Konten dari Pengguna

Mampukah Elektronifikasi Pajak Daerah Mendongkrak Local Taxing Power?

Akhmad Noor Rizky Yakhsyifany
Seorang ASN dan Praktisi Pajak yang senang menekuni isu-isu berkaitan dengan pajak, ekonomi, dan kebijakan publik
5 Februari 2025 9:16 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Akhmad Noor Rizky Yakhsyifany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyongsong era digital layanan pajak daerah (sumber: freepik.com)
zoom-in-whitePerbesar
Menyongsong era digital layanan pajak daerah (sumber: freepik.com)
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025. Presiden, melalui Inpres ini, menginstruksikan kepada seluruh Kementerian dan Lembaga di tingkat Pemerintah Pusat maupun Satuan Kerja di tingkat Pemerintah Daerah untuk melakukan efisiensi belanja, termasuk belanja berupa Transfer ke Daerah. Menteri Keuangan secara khusus diminta untuk melakukan penyesuaian Transfer ke Daerah yang berupa Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Desa. Penyesuaian transfer ini akan berimbas pada menurunnya pendapatan daerah yang berasal dari transfer Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT

Apa itu Kemandirian Fiskal dan Bagaimana Keadaannya Saat ini?

Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), postur pendapatan tersebut dikelompokkan dalam Pendapatan Asli Daerah, Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dan Pendapatan Lainnya. Otonomi daerah menghendaki adanya desentralisasi fiskal berupa adanya kemandirian fiskal di daerah. Kemandirian fiskal ini diwujudkan dengan optimalnya Pendapatan Asli Daerah, baik berupa pajak daerah, retribusi daerah, maupun pendapatan lainnya yang asli bersumber dari daerah tersebut. Namun, berdasarkan Indeks Kemandirian Fiskal yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, pada tahun 2020 masih terdapat 443 dari 503 Pemerintah Daerah atau setara dengan 88,07% dari total Pemerintah Daerah di Indonesia yang masih berstatus “belum mandiri”. Indeks Kemandirian Fiskal ini mengukur seberapa kuat Pemerintah Daerah mendanai belanjanya dengan dana yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah. Masih banyaknya Pemerintah Daerah yang berstatus “belum mandiri” menyiratkan suatu kondisi bahwa Pendapatan Asli Daerah, salah satunya pajak daerah, belum dihimpun secara optimal dan pendanaan belanja daerah masih bergantung pada tranfer dari Pemerintah Pusat.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Fakta dan Data mengenai Local Taxing Power dan Local Tax Ratio?

Local Taxing Power digunakan untuk mengukur kemampuan Pemerintah Daerah dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah. Istilah ini digaungkan ketika pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Dalam Undang-Undang tersebut, Local Taxing Power menjadi salah satu pilar utama dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok negeri. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat optimalisasi kemampuan daerah dalam memungut pajaknya adalah local tax ratio. Dikutip dari Laporan Perkembangan Fiskal dan Ekonomi Daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, pada tahun 2020 local tax ratio hanya mencapai 1,20% terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) secara nasional. Arfin (2024) mengungkapkan bahwa setidaknya local tax ratio mencapai angka 3% agar Pemerintah Daerah dapat membiayai belanjanya tanpa menggantungkan diri pada dana perimbangan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain, pemerintah menargetkan local tax ratio menembus angka 2,9% pada tahun 2024. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah harus mencari cara untuk meningkatkan local taxing power.
ADVERTISEMENT

Lalu Bagaimana Strategi Meningkatkan Local Taxing Power?

