengambil orderan dari ojol di depan rumah saja saya sampai nggak bisa bangun,” lanjutnya.
Setelah berkonsultasi dengan temannya dan memeriksa ulang, ternyata infeksi COVID-19 baru masuk ke tubuhnya, bukan hendak meninggalkan tubuhnya. Rindang merasa, karena ia memiliki komorbid yang berat, maka dari itu ia langsung merasakan tidak enak di tubuhnya begitu terinfeksi COVID-19.
Rindang tidak menyerah, ia tetap berusaha untuk sembuh dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengkonsumsi suplemen selenium, yang membuat kondisinya berangsur membaik. “Akhirnya saya dikasih selenium cair, saturasi saya mulai meningkat setelah saya minum, ke 89, ke 93 sampai ke 97.” pungkas Rindang.
ADVERTISEMENT
Tidak Ingin Dikasihani
Meski dalam kondisi sakit yang cukup berat, Rindang tidak ingin dipandang sebagai seseorang yang lemah karena penyakit yang ia derita tersebut. Rindang tidak suka jika ada orang yang mengasihaninya. Itu justru dapat membuat perempuan berusia empat puluh tahun tersebut merasa sedikit geram dan stress, alih-alih membuatnya senang. “Saya malah merasa sebal atau stress kalau dikasihani, such as sabar ya, semangat ya, dan lain-lain,” ujarnya.
Orang tua Rindang memperlakukan dirinya seperti orang sehat pada umumnya. Seolah Rindang sedang tidak terkena penyakit apa pun. Rindang menganggap itu sebagai sebuah dukungan untuknya. Mengingat, Rindang enggan membuat orang lain sedih atas kondisinya.
“Perlakukan orang sakit seperti orang biasa, jangan diperlakukan sebagai orang yang sakit. Saya menganggap itu sebagai bentuk dukungan dari orang tua kepada saya,” pungkasnya. Rindang merasa itu lebih baik, daripada diperlakukan sebagai orang sakit yang lemah dan tidak bisa melakukan apa-apa.
ADVERTISEMENT