Konten dari Pengguna

Antroposentrisme dan Cara Alam Memandang Manusia

Robbi Herfandi
Robbi Herfandi, Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas
31 Juli 2024 12:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/landscape-sea-reef-beach-marina-4075200/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/landscape-sea-reef-beach-marina-4075200/
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di zaman sekarang kita tidak hanya dihadapkan dengan perang, penaklukan wilayah dan ketegangan di Asia Pasifik, melainkan dihadapkan dengan tantangan yang sangat kompleks, baik itu masalah keberlangsungan hidup, maupun masalah kesehatan bumi yang include didalam basis-basis kehidupan, namun, perlu digaris bawahi, tantangan yang berat itu tidak semata-mata hanya perbuatan alam saja, melainkan ada faktor-faktor seperti; kompetitif, selfish dari subjek yang berada di alam ini, permasalahan serius bagi dunia sekarang, baik dari kesehatan, kebakaran hutan, banjir dan kekeringan yang menjadi kecemasan bagi dunia hingga hari ini.
Kecemasan dunia yang perlu diperhatikan adalah masalah lingkungan hidup nan menjadi kemaslahatan bagi umat manusia, yang kini menjadi bertolak belakang dari idealisme yang dirancang untuk kebaikan dan kesejahteraan. Kecemasan tersebut tidak hadir di dalam kesadaran akhir-akhir ini, melainkan kecemasan itu sudah berlangsung sejak perang dingin sehingga mengkonstruksi Pada tahun 1993 di Rio Janeiro, Brazil, barulah negara bangsa melakukan diplomasi lingkungan dan membahas isu-isu lingkungan ini di PBB, Walaupun gerakan ini sudah ada yaitu pada tahun 1972 di Stockholm, Swedia. Namun, tidak lah dapat menghasilkan yang memuaskan. Karena polusi udara dan pemanasan global semakin hari tidak dapat di stabilkan, akibat negara-negara berlomba-lomba membangun poros legitimasi seperti militer, nuklir dan potensial bisa merusak alam.
ADVERTISEMENT
Masalah lingkungan dan alam ini juga sudah dikontruksi habis-habisan seperti gerakan protokol kyoto, dimana protoko kyoto berupaya mengatasi pemanasan global dengan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di 38 negara industri sebesar 5,2% antara tahun 2008 dan 2012 Untuk pertama kalinya, target dan komitmen yang mengikat secara hukum ditetapkan dan para pemain ekonomi utama seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa berjanji untuk mengurangi emisi mereka masing-masing sebesar 7%, 8%, dan 9%. Jika dilihat komitmen tersebut merupakan entitas historis yang menjadi dalangnya sebagai pemangku emisi terbesar ditahun 1997, namun, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) mengecualikan negara berkembang untuk berkomitmen akan hukum tersebut, di tahun 2006 hadir negara baru yaitu Tiongkok melampaui Amerika dan India hampir sama dengan UE.
ADVERTISEMENT
Melihat akan hal itu, tentunya AS tidak ingin ketinggalan dalam pembangunan, jikalau meratifikasi protokol kyoto yang belum dapat menyamakan pengurangan emisi dengan ketegasan, maka itu akan berimplikasi kepada ekonomi nya dan tumbuh presepsi bahwa AS akan berpotensi keluar dari arena hegemon ekonomi dunia, dan itu juga menjadi preseden bagi negara jepang dan kanada.
Sehingga protokol kyoto mengalami kagagalan dalam menangani permasalahan pemanasan global, karena tidak ada pengurangan emisi gas yang signifikan, terbukti setahun setelah komitmen pertama yaitu 2012 sebanyak 44% bertambah dari tahun 1997, penyumbang tersebut banyak dari negara berkembang yang tidak ada ketegasan dari UNFCC. Namun, konstruksi kyoto tidak lah sepenuhnya gagal, karena pengalaman tersebut menjadi inspirasi negara dunia untuk membuat Paris Agreement yang dimana negara dunia diikat secara hukum dan berkomitmen secara nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan upaya menjaga suhu di bawah 1,5 derajat Celsius atau tidak boleh melebih 2 derajat Celcius, seperti UE mentargetkan 95% pada tahun 2040 dan Amerika 50%-52% pada 2030 dan Tiongkok menurunkan emisi karbon per unit PDB sebesar lebih dari 65% sebagai konstruksi akibat permasalahan perubahan iklim terhadap ketidakpekaan negara bangsa di masa lampau, bahwa pemanasan global bisa melakukan regenerasi yang sangat mencemaskan.
ADVERTISEMENT
Pada akhir nya pemanasan global itu sudah mencapai agenda titik klimaksnya, dimana negara bangsa berkomitmen untuk terus hadir dalam upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, karena titik klimaknya sudah menjadi persoalan serius yaitu Global Warming bertransformasi menjadi Global Boiling.
