Konten dari Pengguna

Impostor Syndrome: Am I Good Enough?

Nurul Ramadhani
Penulis merupakan mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
17 Desember 2020 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Sheknows
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Sheknows
“The exaggerated esteem in which my lifework is held makes me very ill at ease. I feel compelled to think of myself as an involuntary swindler.” -Albert Einstein. Penipu yang tidak disengaja? Pernahkah Anda merasa bersalah dan cemas karena telah menjadi penipu atas pencapaian-pencapaian yang diperoleh? Menganggap keberhasilan sebagai suatu keberuntungan? Atau bahkan merasa tidak layak menerima prestasi yang telah dicapai? Selain Albert Einstein, Emma Watson yang merupakan bintang Hollywood ternama, juga pernah merasa tidak layak menerima penghargaan atas kemampuannya dalam berakting. Sebuah studi dalam International Journal of Behavioral Science menunjukkan bahwa 70% orang akan mengalami fenomena ini setidaknya satu kali dalam hidupnya. Kondisi ini dikenal dengan sebutan Impostor Phenomenon atau juga disebut Impostor Syndrome.
ADVERTISEMENT
Istilah ini dikenalkan pertama kali oleh Psikolog Klinis Pauline Rose Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978. Impostor Syndrome merujuk pada kondisi di mana seseorang yang berprestasi gagal melakukan internalisasi dan menerima kesuksesannya. Fenomena ini pertama kali diteliti oleh Clance & Imes pada tahun 1978 terhadap lebih dari 150 wanita dari berbagai profesi dengan karir dan prestasi yang gemilang. Hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar wanita berprestasi tersebut mengalami Impostor Syndrome.
Pada awalnya, Impostor Syndrome hanya diteliti dan diyakini terjadi pada wanita saja. Akan tetapi setelah dilakukan penelitian lanjut, (Clance & Imes, 1978) menyatakan bahwa kondisi ini juga dapat terjadi pada laki-laki dengan frekuensi yang jauh lebih rendah. Hal ini berkaitan dengan perbedaan pandangan antara wanita dan pria terkait dengan harapan akan kesuksesannya, di mana wanita memiliki harapan yang lebih rendah dibandingkan dengan pria (Deaux 1976, dikutip dari Clance & Imes, 1978). Dalam hal ini (Clance & Imes, 1978) menyatakan bahwa wanita cenderung menganggap kesuksesannya diperoleh karena faktor eksternal seperti keberuntungan dan menganggap kegagalan disebabkan oleh faktor ketidakmampuan. Sementara pria cenderung menganggap kesuksesannya berasal dari faktor internal (diri sendiri) dan menganggap kegagalan sebagai faktor ketidakberuntungan. Selain itu, (Sakulku & Alexander, 2011) menyatakan bahwa fenomena ini dapat memengaruhi banyak orang. Hal ini menunjukkan bahwa Impostor Syndrome dapat terjadi pada semua kalangan, tanpa memandang jenis kelamin.
ADVERTISEMENT
Clance (1985, dikutip dari Sakulku & Alexander, 2011) menyatakan bahwa Impostor Syndrome bukan merupakan penyakit. Meskipun begitu, tetap diperlukan kewaspadaan. Karena berdasarkan studi (Clance & Imes, 1978), gejala klinis yang banyak dilaporkan adalah kecemasan, rendahnya kepercayaan diri, depresi, bahkan frustrasi. Dikutip dari laman Medical News Today, gejala yang timbul dalam fenomena ini adalah individu cenderung merasa menjadi seorang penipu, memiliki ketakutan akan ditemukan sebagai penipu, dan kesulitan dalam melakukan internalisasi atas kesuksesannya.
Dilansir dari laman Forbes, ketakutan akan ditemukan sebagai penipu dapat menimbulkan kecemasan yang berhubungan dengan tingginya hormon kortisol pada otak dan tubuh. Kemudian, perasaan tidak layak berkaitan dengan rendahnya neurotransmitter serotonin yang berhubungan dengan suasana hati dan tingkat dopamin yang rendah menunjukkan rendahnya penghargaan dan motivasi. Hal ini jika dibiarkan terjadi, tentunya akan sangat mengganggu kehidupan dan dapat menghambat produktivitas.
