Konten dari Pengguna

Krisis Bahasa Daerah di Jakarta

Rizqi Rajendra
Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran yang hobi menulis
27 Oktober 2021 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Rajendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kota Jakarta di malam hari (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kota Jakarta di malam hari (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DKI Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia yang juga menyandang predikat sebagai kota pusat ekonomi dan bisnis. Hal tersebut yang menjadi alasan para penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke mencoba peruntungan hidupnya untuk merantau ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Para penduduk yang merantau ke Jakarta tersebut datang untuk mencari nafkah, kemudian berkeluarga dan bertempat tinggal. Saya tidak akan membahas hal ini dari sisi sosial ekonomi, melainkan dari fenomena lunturnya ciri khas bahasa daerah masing-masing penduduk yang merantau ke Jakarta. Fenomena ini sudah saya sadari dan rasakan sejak bertahun-tahun silam.
Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap bertanya dengan teman-teman sebaya saya, “Kamu berasal dari suku apa?” dan jawaban mereka pun beragam yakni Sunda, Jawa, Minang, dan lain-lain. Namun, ketika saya bertanya apakah mereka bisa berbahasa daerahnya masing-masing, mereka semua menggelengkan kepala. Hal tersebut membuat saya kemudian berpikir, apakah mereka tidak diajarkan bahasa daerah oleh orang tuanya?
Kendati demikian, saya pun menyadari bahwa Ibu saya memiliki keturunan Jawa dari Eyang saya yang merantau dari Jember, Jawa Timur. Ayah saya juga memiliki keturunan Minang dari Kakek dan Nenek yang juga merantau dari Padang, Sumatera Barat. Saya pun tertarik untuk belajar bahasa Jawa dan Padang kepada kedua orang tua saya.
ADVERTISEMENT
“Ma, ajari aku bahasa Jawa dong!” ujar saya yang kala itu masih berusia 10 tahun kepada Ibu saya. Di luar dugaan, Ibu saya ternyata tidak mengerti bahasa Jawa. Alasannya, karena beliau lahir di Jakarta, dan tidak pernah diajarkan bahasa Jawa oleh Eyang saya.
Dengan sedikit perasaan kecewa, saya kemudian beralih ke Ayah saya untuk meminta diajarkan bahasa Padang. Ternyata Ayah saya juga mengaku tidak bisa berbahasa Padang, dengan alasan yang sama. Akhirnya, harapan saya untuk bisa berbahasa daerah terpaksa harus pupus kala itu.
Fenomena orang tua yang memilih untuk tidak mewariskan bahasa daerahnya ke anak-anak mereka membuat Jakarta mengalami krisis bahasa daerah. Terlebih, arus globalisasi yang sangat pesat di Jakarta membuat sebagian penduduk enggan menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing karena takut terkesan ‘kampungan’.
ADVERTISEMENT
Ketika beranjak remaja yang tinggal di bilangan Jakarta Selatan, saya juga menemukan fenomena yang lebih unik, yakni hampir semua teman sebaya saya menggunakan bahasa ‘gado-gado’ dengan mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Acap kali mereka menggunakan kata “literally”, “which is”, “basically” dan lain-lain dalam percakapan sehari-hari, atau yang akrab dikenal sebagai bahasa Jaksel.
Fenomena tersebut jugalah yang membuat bahasa daerah dianggap sudah ketinggalan zaman bagi sebagian besar warga Jakarta. Padahal, bahasa daerah juga merupakan bagian dari identitas bangsa Indonesia, mengapa harus malu untuk mengakuinya?
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan beragam bahasa daerah. Namun, jika mayoritas penduduknya masih memiliki pola pikir demikian, maka perlahan-lahan tiap bahasa daerah akan punah karena tidak ada yang melestarikannya.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat para ahli, bahasa daerah itu lebih dari sekadar alat untuk berinteraksi. Jika mengutip pendapat Lianne Hinton, Ahli Bahasa dan Penulis Buku Language Revitalization: an Overview, punahnya satu bahasa sama dengan punahnya satu peradaban. Alasannya, karena bahasa merupakan kunci untuk mengakses segala pengetahuan.
Walaupun para pemuda Indonesia sudah berikrar untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan pada 28 Oktober 1928 silam, bahasa daerah tetap harus dilestarikan agar tidak mengalami kepunahan. ***