Kimchi dan Tepo Seliro di Pusat Pandemi

Rizqi Adri Muhammad
Foreign service officer by profession, aspiring writer by means of intervention.
Konten dari Pengguna
18 Mei 2022 14:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Adri Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korea Selatan, Foto: Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korea Selatan, Foto: Pexels.
ADVERTISEMENT
Kalau kita kilas balik ke awal tahun 2020, untuk mereka yang cinta budaya pop Korea (alias K-pop), mungkin yang terbayang adalah awal mula serial drama Itaewon Class, pre-release album BTS berjudul Black Swan, dsb. Namun bagi saya yang waktu itu kebetulan sedang bertugas di KBRI Seoul, yang teringat adalah optimisme dan kebanggaan yang saya rasakan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang tinggal di Korea Selatan (Korsel).
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2020 tentunya kita ingat bagaimana pandemi melanda dunia. Di Korsel, kasus pertama COVID-19 tercatat pada 20 Januari 2020 ketika seorang perempuan paruh baya warga Tiongkok tiba di Incheon. Tak lama kemudian pada 18 Februari 2020, terjadilah kasus “super spreader” di kota Daegu, provinsi Gyeongsangbuk-do. Seorang warga Korsel yang diberi julukan sebagai “Pasien 31” tercatat sebagai orang ke-31 yang terpapar COVID-19 di Korsel kala itu. Ia merupakan anggota dari suatu sekte religi di kota Daegu dan hanya dalam tempo empat hari interaksinya dengan jemaat lainnya menyebabkan lebih dari 500 orang terpapar virus di Daegu.
Kota Daegu terletak di bagian pesisir Tenggara Korsel, di ujung Selatan provinsi Gyeongsangbuk-do yang jaraknya sekitar 300km dari Seoul. Jumlah WNI di provinsi Gyeongsangbuk-do pada saat itu sekitar 3.900 orang, dimana sekitar 1.400 di antaranya menetap di kota Daegu. Setelah kasus Pasien 31, Kota Daegu menerapkan total lockdown dan ditetapkan sebagai “special care zones” atau daerah episentrum penyebaran virus. Hampir 70% kasus COVID-19 di Korsel saat itu berada di Kota Daegu. Jalanan Daegu sepi, semua aktivitas terhenti.
ADVERTISEMENT
Status pandemi nasional di Korsel meningkat menjadi membahayakan (red alert). Pada masa ini, dimulai upaya KBRI Seoul untuk menghadirkan pelindungan pada skala tertinggi bagi WNI kita di Korsel. Pada masa ini pula, saya amati dan rasakan ketangguhan masyarakat Indonesia di Korsel.
Di tengah kondisi yang memprihatinkan dan rentan tercipta kepanikan, salah satu hal pertama yang kami lakukan adalah memastikan bahwa setiap WNI di Daegu tetap tenang, terdata dengan baik, dan dapat dihubungi sekiranya akan diadakan evakuasi nantinya. Memang betul apa kata orang: tantangan yang luar biasa, memerlukan pendekatan yang luar biasa pula. Untuk itu, kami berupaya menghubungi satu per satu WNI di Daegu melalui telepon.
Pagi hingga malam kami di KBRI bergiliran menghubungi WNI di Daegu. Ada beberapa yang sedang santai di apartemen, di asrama kampus, namun ada pula yang posisinya sedang bersiap bekerja atau melaut untuk menangkap ikan. Sektor informal memang masih beroperasi saat itu di Daegu, terutama sektor perikanan yang komoditasnya bergantung musim.
ADVERTISEMENT
Awalnya, saya pikir para WNI akan berada dalam kondisi panik ketika kami hubungi. Namun di luar dugaan, sebagian WNI telah mulai menjalin kontak satu sama lain untuk memantau kesehatan atau sekedar ngobrol supaya tidak stress. Karena lokasi yang berjauhan antar kampus, WNI mahasiswa juga telah saling melengkapi database informasi pribadi untuk digunakan jika keadaan darurat. Ketika WNI yang lokasinya jauh di pelosok provinsi Gyeongsang-buk-do kehabisan masker, bahkan WNI dari kota lain di Korsel juga telah berinisiatif membantu mengirimkan masker melalui layanan pos. Luar biasa solidaritas masyarakat Indonesia, batin saya.
