Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Serba-serbi Pungli di Kawasan Wisata Curug Kabupaten Bogor
7 November 2021 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rizky Adha Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berwisata alam menjadi salah satu opsi bagi masyarakat perkotaan, untuk sejenak melepas penat dari aktivitas sehari-hari. Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, salah satu rekomendasi wisata alam yang patut dicoba adalah curug yang banyak tersedia di Kabupaten Bogor.
ADVERTISEMENT
Curug merupakan kawasan yang mirip dengan air terjun, yang terkadang terdapat kolam kecil di bagian bawahnya. Ukuran curug dan kolamnya sendiri bervariasi, mulai dari yang tinggi hingga yang rendah, yang dalam hingga yang dangkal.
Namun, ada satu permasalahan yang kerap dikeluhkan pengunjung kawasan curug di Kabupaten Bogor, yaitu pungutan liat (pungli).
Seperti yang belum lama terjadi di kawasan Curug Leuwi Hejo, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor . Sebelumnya, pungli juga pernah terjadi di kawasan Curug Bidadari, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor .
Saya mewawancarai salah satu pegiat wisata curug di Kabupaten Bogor, yaitu Radityo, untuk berbincang-bincang mengenai masalah pungli ini.
Pria yang bekerja sebagai fotografer, videografer, dan pemandu wisata lepas ini, menceritakan pengalamannya mengenai pungli di kawasan wisata alam Kabupaten Bogor.
ADVERTISEMENT
Bentuk Pungli di Wisata Curug Kabupaten Bogor
Bentuk pungli yang umum terjadi adalah dengan embel-embel uang ‘keamanan’ dan ‘kebersihan’. Oknum peminta pungli, biasanya berjaga di area jalan yang rusak. Kemudian meminta uang kepada para wisatawan, di antaranya ada yang sampai memaksa.
“Ada jalan jelek, terus dia minta sukarela, ada juga yang maksa. Minimal 2 ribu dia bilang gitu kan. Terus gue tanya buat apa, waktu itu sih dia jawab untuk keamanan. Ada juga yang maksa, kalau lewat jalan sini harus bayar,” ujar Radityo saat diwawancara di kediamannya di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Radityo sendiri pernah terkena pungli di beberapa titik wisata curug Kabupaten Bogor. “Di daerah Babakan Madang sama Sukamakmur. Tepatnya di daerah kawasan wisata Leuwihejo, Ciburial, Kembar, Cibaliung, dan sekitar. Kebetulan curug Semua,” ungkap Radityo.
ADVERTISEMENT
Oknum Pelaku Pungli
Menurut Radityo, oknum yang kerap melakukan pungli adalah kelompok usia muda setempat. Kelompok usia tua cenderung lebih paham, terkait dampak jangka panjang pungli terhadap kawasan wisata.
“Anak-anak muda di bawah 25 tahunan, kalau orang tua sudah pada ngerti,” ujar Radityo.
Pungli biasanya banyak terjadi di akhir pekan. Pelaku pungli menyadari lonjakan wisatawan yang datang di akhir pekan. Mereka memanfaatkan hal tersebut, untuk meraup keuntungan dengan cepat.
“Kalau berdasarkan pengalaman, weekend sih. Kalau weekday nggak ada, apalagi kalau dateng pagi banget jam 6, itu nggak ada. Kalau sudah jam 7 biasanya sudah ada yang nagihin,” ujar Radityo.
Alasan Mengapa Pungli Masih Tumbuh Subur
Pungli yang terjadi di wisata curug disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kurangnya pendapatan masyarakat kelompok usia muda, dan kurangnya pengetahuan mengenai dampak pungli terhadap kawasan wisata.
ADVERTISEMENT
Dampak buruk pungli dalam jangka panjang adalah berpotensi menurunkan intensitas kunjungan wisata. Sebab, pengunjung merasa tidak nyaman dengan adanya pungli.
“Pendapat gue karena kurangnya pendapatannya di sana dan minimnya pengetahuan orang sana, tentang dampak ke depannya untuk wisata di sana. Kalau terus ada pungli, bisa mengurangi pengunjung datang ke situ,” ungkap Radityo.
Cara Mengetahui Pungli
Radityo memberi tips untuk mendeteksi dugaan pungli di kawasan wisata curug Kabupaten Bogor. Menurut Radityo, penting untuk mengetahui pihak yang mengelola kawasan wisatanya.
Misalnya jika pengelola kawasan wisatanya adalah Perhutani (Perusahaan Hutan Negara Indonesia), maka tiketnya hanya yang berasal dari Perhutani. Jika terdapat tiket lain yang berasal dari luar Perhutani, maka kemungkinan besar itu adalah bagian dari pungli.
ADVERTISEMENT
“Lihat dulu dari wisatanya itu dikelola oleh swadaya atau oleh Perhutani. Kalau dikelola Perhutani, berarti tiket resminya cuma dari Perhutani aja. Kalau ada tiket lain, berarti itu kemungkinan tambahan mereka aja. Lo mesti tanya juga ini buat apa,” beber Radityo.
Radityo memberi contoh salah satu kawasan wisata curug yang menerapkan tiket fiktif sebagai bentuk pungli. Wisatawan diimbau untuk membeli tiket seharga Rp 10.000, di luar tiket dari Perhutani seharga Rp 15.000.
“Ada juga satu tempat curug di Bogor, dia itu punglinya pakai tiket. Jadi satu resmi dari Perhutani 15 ribu, satu lagi tiket tambahan yang harus lu beli 10 ribu. Padahal satu tiketnya itu nggak harus lu beli. Soalnya itu bukan ke curug, jadi kayak wisata tempat foto-foto gitu,” ungkap Radityo.
ADVERTISEMENT
Salah Satu Cara Menghindari dan Mengatasi Pungli
Radityo mengatakan jika penting untuk bertindak tegas terhadap oknum pelaku pungli. Jika memang terdapat biaya di luar tiket masuk kawasan wisata, maka wisatawan hendaknya berani menolak.
“Karena gue tau itu pungli, gue ngotot nggak mau bayar. Gue bilang ‘yaudah kalau mau sini ke rumah Pak RT’,” ujar Radityo.
Menurut Radityo, penting untuk memberikan edukasi kepada para pemuda di sekitar kawasan wisata, agar tidak melakukan praktik pungli.
Selain itu, penting untuk melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan wisata. Misalnya dengan memberi ruang bagi mereka untuk berjualan di kawasan wisata.
Radityo berharap pihak Perhutani selaku pengelola wisata, yang melakukan hal tersebut. Perhutani harus menjalin hubungan dengan masyarakat setempat dalam pengelolaan wisata. Dengan begitu menurut Radityo, bisa berpotensi mengurangi pungli di kawasan wisata curug Kabupaten Bogor.
ADVERTISEMENT
“Edukasi sih sebenarnya. Dari pihak Perhutani harusnya ikut turun juga, nggak cuek gitu. Dikasih arahan, tempatnya dibagusin, fasilitasnya dibagusin, tapi nggak ada pungli gitu. Jadi anak mudanya diajak juga, dikasih pengetahuan, atau difasilitasi gitu kayak jualan gitu. Jadi nggak usah malak-malakin wisatawan dengan alasan keamanan, kebersihan, atau lain-lain gitu,” pungkas Radityo.