Konten dari Pengguna

Al, Maritim, dan Geopolitik: Pertarungan Laut Melalui Algoritma

Robbi Herfandi
Robbi Herfandi, Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas
11 April 2025 13:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Maritime https://pixabay.com/photos/maritime-chart-ship-jolle-boat-1355265/
zoom-in-whitePerbesar
Maritime https://pixabay.com/photos/maritime-chart-ship-jolle-boat-1355265/
ADVERTISEMENT
Sejak masa imperialisme klasik, lautan telah berperan sebagai medan pertarungan kekuasaan global. Saat ini, di era ke-21, lautan dan saluran air tidak hanya bersaing melalui armada tempur atau perundingan diplomatik, tetapi juga dengan alat penginderaan canggih, drone bawah laut, serta kecerdasan buatan. Geopolitik kelautan memasuki babak baru: lokasi pertempuran kini mencakup kode, informasi, dan AI, bukan hanya kapal dan roket.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, pertanyaan moral dan strategis muncul: apa posisi negara-negara maritim seperti Indonesia di tengah perubahan ini? Apakah kecerdasan buatan akan memperkuat hak berdaulat di lautan, atau justru menciptakan peluang baru untuk pengaruh dari negara-negara elitis?
Laut sebagai Ruang Data: AI dalam Navigasi dan Pengawasan
AI sekarang telah diadopsi secara luas dalam berbagai bidang seperti navigasi kapal, peramalan kondisi laut, pengenalan objek di dalam air, serta pengawasan kapal-kapal ilegal. Contohnya, sistem Automatic Identification System (AIS) dan deteksi kapal berbasis Machine Learning dapat secara otomatis mengidentifikasi kapal dari gambar satelit, bahkan ketika kapal tersebut sengaja mematikan sistem AIS-nya.
Sebuah laporan oleh Global Fishing Watch (2023) menunjukkan bahwa pemanfaatan AI untuk mengidentifikasi aktivitas penangkapan ikan ilegal (IUU Fishing) telah meningkat drastis di area Samudra Pasifik dan Laut Cina Selatan. Dengan menggunakan algoritma, negara-negara dapat memonitor zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka dalam waktu nyata tanpa perlu mengirim kapal patroli fisik secara terus-menerus.
ADVERTISEMENT
Namun, akses terhadap teknologi ini sangat tidak merata di seluruh dunia. Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Australia memiliki sistem AI maritim yang sangat maju, sementara negara berkembang, seperti Indonesia, masih mengandalkan data dari pihak ketiga. Situasi ini menciptakan tantangan geopolitik baru: ketergantungan terhadap teknologi yang bisa dianggap sebagai bentuk kolonialisme digital.
Laut Cina Selatan dan Techno-nationalism
Sebagai negara dengan ribuan pulau, Indonesia menghadapi kesulitan besar dalam mengawasi perairan yang luas. Dengan lebih dari 17.000 pulau dan area perairan seluas 6 juta km², sangat sulit bagi aparat keamanan laut untuk menjangkau semua bagian wilayah tersebut secara fisik.
ADVERTISEMENT
Salah satu manifestasi yang paling jelas mengenai keterkaitan antara kecerdasan buatan dan geopolitik maritim dapat dilihat di Laut Cina Selatan. Wilayah ini telah dijadikan arena untuk menguji berbagai teknologi baik militer maupun sipil yang berbasis kecerdasan buatan, termasuk drone laut otonom, sensor akustik bawah air, serta sistem klasifikasi berbasis AI untuk memantau pergerakan kapal yang dianggap musuh.
Tiongkok telah mengembangkan sebuah sistem pemantauan maritim yang menggunakan kecerdasan buatan, dikenal dengan nama Blue Ocean Information Network, yang didukung oleh teknologi 5G dan satelit BeiDou. Sistem ini mampu secara otomatis mendeteksi semua kapal yang masuk ke wilayah yang diakui oleh Tiongkok, sementara kapal tersebut tidak perlu menghidupkan sinyal mereka.
Di sisi lain, Amerika Serikat telah menciptakan Sea Hunter, sebuah drone berbasis kecerdasan buatan yang dapat mencari dan mengidentifikasi kapal selam musuh secara mandiri dan otomatis selama berbulan-bulan.
