Konten dari Pengguna

Praktik Berpolitik dengan Agama sebagai Komoditas Politik Praktis

Rizqi Ashari
Mahasiswa Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada
22 Juni 2023 21:02 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Ashari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Meraup suara untuk berpolitik dengan agama sebagai komoditasnya cukup beririsan dengan konteks para politisi yang sedang mencari dukungan untuk tujuan politik. Di sini, peran strategis dimiliki oleh agama dalam mengonstruksi dan memberikan nilai serta norma dalam membangun struktur negara dan pendisiplinan masyarakat (Ghifari, 2020).
ADVERTISEMENT
Secara tidak langsung, dengan masifnya jumlah masyarakat beragama, ditambah kewajiban untuk beragama bagi masyarakat Indonesia, seolah wajar bahwa politisi mencari suara rakyat dengan menjual “kedekatan dengan agama”. Para oknum yang ingin mencalonkan diri di pemerintahan sering memanfaatkan politisasi agama dengan memainkan identitas agama mereka dan mengesampingkan kapasitas dirinya demi meraup suara.
Lantas, kenapa agama sangat erat kaitannya dengan ranah politik di Indonesia?

Sejarah keterkaitan agama dan politik di Indonesia

Eratnya kaitan agama dan politik di Indonesia ternyata tidak sepenuhnya tercatat di semua pemilihan umum di Indonesia. Herbert Feith (1999) di bukunya yang membahas pemilihan umum di Indonesia mengatakan, bahwa di Pemilihan Umum 1955 isu agama bahkan entitas masih belum seerat saat ini. Partai-partai yang menggunakan agama dan etnik sebagai identitas pada Pemilihan Umum 1955 tidak ada yang unggul.
ADVERTISEMENT
Meskipun Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya muslim, partai yang menggunakan identitas agama tidak selalu menjadi pemenang. Semangat revolusi jauh lebih populer dari isu entitas dan agama pada saat itu. Anti-kolonialisme menjadi isu kampanye yang paling terkenal saat itu. Identitas etnik ataupun agama masih belum banyak diterima, dengan PNI membuktikan kemenanggannya dan menunjukkan identitas nasionalis yang lebih bisa diterima (Feith 1999: 18-19).
Terlebih dahulu, Kartodirdjo (1975) mengatakan, bahwa politik entitas telah digunakan oleh Belanda untuk pergolakan di daerah-daerah pada awal kemerdekaan dengan datangnya pasukan sekutu pada 19 Agustus 1945. Sebaliknya, isu entitas dan agama di huru-hara politik tidak banyak dibicarakan pada era Orde Baru, beberapa partai juga tidak memunculkan identitas etnik dan agamanya.
ADVERTISEMENT
Hal ini nampaknya berkaitan dengan situasi pada masa Orde Baru yang tidak memperkenankan membicarakan masalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) secara terbuka (Suryadinata 2002:30). Dengan fakta di dua era tersebut, bisa dilihat perbedaannya, bahwa isu entitas dan agama selalu menjadi komoditas dari kepentingan para politisi di suatu era pemerintahan.
Memasuki era baru, partai-partai baru muncul termasuk partai-partai islam di era reformasi, dan ditandai sebagai bukti modernisasi politik. Meskipun dukungan awal akan modernisasi ini cukup besar, namun dukungan ini menurun, akibat partai islam yang tidak identik dengan keislamannya akibat dinamika persepsi rakyat, serta partai-partai nasionalis yang turut mengumpulkan aspirasi islam (Abdillah, 2013). Catatan sejarah mengenai isu agama dan entitas di Indonesia ini mengungkapkan, bahwa isu agama bahkan etnis ini semakin bisa digunakan sebagai alat pengontrol seiring perkembangan zaman.
ADVERTISEMENT