ADVERTISEMENT
Munculnya Impostor Syndrome dapat dipicu karena pola asuh keluarga pada masa kecil. Hal ini berkaitan erat dengan pesan yang diberikan oleh keluarga. Menurut (Clance & Imes, 1978) terdapat dua tipe pesan yang dapat memberikan kontribusi terhadap timbulnya Impostor Syndrome. Yang pertama, orang tua memberikan terlalu banyak kritik terhadap anak dan membandingkan anak dengan saudaranya. Orang tua menganggap bahwa si anak tidak pernah menorehkan prestasi. Walaupun anak telah mengukir prestasi dan mendapat validasi dari orang lain, orang tua tetap menganggap saudaranyalah yang lebih unggul. Hal ini menyebabkan anak merasa telah menjadi seorang penipu.
Yang kedua, orang tua memberikan pujian tidak secara spesifik, yaitu mengatakan bahwa anak dapat melakukan segala hal di dunia ini dengan mudah. Hal ini justru membuat anak tertekan dan kesulitan dalam memenuhi ekspektasi orang tuanya. Ketika menghadapi kehidupan di luar keluarganya, anak mulai sadar dan paham bahwa tidak semuanya dapat dilakukan dengan sempurna, mulai meragukan kemampuannya, dan mulai tidak mempercayai pujian berlebihan yang diberikan oleh orang tuanya. Karena adanya keraguan dalam diri, si anak merasa bahwa standar yang diberikan orang tua terlalu tinggi dan tidak mampu dijangkau. Hal ini mengakibatkan anak menganggap dirinya bodoh. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah menjadi seorang penipu dengan meraih berbagai prestasi.
ADVERTISEMENT
Psikolog Klinis Tri Hayuning Tyas menyatakan bahwa penyebab lain yang dapat memicu timbulnya Impostor Syndrome adalah faktor lingkungan. Tuntutan yang diperoleh dari masyarakat dapat memberikan tekanan kepada individu untuk selalu berusaha memenuhi ekspektasi sosial. Hal ini menyebabkan individu selalu berpikir bahwa dirinya akan berharga jika berhasil memenuhi ekspektasi masyarakat dan merasa tidak berharga jika gagal memenuhinya. Kondisi ini juga dapat terjadi ketika individu memasuki peran baru, dia merasa tidak layak dan tidak mampu menjalankan peran tersebut.
Walaupun kondisi ini tidak tergolong ke dalam jenis gangguan mental, akan tetapi perlu dilakukan pencegahan dan penanganan. Berdasarkan laman American Psychological Association (APA) terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Yang pertama, kita dapat mengunjungi mentor kita agar mendapat masukan berdasarkan pencapaian dan pengalaman yang dimiliki. Yang kedua, berusaha untuk menyadari dan mencari di mana letak keahlian diri. Kemudian menyadari bahwa kita telah melakukan hal-hal terbaik semampu kita. Selain itu, diperlukan kesadaran bahwa di dunia ini tidak ada yang sempurna. Semua pasti memiliki ketidaksempurnaan. Akan tetapi juga perlu ditanamkan bahwa di balik ketidaksempurnaan tersebut, terdapat kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mungkin sering kali tidak disadari, karena terlalu fokus pada ketidaksempurnaan yang dimiliki. Dan yang terakhir, jangan ragu untuk datang kepada tenaga profesional, baik psikolog ataupun psikiater. Karena melalui bantuan tenaga profesional, kita akan mendapat saran yang tepat sehingga dapat melakukan penanganan yang tepat.
ADVERTISEMENT
Mungkin memang sebagian besar dari kita pernah mengalami Impostor Syndrome. Merasa tidak layak, meragukan kemampuan diri sendiri, bahkan merasa telah menipu banyak orang atas pencapaian yang telah diraih. Kondisi ini janganlah dibiarkan larut terjadi. Hal yang perlu kita sadari adalah, kita bukanlah penipu atas keberhasilan kita. Keberhasilan tersebut bukanlah terjadi karena faktor keberuntungan, melainkan karena kompetensi dan kemampuan diri. Jadi, berhentilah untuk meragukan kemampuan diri sendiri dan merasa tidak layak. Karena pada kenyataanya kita berharga dan berguna, setidaknya untuk diri kita sendiri.