Global Boiling Merupakan suatu fenomena dimana atmosfer dan iklim bumi sedang mendidih atau bisa dikatakan suhu bumi tertinggi pada periode yang belum pernah terjadi sebelumnya, Istilah ini pertama kali dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, di Markas Besar PBB, New York pada Juli 2023 silam, Menurut laman The National News, per 6 Juli 2023 menjadi hari terpanas bumi semenjak suhu rata-rata global mulai pertama kali dihitung, yang sudah mencapai 17,18 derajat celcius. Data tersebut dirilis oleh US Centres for Enviromental Prediction. Di penelitian yang lain Climate Change Institute memberikan gambaran dari periode tahun ke tahun meningkat, peningkatan suhu Bumi terjadi cukup signifikan. Rata-rata suhu global pada rentang waktu 1979-2000 yaitu 16,25 derajat celcius, dan pada 2023 sudah meningkat menjadi 17,18 derajat celcius. Keadaan Seperti ini adalah hasil dari ketidaksungguhan kita dalam menangani realitas alam semakin hari tidak terkendali.
https://pixabay.com/photos/industry-environmental-pollution-1761801/
Meneropong implikasi dari realitas tersebut, tidak hanya sekedar kata lingkungan saja, melainkan dampak yang ditimbulkan dari ketidaksungguhan kita yaitu mencairnya es kutup utara, kerawanan pangan karena kenaikan suhu dan perubahan curah hujan dapat menyulitkan petani dalam menanam tanaman dan menjaga kehidupan ternak serta kenaikan permukaan air laut akibat suhu panas yang dapat mengganggu infrastruktur dan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir pantai bahkan peningkatan frekuensi kejadian cuaca ekstrem, seperti gelombang panas, kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan, yang bisa menyebabkan kematian makhluk hidup seperti yang terjadi akhir-akhir ini di indonesia dan dunia. seperti yang dikatakan sekjend PBB “Bagi sebagian besar Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa, ini (global boiling) menjadi musim panas yang kejam. Bagi seluruh planet, ini menjadi bencana. Dan bagi para ilmuwan, hal ini jelas akibat ulah manusia” (António Guterres, Sekjen PBB).
ADVERTISEMENT
(Ulah manusia) dapat penulis garis bawahi perilaku tersebut yang lain dan tidak bukan orang-orang yang beraliran antroposentrisme dan bahwa gerakan tersebut tidak hanya ditekankan kepada State Sentris saja lagi, melainkan semua aktor individu yang hidup diatas bumi harus bertindak secara kolektivitas dalam aksi-aksi perjuangan lingkungan ini.
Realitas tersebut penulis bisa menganalogikan dengan penyakit “Diabetes” Gula darah tinggi dapat merusak pembuluh darah. Maka, jika pembuluh darah rusak, maka peredaran darah ke seluruh tubuh, termasuk jantung akan terganggu, sehingga dapat menyebabkan memantik penyakit lainya agar hadir, seperti, jantung, stroke, penyakit ginjal, kebutaan, dan kerusakan saraf di kaki. Dapat penulis simpulkan bahwa, apabila sikap kita acuh tak acuh terhadap permasalahan ini, maka itu dapat menimbulkan gejala penyakit lain yang dapat menggrogoti bumi dengan kesulitan nya untuk mengobati kembali.
ADVERTISEMENT
Kepentingan yang terus dibangun mengakibatkan malampaui konstruksi yang telah ada bahkan yang telah dibangun, terafirmasi dari bukti, data, analogi dan realitas diatas, bahwa kesadaran kita melampaui kebijaksanaan dalam mengukur kebutuhan. Acap kali kita paham, namun, selalu terabaikan untuk memenuhi nafsu birahi yang masih belum merasa berkecukupan dengan dalih takut ketertinggalan.
Kompetitif yang dibangun untuk merangsang kita berkembang untuk terus maju dan berkompetisi agar sama derajat dengan nya bahkan kelebihan, namun acap kali melihat kompetitisi yang dibangun jauh dari berlandaskan etika, ketika etika menjadi poin utama semestinya menjadi aturan main dan harus di Kongretkan, namun realita nya sering terabaikan.
Kompetitif melahirkan kecemasan universalisme moral, kata universalisme moral disini bisa dimaknai meta-etika, kaum universalisme memiliki ketegasan akan gagasan dan melihat sesuatu secara semesta tidak mengenal negara, budaya, ras, suku bahkan agama, salah satu gagasan kongret nya adalah Universal Declaration of Human Right (UDHR).
ADVERTISEMENT
Human Right disini bisa dikontekstualisasikan dengan alam, dikarenakan alam merupakan bagian dari hidup manusia, dan tempat dimana manusia mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya dalam malanjutkan kehidupan, ketika sesuatu bisa kita sebutkan individu, kelompok atau masyarakat internasional bahkan institusi internasional melakukan dan mengganggu kestabilan lingkungan, maka itu bisa disebut dengan mencederai gagasan universalisme (Hak Azasi Manusia). Melihat akan hal itu, apakah kita akan memandang alam sebagai objek kepentingan manusia yang harus ditaklukan? Banyak negara telah berkomitmen akan memperbaiki cara pandangnya terhadap lingkungan. Dimana mereka sudah beralih kepada energi terbarukan sebagai respons akan krisis iklim serta membuat Green Product Innovation untuk menciptakan ekonomi sirkular, melihat fenomena itu tentunya kita tidak menyentuh kepada kesimpulan ‘aku’ dan ‘kami’ sehingga menciptakan egoisitas, melainkan kehidupan itu harus ditafsirkan kepada kata ‘kita’, maka dari pada itu, alam harus dipandang sebagai kawan, bukan lawan yang harus ditaklukan! karena alam bisa berwujud ke dalam bentuk perlawanan pula.
ADVERTISEMENT