Politisasi agama untuk menjatuhkan individu dan partisipasi rakyat

Kembali ke tahun 2017, terdapat tuduhan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu, lontaran pernyataannya saat itu sontak menjadi polemik dan memancing entitas muslim yang tidak hanya berada di Ibu Kota. Hal tersebut ternyata dimanfaatkan lawan-lawan politik Ahok untuk menjatuhkannya, lantaran dianggap telah melakukan penistaan agama.
Singkat cerita, para massa dengan ketersinggungan yang mereka bawa melakukan demonstrasi untuk menuntut penyidangan Ahok. Isu-isu tersebut langsung saja menjatuhkan elektabilitas Ahok pada Pilgub selanjutnya. Semakin membuktikan di perkembangan zaman saat ini, aspek agama hanya menjadi komoditas politik untuk melancarkan kepentingan politisi.
Nur Wardhani (2018) dalam jurnalnya mengatakan, bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat, diwujudkan dengan keterlibatan rakyat pada pesta demokrasi (Pemilu) merupakan implementasi dari partisipasi politik di dalam negara demokrasi. Beririsan dengan hal tersebut, rakyat bisa dikatakan ingin turut andil dalam setiap gelaran politik di pemerintahan, karena selain itu, hal tersebut merupakan hak rakyat untuk turut andil dalam negara demokrasi.
ADVERTISEMENT
Partisipasi politik muncul disebabkan oleh sejumlah warga tertentu yang meyakini bahwa aspirasi atau kepentingan mereka dapat dipenuhi atau setidaknya dihormati dalam pembuatan kebijakan publik dan penerapannya. Partisipasi ini bisa terbentuk dalam individu, masa, atau kelompok-kelompok kecil. Penyertaan dan pelibatan diri rakyat dalam kegiatan kenegaraan menjadi bukti apabila semakin tingginya partisipasi politik dari rakyat itu sendiri.
Artinya, partisipasi politik tidak hanya terdiri dari tindakan positif, tetapi juga tindakan negatif, termasuk tindakan kekerasan dan pelanggaran hukum. Partisipasi rakyat tersebut menjadi titik yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh politik hanya untuk sekadar menjatuhkan lawan politiknya. Faktanya, memang sulit untuk mewujudkan kedamaian dan sebuah harmoni di tengah masyarakat yang majemuk ini, perbedaan aspirasi dan kepentingan menjadi dasar persaingan sebagai implikasinya (Abdillah, 2013).
ADVERTISEMENT

Relevansi agama, kekuasaan, dan relasi kuasa

Agama sebagai alat dan pengontrol cakupan massa oleh politisi berada di ikatan benang yang erat dengan para politisi sebagai pemilik kekuasaan yang menggunakannya sebagai modal untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam obsesi pada kekuasaan ini, ternyata diawali dengan memainkan relasi kuasa ketimpangan kelas, penyalahgunaan kekuasaan terjadi bukan hanya saat sudah memiliki kekuasaan namun juga saat proses mendapatkan kekuasaan. Menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan, sangat relevan seperti kehidupan politik di Indonesia dengan para politisi yang memanfaatkan kekuatan agama sebagai komoditas dengan masifnya masa untuk melancarkan perwujudan target mereka.
Kaitan kekuasaan, relasi kuasa, dan penggunaan agama sebagai alat politik ini tampak jelas memiliki keterkaitan akan para politisi di Indonesia yang bermanuver di perpolitikan dengan agama sebagai komoditas dan modal mereka. Dijelaskan oleh Cronin (1996) bahwa konsep kekuasaan relasional sebagai suatu fungsi jaringan relasi antar subjek, yang sebelumnya memandang secara substantif / tertanam dalam, dijalankan oleh, dan terhadap-subjek.
ADVERTISEMENT
Bagaimana sebuah kekuasaan itu dioperasikan dan apa yang menjadi perhatian dalam menganalisa beroperasinya kekuasaan menjadi implikasi dari pergeseran pandangan ini. Dalam artian bahwa, para politisi sebagai pihak yang menginginkan kekuasaan membuat kontrol terhadap suatu entitas dan menggerakkan masa entah sekadar meraup suara atau untuk menjatuhkan individu yang dianggap oposisi atau lawan politik, dan tak lupa mewujudkan tujuannya sebagai bentuk manifestasi dari konsep kekuasaan.