Sekitar dua minggu berselang dan kami telah berhasil menghubungi sebagian besar WNI di Daegu. Kondisi WNI saat itu secara umum aman dan belum ada yang terpapar virus. Akan tetapi masih terdapat kendala bagi sebagian besar WNI di wilayah provinsi Gyeongsangbuk-do, yaitu kelangkaan masker kesehatan karena terdapat kuota maksimal bagi setiap orang untuk pembeliannya. Sementara itu KBRI telah mengamankan stok masker cukup banyak hasil donasi dari berbagai pihak di Korsel dan Indonesia. Untuk memastikan bahwa setiap WNI di provinsi Gyeongsangbuk-do terkhusus kota Daegu menerima masker dan logistik pencegahan COVID-19, maka diputuskan untuk mendekatkan diri ke sana. Saat itu lah KBRI mendirikan Posko Aju pada tanggal 27 Februari 2020.
ADVERTISEMENT
Supaya kami dapat cepat mencapai WNI di Gyeongsangbuk-do dan Daegu, maka Posko Aju didirikan sekitar 50 km di luar Daegu, di desa terpencil bernama Euiseong-gun. Tim yang ditugaskan di Posko Aju dibagi menjadi Tim Eagle 1 dan Eagle 2. Misi kami adalah menjadi pusat bantuan bagi WNI, memperkuat jejaring dengan simpul masyarakat WNI di Gyeongsangbuk-do, dan mendistribusikan bantuan logistik pencegahan COVID-19 ke kantong-kantong lokasi WNI di daerah terpencil. Saya termasuk dalam Tim Eagle 2.
Tugas selama di Posko Aju tidak mudah. Saat itu belum terbayang yang namanya vaksin, tes PCR baru saja diproduksi massal, sementara wabah terus merebak. Perasaan takut berada dekat pusat pandemi, potensi tertular, semua kami kesampingkan dengan modal do’a dan keyakinan demi kemaslahatan yang lebih besar. Namun kekhawatiran saya saat itu sirna ketika saya kembali menyaksikan bagaimana semangat kekeluargaan begitu kuatnya di kalangan masyarakat WNI yang kami temui.
Pemandangan sekitar Posko Aju Euisong-gun, Foto: Dokumentasi Pribadi.
Salah satu kunci kesuksesan misi kami di Posko Aju adalah kuatnya jejaring tempat ibadah yang dibina oleh masyarakat Indonesia di provinsi Gyeongsangbuk-do. Kami jalin kontak dengan PMI yang juga menjadi pengurus jejaring Musholla/Masjid di 22 distrik yang tersebar di Gyeongsangbuk-do. Begitupun dengan jejaring Gereja dan rumah makan/warung Indonesia tempat WNI berkumpul. Latar belakang boleh berbeda, tapi semua bersumbangsih untuk satu tujuan memberi dukungan di masa yang sulit ini. Salah satu teman kami ketika di Daegu menyebutnya sebagai "tepo seliro".
ADVERTISEMENT
Di saat kami berupaya memberikan semangat ke mereka, masyarakat Indonesia di Gyeongsangbuk-do justru kerap menginspirasi kami. Saya teringat salah satu lokasi yang sering kami kunjungi adalah toko gerai seluler milik seorang Ibu WNI yang menikah dengan warga setempat di Daegu. Ibu ini merelakan tokonya dijadikan salah satu titik distribusi logistik. Walaupun tokonya sepi pelanggan karena kebijakan lockdown, beliau tetap semangat membantu kami menyalurkan bantuan ke berbagai lokasi di Daegu.