Beragam cara dapat ditempuh untuk meningkatkan local taxing power. Namun, masih terdapat banyak tantangan dalam meningkatkan local taxing power ini. Tantangan-tantangan tersebut antara lain kurangnya kompetensi dari sumber daya manusia yang terdapat di Pemerintah Daerah untuk melaksanakan fungsi pemungutan pajak daerah, penetapan target pajak daerah yang belum berkualitas, ketiadaan objek pajak daerah pada daerah tertentu sehingga pemungutan pajak daerah belum optimal, dan belum adanya elektronifikasi dalam layanan pajak daerah.
Peningkatan layanan yang terotomasi dalam bentuk layanan elektronik harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah dalam upaya untuk meningkatkan local taxing power. Saat ini, belum seluruh daerah memanfaatkan teknologi informasi dalam sistem administrasi pemungutan pajak daerah. Meyakini pentingnya digitalisasi layanan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi di daerah termasuk dalam aspek administrasi pajak daerah, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah. Salah satu poin pertimbangan dalam Keppres ini adalah untuk mengoptimalkan pendapatan daerah dan kesehatan fiskal di daerah sehingga perlu adanya langkah digitalisasi melalui elektronifikasi transaksi pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Salah satu bentuk elektronifikasi yang dilakukan Pemerintah Daerah adalah dengan membuat kanal pembayaran pajak daerah secara non tunai. Elektronifikasi ini merupakan salah satu upaya yang terintegrasi untuk mengubah cara pembayaran pajak dari tunai menjadi non tunai dengan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan keterbukaan informasi mengenai pengelolaan keuangan daerah.
Elektronifikasi transaksi ini diinisiasi oleh Pemerintah bersama dengan Bank Indonesia. Inisiatif ini dilakukan guna mendukung terwujudnya cashless society. Melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2016, pemerintah menginstruksikan untuk dilakukan percepatan implementasi transaksi non tunai di seluruh Kementerian dan Lembaga, termasuk Pemerintah Daerah. Arahan ini ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 910/1866/SJ tentang Implementasi Transaksi Non Tunai pada Pemerintah Daerah Provinsi dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 910/1867/SJ tentang Implementasi Transaksi Non Tunai pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pada tahun 2019, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada Pasal 222 Peraturan Pemerintah tersebut, Pemerintah Daerah diharuskan untuk menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik dalam pengelolaan keuangan daerah. Salah satu aspek pengelolaan keuangan daerah yang harus diselenggarakan dalam sistem pemerintahan berbasis elektronik tersebut adalah pengelolaan pendapatan daerah, termasuk pajak daerah. Serangkaian regulasi ini telah menjadi landasan bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan elektronifikasi dalam layanan pajak daerah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil pengukuran Indeks Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah, pada semester I tahun 2024 diketahui bahwa sudah terdapat 480 Pemda dari total 560 Pemda yang mencapai kategori “Digital” atau setara dengan 87,9% dari keseluruhan Pemda di Indonesia. Indeks ini menunjukkan capaian yang luar biasa dalam upaya pemerintah untuk mewujudkan pengelolaan keuangan daerah berbasis digital, termasuk pengelolaan pendapatan daerah.
Spanduk imbauan pembayaran PBB di Kota Tangerang Selatan yang memuat kanal pembayaran yang beragam (sumber: penulis)
Transformasi layanan pajak daerah ke arah digital tidak cukup hanya dengan membuka kanal pembayaran non tunai saja. Digitalisasi ini perlu diperluas ke seluruh aspek layanan mulai dari pendaftaran hingga pelaporan dan pembayaran. Layanan yang terdigitalisasi diyakini mampu memberikan kemudahan kepada para wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan mereka. Di sisi lain, digitalisasi layanan menjadikan pengelolaan pajak daerah akan lebih transparan. Namun, proses ini tentu saja mengandung beragam tantangan selain dari peluang yang dapat menguntungkan baik dari Pemda maupun wajib pajak.
ADVERTISEMENT

Apa saja peluang dan tantangan yang dihadapi dari transformasi layanan pajak daerah ke arah digital?

Adanya digitalisasi layanan memang diyakini akan membawa kemudahan baik dari sisi administratif pemerintah daerah sebagai pemberi layanan maupun masyarakat sebagai pengguna layanan. Namun, transformasi ini tentu saja membawa sejumlah peluang dan tantangan. Ketika dihadapkan pada sistem atau teknologi yang baru, tanggapan dari pengguna layanan pasti beragam. Tanggapan tersebut bisa saja berupa keluhan ataupun apresiasi atas peningkatan layanan yang diberikan.
Untuk mengukur tingkat penerimaan masyarakat terhadap digitalisasi layanan yang dilakukan, Technology Acceptance Model (TAM) dapat digunakan sebagai alat evaluasi. Menurut TAM, ada tiga faktor yang menentukan apakah sistem baru tersebut dapat digunakan atau tidak. Faktor-faktor tersebut yaitu perceived usefulness yaitu tingkat keyakinan pengguna bahwa sistem tersebut dapat memberikan manfaat ketika digunakan, perceived ease of use yaitu tingkat keyakinan pengguna bahwa teknologi tersebut mudah untuk digunakan, dan intention to use yaitu kecenderungan end-user tersebut untuk menggunakan teknologi ini. Penerimaan teknologi yang baik adalah apabila si pengguna ini yakin bahwa teknologi tersebut dapat memberikan kebermanfaatan bagi dia dan teknologi tersebut mudah untuk digunakan sehingga muncul kecenderungan dari dirinya untuk menggunakan teknologi tersebut. Dari TAM model ini, Pemerintah Daerah dapat memetakan peluang dan tantangan yang terjadi apabila layanan perpajakannya bertransformasi ke arah layanan yang terdigitalisasi.
ADVERTISEMENT

Lantas, haruskah Pemerintah Daerah melakukan digitalisasi layanan pajak daerah?

Pemerintah Daerah sebaiknya melakukan digitalisasi atas layanan pajak daerah secara menyeluruh. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum keputusan tersebut diambil. Kesiapan Pemda juga harus ditinjau baik dari sisi kesiapan sumber daya manusia maupun peralatan pendukung. Analisis biaya dan manfaat harus dilakukan, jangan sampai untuk melakukan transformasi yang memerlukan biaya tinggi ini namun tidak membawa manfaat yang setimpal. Keberadaan teknologi harus dimanfaatkan tapi perlu bagi Pemda untuk melihat kondisi masyarakatnya. Tidak seluruh Pemda di Indonesia berada dalam wilayah yang memiliki infrastruktur teknologi yang memadai. Bahkan, tidak seluruh masyarakat Indonesia ini paham akan teknologi. Bagi mereka yang tidak paham teknologi, transformasi layanan ke arah digital justru memberikan kerumitan dalam mengakses layanan tersebut. Namun untuk meningkatkan local taxing power, elektronifikasi atau digitalisasi layanan pajak daerah secara menyeluruh dapat menjadi solusi.
ADVERTISEMENT