Konten dari Pengguna

Takbir Menembus Kabut: Lebaran di Masjid Desa

Novanda Tegar Maulana Rizki Sugiarto
Mahasiswa Ilmu Komunikasi di Universitas Amikom Purwokerto
1 April 2025 9:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Novanda Tegar Maulana Rizki Sugiarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kabut pagi masih menyelimuti Desa Tinggarjaya ketika gema takbir perlahan mengisi udara. Dari kejauhan, masjid desa tampak seperti permata yang bersinar lembut. Suara bedug berpadu dengan kokok ayam dan desir angin, membangunkan desa dari tidurnya. Di sisi lain, suara celoteh anak-anak bersahutan, mereka berjalan beriringan dengan ayah ibu mereka, mengenakan baju muslim bersih yang hanya dipakai setahun sekali. Di pelataran, sandal-sandal mulai berjejer rapi, pertanda hari istimewa telah tiba. Hari ini bukan sekadar pagi biasa, hari ini adalah Idulfitri.
Dokumentasi Pribadi: Beberapa orang tua dan anak-anak mulai berjalan menuju masjid dengan pakaian muslim sederhana. (31/3/2025)
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi Pribadi: Beberapa orang tua dan anak-anak mulai berjalan menuju masjid dengan pakaian muslim sederhana. (31/3/2025)
Di dalam masjid, bapak-bapak menata saf dengan tangan yang cekatan, sementara remaja masjid sibuk menata terpal dan menambahkan sajadah tambahan bagi para perantau yang pulang. Ada yang datang dari kota, ada pula yang pulang dari luar pulau, wajah-wajah lelah namun bahagia karena akhirnya bisa berlebaran di kampung halaman. Sementara itu, ibu-ibu saling bertegur sapa dan suara anak-anak yang berlarian di tangga masjid bercampur dengan lantunan takbir, menghidupkan halaman masjid yang biasanya sepi.
Dokumentasi Pribadi: Bapak-bapak menempati saf salat Id dengan tertib dan rapih. (31/3/2025)
Masjid di desa tak hanya menjadi tempat ibadah, masjid adalah pusat kehidupan dan kebersamaan. Lebaran memperkuat fungsinya sebagai simpul silaturahmi, tempat berkumpulnya warga dalam satu ikatan persaudaraan. Di sini, perbedaan usia dan status sosial luluh dalam satu saf. Warga yang setahun jarang berjumpa, kini duduk berdampingan. Selepas salat, imam masjid memimpin doa untuk para leluhur yang telah tiada, disusul salam-salaman yang hangat, penuh haru dan maaf yang tak dibuat-buat. Mengingatkan bahwa Idulfitri bukan sekadar hari kemenangan, tetapi juga hari untuk menyatukan kembali hati yang mungkin sempat terpisah oleh jarak dan waktu.
Dokumentasi Pribadi: Setelah salat Id, para jemaah saling bersalam-salaman (31/3/2025)
Jika di kota, masjid mungkin hanya tempat mampir untuk salat, tapi di Tinggarjaya masjid adalah nadi komunitas. Idulfitri mengembalikan semua orang ke porosnya, masjid sebagai rumah bersama. Tak ada pengeras suara canggih atau karpet mahal, tapi ada ketulusan yang hangat di setiap senyuman. Dari sisi ini, masjid tak ubahnya pelabuhan yang menunggu kapal-kapal pulang. Ada yang datang dengan semangat baru, ada pula yang datang membawa duka, namun semua menemukan pelipur di halaman masjid. Setiap sudut masjid menyimpan cerita tentang bagaimana mereka tumbuh bersama di dalamnya. Ada wajah-wajah renta yang tetap datang meski harus dipapah, dan anak-anak yang mulai belajar mencintai tempat ibadah sejak dini.
ADVERTISEMENT
Dokumentasi Pribadi: Seorang anak yang sedang belajar mencintai tempat ibadah ditemani dengan ayahnya (31/3/2025)
Masjid perlahan sepi. Suara langkah terakhir para jemaah memudar, tergantikan desau angin dan kokok ayam dari kejauhan. Hanya suara daun pohon mangga yang bergesekan di depan masjid, dan cicit burung yang bertengger di kabel listrik. Jendela terbuka membiarkan sinar matahari siang masuk, menyapu lantai yang kini kosong. Waktu seolah berjalan lambat. Hari Raya telah mencapai puncaknya, tapi maknanya baru saja dimulai berikutnya saat hati kembali bersimpuh dan persaudaraan diperbarui.
Dokumentasi Pribadi: Pemandangan masjid yang mulai kosong, tersisa terpal yang dilipat (31/3/2025)
Idulfitri di desa bukanlah perayaan yang hingar-bingar. Idulfitri adalah pertemuan yang lama ditunggu, pelukan yang tak lagi bisa ditunda, dan damai yang meresap dari sajadah hingga ke ruang keluarga. Dari masjid yang sederhana hingga peluk dan saling memaafkan dalam ruang keluarga. Idulfitri datang membawa harapan bahwa setiap luka bisa dimaafkan, dan setiap hati bisa kembali pulang.
ADVERTISEMENT
Idulfitri adalah pengingat bahwa tidak ada luka yang terlalu dalam untuk dimaafkan, dan tidak ada jarak yang terlalu jauh untuk kembali pulang. Di desa, kita belajar bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari hal-hal yang sederhana seperti sepotong ketupat yang dibagi, tangan yang digenggam erat saat bersalaman, dan senyum tulus yang menyambut dengan hangat. Di sanalah makna sejati Idulfitri hidup di tengah kesederhanaan, dalam ketulusan, dan di pelukan keluarga yang tak pernah pergi.