Cadas dan Mendunia

Rizqi Adri Muhammad
Foreign service officer by profession, aspiring writer by means of intervention.
Konten dari Pengguna
19 Mei 2022 20:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Adri Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi konser musik metal, Foto: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi konser musik metal, Foto: Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dulu waktu saya pertama kali pindah ke Jakarta, pernah suatu ketika saya diajak makan bareng dengan rekan-rekan seprofesi di daerah Senayan. Waktu itu saya datang memakai kaos merchandise dari Death Vomit, band asal Yogya. Ketika saya sampai di restoran, teman saya bilang begini: “Alay luh, pakai kaos begituan.” Saya ketawa saja. Waktunya kurang pas kalau saya musti jelaskan betapa legendarisnya Death Vomit di skena musik cadas Indonesia. Lagipula, saya sudah keburu lapar.
ADVERTISEMENT
Tapi lama-lama saya kepikiran juga. Iya ya, kenapa kalau kita bicara soal diplomasi seni dan musik, jarang kita bahas tentang besarnya potensi skena musik metal Indonesia? Padahal band metal Indonesia banjir prestasi, massa pendukungnya juga berlimpah. Burgerkill misalnya, band metalcore legendaris asal Bandung ini mendapatkan penghargaan Metal Hammer Golden Gods Awards di tahun 2013 dan masuk daftar 50 band metal terbaik sepanjang masa di tahun 2020. Mereka juga langganan tampil di event internasional seperti Bloodstock Open Air (Inggris) dan Wacken Open Air (Jerman). Band metal tanah air lainnya juga tak kalah populer di kancah internasional seperti Noxa, Jasad, Deadsquad, dan baru-baru ini hijabers asal Garut di VOB (Voice of Baceprot).
ADVERTISEMENT
Tak terhenti di kala pandemi
Seperti halnya skena dan industri musik lainnya, skena musik metal Indonesia juga terdampak pandemi. Sudah lah genre musik-nya segmented, dengan adanya PPKM tidak bisa roadshow ataupun sekedar kumpul komunitas. Akan tetapi, bukan skena musik metal kalau tidak resilien melawan arus. Pada masa pandemi ini, beberapa komunitas metal tanah air terus berkarya. Di Malang misalnya, mereka berinovasi dengan adanya festival musik metal daring bertajuk Road to Warblood Fest 9. Toko record store Blackandje berupaya memuaskan dahaga pecinta musik cadas dengan memuat konten Youtube bertajuk “Darktones Alliance” berisi live sessions dari berbagai band cadas kenamaan seperti Siksa Kubur, Revenge C.E, dan Straight Answer.
Beberapa band lain mengkonsolidasikan diri ke dalam dan menampilkan nuansa baru. Pada tahun 2020, Burgerkill merilis salah satu album yang saya sangat respect proses pembuatannya, yaitu Killchestra. Album ini berisi kolaborasi dengan Czech Symphony Orchestra, dimana lagu-lagu hits Burgerkill diaransemen ulang dalam alunan musik klasik. Deadsquad menggelar konser di event IDGAF 2021 melalui kolaborasi dengan Isyana Sarasvati bertajuk Crossover: Isyana Sarasvati x Deadsquad. Perpaduan musik beringas ala Deadsquad beiringan dengan merdunya olah vokal Isyana. Memang betul, hidup ini lebih indah jika seimbang layaknya prinsip Yin dan Yang.
ADVERTISEMENT
Di perhelatan internasional, musik metal Indonesia terus menuai prestasi. VOB justru tour Eropa di saat pandemi, memukau metalheads di Patronaat Haarlem (Belanda) dan WOW Sounds Festival (Inggris). Semua upaya ini dilakukan oleh VOB dengan semangat DIY (do it yourself) dan berkat dukungan jejaring komunitas metalheads Indonesia di tanah air maupun dunia.
Bukan sekedar gaya hidup
Bicara soal skena musik cadas tanah air juga tidak lepas dari betapa besar komunitasnya. Dalam penelitian bertajuk “Metal Rules the Globe: Heavy Metal Music Around the World” (2011), Jeremy Wallach menyebutkan bahwa Indonesia memiliki salah satu skena musik metal terbesar di dunia dan menjadi bagian dari “fase kedua” globalisasi musik metal. Gianluca Cellini (2017) dalam artikel jurnal berjudul “Some Analytical Consideration on Indonesian Metal Music” melansir situs ensiklopedia musik metal ternama metal-archives.com yang mencatat ada sekitar 2.245 band musik metal di Indonesia. Angka ini adalah kedua terbesar di Asia setelah Jepang (sekitar 2.691). Jika anda jalan-jalan lalu lihat ada yang pakai kaos hitam dengan gambar sablonan serupa akar tanaman, besar kemungkinan dia adalah bagian dari komunitas musik metal.