Momen-momen berkesan juga saya dapatkan ketika mengunjungi kantong-kantong PMI di wilayah pelosok pesisir Timur Gyeongsangbuk-do. Misalnya, kebetulan ada lokasi yang kami kunjungi berdekatan dengan pasar ikan. Setelah pertemuan dengan teman-teman PMI selesai, kami mampir ke pasar untuk beli beberapa ikan. Rencananya untuk makan bersama ketika kembali ke Posko. Setelah kami selesai menawar harga dan akan membayar, buru-buru para teman PMI datang untuk bantu kami menawar harga lebih miring lagi. Ternyata penjualnya sudah akrab dengan teman-teman PMI ini dan jadi lah kami memborong banyak ikan. Padahal tim kami sebelumnya tidak saling kenal dengan para PMI ini, tapi sudah seperti saudara saja.
ADVERTISEMENT
Di lain kesempatan, kami berkunjung pula ke salah satu mess PMI bidang perikanan. Kami tiba sekitar jam makan siang dan teman-teman PMI saat itu mempersilakan kami masuk dan berbagi makanan ala kadarnya. Waktu itu saya lihat salah satu teman PMI sedang lahap menyantap nasi dengan lauk kimchi. Saya tanya: “Apa kenyang mas pake kimchi aja?” Sambil tersenyum teman ini menjawab: “Lumayan mas. Kimchi sama telor ceplok udah kenyang saya. Halal juga.” Tak terbersit keprihatinan di wajah teman ini, walaupun saya tahu kondisi pekerjaannya sebagai PMI perikanan cukup berat terutama saat berlaut di kerasnya musim dingin Korsel.
Kalau kita menilik ke sejarahnya, kimchi adalah simbol dari perjuangan hidup yang dihadapi oleh orang Korea di masa lalu. Ratusan tahun yang lalu sejak periode Tiga Kerajaan di Semenanjung Korea, kimchi atau sayuran fermentasi mulai dibudidayakan sebagai stok makanan karena susahnya menuai panen di musim dingin. Kimchi kemudian menjadi makanan pokok masyarakat Korea melalui periode runtuhnya dinasti Goryeo, penjajahan, perang saudara, dan hingga kini menjadi negara yang cukup makmur. Melihat teman PMI ini lahap menyantap lauk kimchi, dalam kesederhanaan dia tetap teguh bekerja di tengah pandemi, di tengah laut, karena hidup harus terus berjalan. Begitupun teman-temannya di mess perikanan, saling mendukung dan menjaga dalam kondisi hidup yang keras. Cukup dengan nasi, kimchi, dan telor ceplok.
ADVERTISEMENT
Cerita lucu, unik, dan mengharukan selama kami bertugas di Posko Aju tersebut mewarnai hari-hari kami selama bertugas. Ada pula kejadian menegangkan yang mungkin kalau saya ceritakan bisa mengubah artikel ini menjadi novel. Hingga misi kami selesai pada 26 Maret 2020, kesemua WNI di provinsi Gyeongsangbuk-do dalam kondisi sehat dan memiliki logistik kesehatan yang bercukupan. Kurva kasus harian di provinsi Gyeongsangbuk-do pada saat itu juga mulai melandai. Berkat bantuan dari masyarakat Indonesia, tim Posko Aju telah mendistribusikan sekitar 51.392 bantuan pencegahan COVID-19 (masker, hand sanitizer, disinfectant) dan 20kg beras bagi WNI di provinsi Gyeongsangbuk-do.
Tepo seliro, sabilulungan, semua peribahasa dan kiasan yang kerap menggambarkan budaya kerukunan masyarakat Indonesia benar-benar tampak nyata saat kondisi krisis pandemi melanda WNI di Daegu dan provinsi Gyeongsangbuk-do. Kimchi dan tepo seliro mungkin dua hal yang tidak saling berkaitan, namun bagi saya keduanya menggambarkan bagaimana ketangguhan masyarakat Indonesia di Korsel pada saat pandemi.
ADVERTISEMENT