Kenapa agama harus terlibat?

Pada akhirnya, mengapa para politisi harus melibatkan agama dalam berpolitik? Apakah agama hanya sekadar aspek yang bisa mengantarkan seseorang pada kekuasaan? Terlihat bahwa dalam perkembangan zaman, di dunia politik banyak kepentingan-kepentingan dari para politisi yang memanfaatkan aspek agama bahkan entitas untuk menggerakkan masa dalam sebuah gerakan yang bersifat positif bahkan negatif. Perbedaan kelas yang dimiliki rakyat dan para penguasa menjadi bukti relasi kuasa di kehidupan sosial bahkan politik, hal tersebut cukup menjadi alasan kenapa perbedaan ini dimanfaatkan entitas di atas untuk menggerakkan entitas di bawahnya demi kepentingan satu arah.
ADVERTISEMENT
Partisipasi politik di Indonesia yang cukup nyata wujudnya selayaknya negara demokrasi, dibuktikan dengan antusiasme di setiap pesta pemilihan umum. Meskipun partisipasi tersebut tidak selalu bersifat positif, namun juga negatif seperti gerakan kolektif yang menjatuhkan individu lain dan tindak kekerasan yang menyangkut persaingan politik. Dengan banyaknya aspek tersebut, di polemik agama sebagai komoditas berpolitik praktis ini nampaknya relasi kuasa, kekuasaan, dan partisipasi politik menjadi aspek-aspek paling dominan dan saling berkaitan satu sama lain.

Akhir kata

Dengan banyaknya para politisi yang menggunakan aspek agama untuk berkampanye, lantas seolah hal ini wajar apabila terjadi. Namun, apabila begitu adanya, hal tersebut juga tidak salah, lantaran pada situasi ini memposisikan rakyat yang memilah dan memilih untuk pemimpin ke depannya dengan visi yang dibawa para politisi. Kembali lagi, para politisi yang mencalonkan diri di pesta pemilihan pasti membutuhkan dukungan suara. Mereka pasti mencari cara singkat dan mudah untuk memperlancar target suara mereka. Dalam hal ini, aspek agama di sini sangat mudah “diolah” oleh para politisi dan menjadi cara singkat tersebut.
ADVERTISEMENT
Menekankan poin kualitas Sumber Daya Manusia, dengan masyarakat yang memiliki kualitas SDM yang baik entah itu pendidikan atau yang lainnya, kurang lebih masyarakat bisa lebih memilah dan memilih tokoh yang sesuai kapasitas, bukan mengglorifikasi tokoh yang sekadar menjual nilai representasi dari satu entitas. Sebuah tantangan sulit, pasti, untuk mengubah tatanan ini di mana para politisi yang muncul ke permukaan membawa visi mereka dan meningkatkan value dari diri calon pemimpin untuk janji yang dijanjikan sesuai dengan kapasitas diri mereka.
Menjadi pesan, bahwasanya langkah-langkah di perpolitikan penuh dengan kepentingan-kepentingan politik dari para politisi. Dengan hal ini, tidak ada salahnya membentengi diri dengan nilai-nilai layaknya pendidikan dan kualitas intelektual untuk memilah dan mencerna berbagai isu dan kampanye pada perpolitikan. Karena tak dapat disangkal bahwasanya di kehidupan dan berbagai aspek di sekitar pasti ada politik yang terkait. Selain itu, pendidikan bisa menumbuhkan persepsi dan sudut pandang bahwa politik sama sekali bukan sesuatu yang buruk.
ADVERTISEMENT