Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tergerusnya Budaya Betawi oleh Globalisasi
27 Desember 2021 15:57 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rizqi Rajendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Anak Betawi, ketinggalan jaman katenye” penggalan lirik tersebut berasal dari lagu yang dinyanyikan Rano Karno dalam Film Si Doel Anak Sekolahan. Nampaknya penggalan lirik tersebut merupakan gambaran dari keresahan anak Betawi yang semakin dianggap ketinggalan zaman di tengah gemerlap kehidupan Ibukota Jakarta.
ADVERTISEMENT
Warga Jakarta, terutama kalangan remaja, pasti lebih familiar dengan lagu-lagu pop khas budaya Barat, daripada lagu daerah khas Betawi seperti “Jali-jali”, “Kicir-kicir”, atau “Ondel-ondel”. Tak hanya lagu, penulis mencoba mengupas berbagai aspek budaya Betawi yang tergerus oleh arus globalisasi.
Mari kita lihat ke pusat-pusat perbelanjaan atau mal-mal di Jakarta yang gedungnya menjulang tinggi. Mal-mal yang selalu ramai pada akhir pekan tersebut dipenuhi oleh orang-orang yang makan di berbagai restoran hits yang mereknya berasal dari luar negeri. Pasti kita pernah melihat, banyak orang yang memfoto makanannya terlebih dahulu dan diunggah ke media sosial sebelum sempat disantap. Boleh jadi mereka merasa bangga ketika mengunggah foto-foto makanan khas luar negeri yang terkesan mewah seperti steak, pizza, spaghetti carbonara dan lain-lain ke media sosial mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Namun, pernahkah terpikir oleh kita, bagaimana jika makanan yang akan disantap merupakan makanan tradisional khas Betawi seperti kerak telor, soto betawi, asinan, atau gado-gado? Apakah para warga Jakarta ini akan tetap memfoto makanannya dan mengunggahnya ke media sosial? Apakah mereka memiliki rasa bangga ketika menyantap makanan khas Betawi sama seperti ketika mereka menyantap hidangan khas luar negeri?
Jangankan seperti itu, untuk menemukan makanan khas Betawi saja sangat sulit ketika kita mencarinya di pusat-pusat perbelanjaan atau mal-mal di Jakarta. Kebanyakan dari kita akan menemukan sajian kuliner khas Betawi di warung-warung pinggir jalan atau bisa juga di abang-abang yang berjualan keliling. Fenomena tersebut menggambarkan kesenjangan antara makanan khas luar negeri dengan makanan khas Betawi. Seolah-olah kuliner khas Betawi terkesan “beda kasta” dengan makanan-makanan mewah dari luar negeri tersebut.
ADVERTISEMENT
Setelah melihat-lihat di mal, sekarang mari kita bergeser untuk mengamati media sosial. Pastilah kebanyakan dari kita akan menemukan konten para muda-mudi yang asik berjoget di TikTok atau Instagram dengan diiringi musik-musik pop budaya Barat. Muda-mudi tersebut menganggap diri mereka sebagai “content creator”.
Dengan tingkat kepercayaan diri mereka yang tinggi untuk mengunggah video berjoget tersebut di media sosial, sudah tentu mereka mengharapkan agar kontennya ramai diminati oleh khalayak di media sosial dan mendapatkan banyak likes dan comment. Pada kenyataannya memang benar, konten-konten berjoget tersebut ramai diminati oleh warganet dan terbukti mendulang followers yang banyak.
Kendati demikian, pernahkah kita menemukan content creator asal Jakarta yang membuat konten edukasi tentang tarian khas Betawi? Tarian asal Betawi memiliki beragam jenis seperti Tari Topeng Betawi, Tari Cokek, Tari Yapong, atau Tari Sembah Nyai yang diiringi oleh musik Gambang Kromong. Tentu saja konten edukasi mengenai tarian-tarian tersebut akan lebih menarik di media sosial. Karena, selain dapat mengedukasi masyarakat, konten tersebut sekaligus melestarikan budaya Betawi agar tidak punah tergerus oleh globalisasi.
ADVERTISEMENT
Budaya Betawi yang Dianggap Kuno
Beberapa kearifan lokal budaya Betawi tersebut mungkin saja dianggap sudah kuno dan ketinggalan zaman bagi sebagian besar warga Jakarta. Haryati Subadio (1986:18-19) mengatakan, kearifan lokal (local genius) dapat dianggap sama dengan cultural identity yang bisa diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya suatu bangsa. Pada kasus ini, DKI Jakarta sebagai Ibukota negara Republik Indonesia sudah mengalami krisis identitas karena begitu derasnya arus globalisasi yang menerjang.
Dalam menghadapi derasnya arus globalisasi, Poespowardojo (dalam Astra, 2004:114) membagi sifat-sifat hakiki kearifan lokal dalam lima indikator. Pertama, budaya lokal harus mampu bertahan terhadap budaya luar. Kedua, budaya lokal memiliki kemampuan untuk mengakomodasi unsur-unsur budaya luar. Ketiga, mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam kebudayaan asli. Keempat mampu mengendalikan arus globalisasi. Terakhir, mampu memberikan arah pada perkembangan budaya.
ADVERTISEMENT
Realitanya, ini merupakan tantangan berat yang harus pemerintah DKI Jakarta lakukan untuk mengubah pola pikir warganya agar tidak menganggap budaya Betawi ketinggalan zaman. Pola pikir tersebut berkembang karena masyarakat DKI Jakarta terlalu mengagung-agungkan budaya luar. Walau bagaimanapun, budaya Betawi merupakan warisan dari leluhur yang harus tetap dijaga eksistensinya agar tidak punah digerus perkembangan zaman.
Alternatif solusi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta yakni dengan menyelenggarakan pameran seni budaya Betawi secara rutin. Para seniman legendaris Betawi yang masih hidup juga dapat diundang sebagai bintang tamu. Nantinya, pameran tersebut sebagai wadah untuk anak muda dalam memperkenalkan segala bentuk kesenian Betawi seperti tarian, pencak silat, atau musik. Tak lupa jajanan kuliner khas Betawi harus ada di festival pameran tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita juga patut berterima kasih kepada beberapa tokoh Betawi yang telah berjuang melestarikan budaya Betawi. Menjaga eksistensi budaya Betawi dapat dilakukan melalui berbagai medium. Contohnya yakni Alm. Benyamin Sueb yang mempopulerkan Betawi melalui lagu, atau Rano Karno melalui filmnya Si Doel Anak Sekolahan. Bahkan, salah satu aktor Indonesia menorehkan prestasi yang paling membanggakan di era modern ini yakni Iko Uwais. Melalui pencak silat, kini Iko Uwais dapat membawa budaya Betawi di kancah internasional seperti film-film Hollywood.
Bagi kita anak muda, ada berbagai cara untuk menunjukkan rasa cinta terhadap budaya Betawi. Beberapa caranya antara lain yaitu biasakan mendengarkan lagu-lagu Betawi, menyaksikan pertunjukan Pencak Silat atau tarian Betawi, dan tak lupa menyantap kuliner khas Betawi. Oleh karena itu, jangan gengsi jadi Anak Betawi!
ADVERTISEMENT