Konten dari Pengguna

Eksploitasi Tenaga Kerja dalam Industri Fast Fashion: Bukti SDGs Belum Tercapai

Rizqi Sari Dewi Girsang
Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada
23 Agustus 2023 14:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Sari Dewi Girsang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pekerja di industri fashion. Foto: Istock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pekerja di industri fashion. Foto: Istock
ADVERTISEMENT
Fashion menjadi hal yang sangat diminati dari segala kalangan usia bahkan menjadi salah satu gaya hidup dan gengsi di masyarakat. Tidak hanya itu, fashion pada saat ini dapat menjadi lambang identitas atau status sosial seseorang.
ADVERTISEMENT
Sebelum maraknya tren fashion, kebanyakan masyarakat membeli pakaian hanya pada event tertentu misalnya pada saat perayaan hari besar. Namun, sekarang masyarakat tidak lagi menunggu momen-momen tertentu untuk membeli pakaian.
Masyarakat yang kian konsumtif akan fashion dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, kemudahan akses berbelanja melalui platform digital seperti shopee, tokopedia, lazada, dan lain-lain. Tidak hanya produk lokal atau industri rumahan yang tersedia di platform tersebut, namun brand-brand yang telah mendunia juga dapat diakses oleh masyarakat.
Tidak perlu ke toko secara langsung, konsumen hanya perlu memilih ikon checkout dan melakukan pembayaran. Kemudahan ini membuat masyarakat lebih konsumtif daripada tahun-tahun sebelumnya.
Kedua, semakin berkembangnya media sosial memberikan dampak positif dari fashion marketing. Distributor dapat melakukan promosi melalui media sosial seperti live streaming, melakukan endorsment dengan public figure, dan membuat konten kreatif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, masyarakat yang menjadikan idolanya sebagai kiblat fashion. Misalnya, seseorang mengidolakan super model Gigi Hadid. Pada instagram pribadinya, Gigi Hadid meng-upload dirinya mengenakan setelan dari brand Prada yang merupakan salah satu brand high end luxury.
Jika seseorang itu mapan secara ekonomi, maka ia dapat membeli setelan dari brand serupa. Namun jika tidak? Maka ia akan mencari setelan yang mirip tetapi lebih low price.
Pekerja beraktivitas di pabrik garmen yang kembali beroperasi di Dhaka, Bangladesh, Minggu (3/5). Foto: REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Dalam kasus seperti ini, terdapat perusahaan-perusahaan fashion yang seakan memberi solusi dalam menawarkan produksi pakaian dengan tren dari brand mewah namun dengan harga yang lebih murah. Perusahan-perusahaan tersebut seperti H&M, Uniqlo, Zara, dan Stradivarius.
Perilaku seperti yang dijelaskan di atas, diikuti oleh lebih dari jutaan orang sehingga menciptakan tren yang disebut fast fashion. Fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil dalam memproduksi pakaian ready-to-wear (siap pakai).
ADVERTISEMENT
Mengingat tujuan dari fast fashion ini merancang pakaian model terbaru menjadi suatu produk dengan harga ekonomis untuk menaikkan minat konsumen dan produksinya selalu mengikuti jumlah model pakaian terbaru yang dihasilkan sebanyak-banyaknya dalam hal produksi (Narayani, 2021).
Tingginya permintaan akan pakaian menyebabkan produksi secara besar-besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Guna meminimalisasi biaya produksi, perusahaan-perusahaan fast fashion melakukan praktik outsourcing buruh di negara berkembang. Produksi fashion secara besar-besaran ini menekan para pekerja sehingga menyebabkan praktik pelanggaran hak-hak pekerja di industri tersebut.
Pada penelitian Figuera tahun 1996, disebutkan bahwa industri fast fashion melakukan banyak tindak ketidakadilan dan kekerasan pada pekerja. Dari mulai hal yang berkaitan dengan jam kerja yang panjang, kekerasan fisik maupun psikis, hingga ancaman para pekerja dipecat jika tidak mengikuti perintah atasannya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1998, International Labour Organization (ILO) mengeluarkan deklarasi mengenai Prinsip dan Hak Mendasar di Tempat Kerja, yang mewakili Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ILO tahun 1998 menyoroti empat hak penting di tempat kerja sebagai berikut:
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja di industri fast fashion menghadapi masalah eksploitasi terhadap hak-haknya. Praktik outsourcing memang ditujukan untuk memangkas biaya produksi karena buruh dari negara berkembang upahnya relatif lebih murah.
Tetapi mereka para buruh tetap memiliki hak upah yang sesuai standar. Seperti pada kasus eksploitasi buruh industri fast fashion di Bangladesh yang diberi upah sangat rendah dengan jam kerja melebihi standar yang telah ditetapkan yaitu delapan jam. Selain itu, bahan baku dari industri fast fashion ini tidak ramah pada lingkungan dan kesehatan manusia. pekerja industri ini sangat rentan terkontaminasi zat berbahaya dari proses produksi tekstil.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pekerja industri fast fashion rawan mengidap kondisi seperti penyakit paru-paru, kanker, kerusakan fungsi endokrin, keguguran, kecelakaan kerja, bahkan kematian. Hal ini terjadi akibat minimnya perlindungan dan jaminan kesehatan serta keselamatan kerja. Bahkan fasilitas tempat kerja tidak sesuai dengan standar prosedur keamanan pekerja.
Ilustrasi anak yang bekerja sebagai pemetik katun. Foto: Getty Images
Industri fast fashion juga ada yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Pekerja anak diberi pekerjaan seperti menjadi buruh pemetik tumbuhan katun, kuli angkut barang, dan lain-lain.
Penyebab pekerja anak menjadi sasaran tenaga kerja dari industri ini adalah upahnya yang relatif lebih rendah dan anak-anak sangat rentan untuk dimanipulasi. Permasalahan utamanya adalah pekerja anak adalah mereka yang masih di usia sekolah, di mana hal ini berarti pekerja anak tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menjadi kontradiksi dari agenda Sustainable Development Goals (SDGs) di mana SDGs menekankan pada HAM dan menerapkan prinsip no left behind yang artinya menyeluruh hingga kepada kelompok rentan. Pekerja industri fast fashion yang dieksploitasi haknya merupakan kelompok rentan yang menjadi korban dari pelanggaran HAM.
SDGs memiliki poin-poin untuk pembangunan berkelanjutan, tetapi hal ini belum tercapai apabila dilihat dari kasus eksploitasi tenaga kerja yaitu pada poin pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak.
Anak-anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas setara, inklusif serta mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua anak. Sementara itu, para pekerja memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak, upah sesuai standar, jam kerja yang tidak melebihi standar, dan hak untuk memiliki jaminan atau asuransi keselamatan kerja.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dalam misi mencapai program SDGs yang telah disusun negara-negara anggota PBB, perusahan-perusahaan yang bergerak di bidang fashion hendaknya lebih memerhatikan lagi persoalan-persoalan mengenai tenaga kerja untuk berhenti merenggut hak-hak yang sudah seharusnya diterima oleh para tenaga kerja. Selain itu, kita sebagai konsumen, hendaknya untuk lebih bijak lagi dalam hal konsumsi fashion dan mengurangi sifat konsumtif.