ADVERTISEMENT
Indonesia, AI, dan Kedaulatan Laut
Sebagai negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia, Indonesia menghadapi sejumlah tantangan signifikan dalam mengawasi wilayah lautnya. Dengan lebih dari 17.000 pulau serta area perairan yang mencapai 6 juta km², tidak mungkin semua lokasi tersebut dapat diakses oleh petugas keamanan laut secara fisik.
Di sinilah teknologi AI memainkan peran yang sangat penting. Melalui inisiatif Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dan kolaborasi dengan organisasi internasional seperti Global Fishing Watch, Indonesia mulai memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi pola penangkapan ikan ilegal, melacak kapal asing yang beroperasi secara ilegal, serta memetakan kegiatan ekonomi yang berlangsung di laut.
ADVERTISEMENT
Namun, ketergantungan pada data dan sistem yang berasal dari luar masih menjadi tantangan struktural yang perlu diatasi. Contohnya, sebagian besar pengolahan data satelit dan AI dilakukan oleh lembaga internasional serta teknologi luar negeri.
Etika dan Risiko AI di Maritim
Penggunaan teknologi AI dalam industri maritim menghadapi sejumlah tantangan etis. Pertama, keputusan yang diambil secara otomatis dalam situasi konflik di laut—seperti dalam hal pengenalan kapal musuh atau pelanggaran wilayah—berpotensi meningkatkan ketegangan militer jika terjadi kesalahan dalam sistem.
Kedua, penerapan drone dan kapal otonom yang dipersenjatai tanpa adanya campur tangan manusia mengangkat isu moral dalam konteks hukum internasional mengenai laut dan hukum yang mengatur perang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, sistem AI yang digunakan di sektor maritim dapat diretas atau dipalsukan oleh individu atau kelompok non-negara, termasuk peretas yang terlibat dalam aktivitas cyber-terorisme. Isu keamanan siber dalam industri maritim semakin menjadi perhatian yang serius.
Menuju Kedaulatan Teknologi Maritim Indonesia
Untuk memperkuat posisi geopolitik maritimnya, Indonesia perlu membangun tiga hal:
1. Infrastruktur Data Laut Nasional: Semua data pergerakan laut, informasi batimetri, dan cuaca harus disimpan dan dikelola secara mandiri, dengan pusat data nasional berbasis kelautan.
2. Lembaga Riset AI Maritim Terpadu: Universitas dan lembaga riset perlu didorong untuk mengembangkan sistem AI lokal untuk kebutuhan pengawasan laut, pelabuhan, dan logistik maritim.
ADVERTISEMENT
3. Etika dan Regulasi AI Laut: Pemerintah dan masyarakat sipil perlu merumuskan regulasi dan kerangka etik yang mengatur penggunaan AI dalam konflik laut, pengawasan, dan otonomi sistem persenjataan.
Kesimpulan
AI telah menyusup ke dalam lautan. Namun, lautan lebih dari sekadar area strategis; itu juga merupakan tempat bagi ekosistem, budaya, dan keberlangsungan. Ketika teknologi kecerdasan buatan dimanfaatkan untuk melindungi, bukan untuk mengeksploitasi; untuk mempertahankan kedaulatan, bukan untuk menindas para nelayan; itulah saatnya lautan dan teknologi dapat bersinergi.
Sebagai negara yang berbasis di lautan, Indonesia tidak boleh hanya menjadi pengamat dalam kompetisi algoritma global di lautan. Kita perlu mengembangkan AI kita sendiri, menetapkan etika kita sendiri, dan memiliki keberanian untuk melindungi lautan dengan kecerdasan yang berlandaskan pada nilai-nilai lokal.
ADVERTISEMENT
Referensi
Global Fishing Watch. (2023). Tracking the Dark Fleet: How AI Helps Fight IUU Fishing.
Liu, M., & Kreps, S. (2020). “Emerging Technologies and Maritime Security: The AI Challenge.” International Security, 44(4), 96–131.
Schoff, J.L. (2022). “Techno-Nationalism at Sea: US-China Rivalry in Maritime AI.” Carnegie Endowment for International Peace.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI). (2023). Kedaulatan Laut dan Keadilan Maritim di Era Digital.
Crootof, R. (2019). “Autonomous Weapon Systems and the Law of Armed Conflict.” Yale Journal of International Law, 44(2), 247–290.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). (2022). Laporan Tahunan Pengawasan Laut dan Perikanan.
UNCTAD. (2021). Technology and Innovation Report: Catching Technological Waves. United Nations.