ADVERTISEMENT
Komunitas metal Indonesia juga memiliki jejaring internasional yang luas. Di era dunia yang terlipat ini, komunitas metal Indonesia awalnya terhubung dalam berbagai forum di internet. Salah satu forum yang terbesar adalah Indonesian Deathmetal (IDDM). Kemudian berkembang pula jejaring komunitas metal di luar negeri, utamanya didirikan oleh para Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bernaung di wilayah Asia. Komunitas ini biasanya tergabung dalam berbagai grup di Facebook dengan judul “Indonesian Metalheads” dan menjadi sarana bagi anggotanya untuk berbagi informasi gigs, mempromosikan band Indonesia di negara mereka bekerja, hingga melakukan kegiatan sosial.
Komunitas Metalheads di Korea Selatan termasuk aktif mempromosikan band tanah air untuk mengguncang skena cadas di sana. Didirikan pada tahun 2015, komunitas ini awalnya didirikan oleh para PMI di Korsel yang disatukan oleh kecintaan mereka terhadap gemuruh musik yang sama. Para metalheads ini lalu bekerja sama dengan agency di Korsel untuk mendatangkan band Indonesia. Sebelum pandemi melanda, band metal Indonesia yang pernah konser di Korsel adalah Deadsquad dan tentu saja… Death Vomit. Konsernya selalu ramai dan full house, walaupun skena musik metal di Korsel masih sangat niche sekali. Kalah jauh pastinya dengan popularitas Jimin dan teman-temannya.
Deadsquad membuka konser Cryptopsy (Seoul, 2019), Foto: Dokumentasi pribadi.
Lantas, bagaimana?
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah kini saatnya kita prioritaskan diplomasi seni budaya kita untuk mendukung dominasi musik metal Indonesia? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kalau kita amati siklus trend musik dari masa ke masa, musik metal atau skena bawah tanah (underground) pada umumnya justru berkembang pesat ketika tidak menjadi populer. Tidak menjadi sorotan.
Pada akhir tahun 1970an, musik metal memang mulai populer di Amerika (awalnya disebut heavy metal). Di saat Led Zeppelin dan Black Sabbath merajai musik mainstream saat itu, di lapisan bawah mulai lahir band-band yang menjadi pionir subgenre yang bertahan hingga saat ini, misalnya Anthrax dan Slayer (thrash metal) atau Death dan Cynic (death metal). Ketika musik metal masuk ke ranah populer lewat MTV di akhir tahun 1980an, justru timbul genre glam metal yang menyebabkan musik metal terkesan konyol, identik dengan rambut sasak dan celana kulit gemas.
ADVERTISEMENT
Di akhir tahun 2000an, sempat kita saksikan era baru metal dengan serbuan band-band metalcore seperti Lamb of God dan As I Lay Dying. MTV juga tidak luput mengeksploitasi ini dengan mencoba membangkitkan kembali suatu slot tayang khusus bernama Headbangers Ball, kalau tidak salah di channel MTV 2 dengan logo anjing Rottweiler berkepala dua. Namun yang cadas justru menjadi tumpul, Headbangers Ball hanya bertahan hingga sekitar 2017 dan kini nyaris tidak ada lagi platform mainstream yang menampilkan konten musik metal.
Foto: Pexels.
Mungkin pengamatan saya terlalu mengeneralisir. Tapi intinya, seperti tulisan serupa akar tanaman di logo-logo band metal, genre musik ini kuat dan mengakar ketika di bawah tanah. Tanpa exposure yang berlebihan, dikelola oleh mereka yang memang mencintainya apa adanya. Toh selama ini skena musik metal tetap lestari karena para penggemarnya sadar betul bahwa musik kesukaan mereka ini bukan selera masyarakat umum. Namun mereka tetap tekun dan teguh membangun komunitas dan passion mereka.
ADVERTISEMENT
Kalau kita bisa memahami konteks ini, mungkin akan tiba saatnya musik metal juga menjadi identitas dari diplomasi seni budaya Indonesia. Saya membayangkan, ketika kita mempromosikan kesenian kita di Swedia, kita dapat menampilkan band Jasad bersandingan dengan Amon Amarth, misalnya. Ketika Dir en Grey sedang tour di Jepang, kita bisa upayakan supaya ada suatu venue mereka tampil bersama Purgatory, misalnya lagi. Ini baru sebatas berandai-andai saja.
Atas nama inklusivitas, musik cadas tanah air seyogyanya perlu juga dirangkai secara strategis sebagai bagian dari diplomasi seni budaya. Kualitas? Tidak perlu diragukan. Massa penonton? Tumpah ruah. Mengharumkan nama bangsa? Tentu. Mungkin ketika kita perlahan memasuki era endemi ini, musik cadas Indonesia akan kembali berjaya di berbagai event internasional. Perhelatan akbar macam Hammersonic 2022 dan Jogjarockarta 2022 pun sudah siap digelar pada tahun ini. Kita tunggu saja.
ADVERTISEMENT