Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jika Saya Menjadi Mendikti Saintek: Sebuah Resep Menuju Republik-Kuat
19 November 2024 15:17 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Konsepsi PTN-BH terus digadang-gadang kan menciptakan ekonomi yang dinamis dan Inovasi teknologi yang berakhir pada kesimpulan membawa masyarakat dalam kemakmuran yang lebih besar, namun, menurut penulis itu hanyalah harapan parsial yang membuat ketimpangan semakin tidak terkendali, dapat kita logikakan ketika suatu Universitas beralih kepada PTN-BH, yang dimana intervensi pemerintah berkurang dan universitas memiliki kekuatan otonom untuk mengendalikan ekonomi-nya sendiri, dalam menyongsong dogma world class university, yang tentunya universitas akan mencari income untuk kemandirian nya, sehingga yang terjadi universitas akan membangun unit-unit usaha, bekerja sama dengan korporasi, dan menaikkan tingkat UKT ketika asumsi dari world class university tidak terpenuhi karena asumsi nya memerlukan investasi fasilitas yang besar, teknologi dan penelitian yang menjadi beban secara finansial apalagi bersifat kompetitif, sehingga berdampak kepada.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan Sosial
Ketika UKT dinaikan yang akan terjadi ialah termarjinalkan nya kelompok kelas bawah akibat tidak bisa membayar ketentuan pendidikan tersebut, sehingga konsekuensinya adalah kelompok kelas bawah itu akan berhenti menikmati bangku perkuliahan, berhutang untuk pendidikan, dan terjerat pinjol, meskipun banyak beasiswa pendidikan hal itu tidak bisa mengcover biaya secara keseluruhan, bahkan anak-anak yang mau melanjutkan ke perguruan tinggi enggan untuk mengecap ikhtiar yang telah sama-sama kita lihat realitanya. melihat kelas bawah tidak bisa melanjutkan atau mengecap perguruan tinggi, kemudian yang akan terjadi ialah mendominasi kelompok majikan di lingkungan universitas, sehingga pendidikan menjadi ajang bisnis dan menghilangkan basis nilai-nilai pendidikan itu sendiri, menjadi logis ketika Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education yang sifatnya tidak wajib.
ADVERTISEMENT
Karena Mengutip laman Online Etymology Dictionary, tersier berasal dari kata “tertiarius” atau “tertius” yang dalam bahasa Latin berarti “peringkat ketiga”. Kata tersebut dipopulerkan oleh Giovanni Arduino, seorang geolog asal Italia. Maka dapat dipahami kuliah hanya untuk orang yang mampu membayar seperti kebutuhan tersier kita lihat dalam kehidupan sehari-hari, perhiasan emas, iPhone, Rumah mewah, dan berlian dll. Namun, pertanyaannya adalah apakah dalam konteks pendidikan hal itu berlaku?
Dan realitas diatas juga sama dengan wajah pendidikan di negara Chili, dimana pendidikan dijadikan komoditas dan investasi korporat masuk, akibatnya pendidikan jadi hanya diakses oleh kelompok majikan dan menjadi alat untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga biaya pendidikan sangatlah mencekik bagi kelas bawah. Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Chili ditempatkan negara dengan pendidikan yang termahal di dunia, yakni mencapai 3.400 dolar per tahun. Padahal gaji rata-rata pekerja di Chili hanya 8.500 dolar. Dapat dipahami setiap keluarga membayar biaya pendidikan 75% dari total pendapatan. Hal itu menyebabkan banyak sarjana lulusan perguruan tinggi di Chili terjerat utang untuk membiayai pendidikannya, serta tidak sedikit pula mahasiswa dari keluarga kelas bawah yang harus putus sekolah karena tidak cukup memiliki uang.
ADVERTISEMENT
Hal itu juga senada dan pola nya tidak jauh berbeda dengan kasus Indonesia seperti kenaikan level UKT akhir-akhir ini yang mencekik, terlebih lagi ada keluar Permendikbud no 2 tahun 2024 perihal eskalasi tersebut. Dan kemudian hal itu juga berimbas kepada MABA 2024 dan menjadi warisan untuk mahasiswa selanjutnya. Meskipun penggolongan UKT bertambah, namun, yang dikhawatirkan golongan bawah dihantarkan ke golongan UKT tertinggi, maka hal itu perlu ditinjau kembali terkait porsi yang harus diberikan.
Demokrasi Luntur
Ketika UKT yang dibayarkan oleh mahasiswa tidak cukup ada 2 kemungkinan logika yang akan hadir, yang pertama Menaikan jumlah UKT yang telah dijelaskan diatas dan Bekerja sama dengan korporasi, kerjasama universitas dengan korporasi tentu hal itu akan menjadi buah yang manis, namun kalau dirasakan manis nya keseluruhan belum tentu, kenapa penulis menganalogikan semacam itu, ketika suatu institusi bekerjasama dengan perusahaan maka investasi akan masuk ke dalam nya dan membuahkan pembangunan untuk pembuatan alat produksi sendiri, seperti yang dilakukan kebanyakan universitas yang telah menganut PTN-BH. Ketika konsep itu berulang dan ketagihan maka dapat dimungkinkan universitas akan mengalami ketergantungan kepada korporasi.
ADVERTISEMENT
Sehingga kebijakan-kebijakan universitas berarah kepada kepentingan korporasi yang jauh dari kepentingan khalayak ramai, kalau tidak berarah otomatis universitas akan potensial mengalami kebangkrutan dan ketergantungan, Karena melihat belum ada keberhasilan dan potensi keberhasilan setiap universitas di Indonesia yang mampu menerapkan PTN-BH ini secara ideal, meskipun sudah banyak mendirikan usaha-usaha tapi eskalasi UKT juga semakin tinggi setiap kampus berbadan hukum dan hal itu ketika belum mencukupi asumsi-asumsi world class university, sehingga untuk memenuhi asumsi tersebut universitas akan tergoda oleh budaya korporat dan meningkatnya UKT menjadi jalan alternatif untuk memenuhi asumsi tersebut. Sejalan dengan ketergantungan tadi, Reasoning independensi universitas dan intelektual juga terancam. Kenapa independensi universitas penulis katakan karena universitas tidak boleh di intervensi oleh perusahaan dan di ancam oleh siapapun, berdirinya universitas Berdasarkan “kemandirian” yang merdeka secara intelektual berasaskan adil bagi semua, karena basis dari kaum intelektual dalam universitas itu adalah nilai bukan transaksional dan komersial.
ADVERTISEMENT
Karena penulis melihat ketika suatu negara menerapkan prinsip neoliberalisme ini yang akan terjadi ialah kemerosotan demokrasi, kebijakan-kebijakan yang diucapkan tidak melihat rakyat, tapi, melihat kepada kepentingan korporasi dan pertumbuhan ekonomi, maka dari itu penulis menulis tulisan ini sebagai dilema praksis yang telah dilakukan oleh negara.
Pendistorsian Nilai Pendidikan
Filsafat pendidikan yang selalu berbicara metode untuk meraih ilmu pengetahuan yang berlandaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, namun kini sudah jauh dari hal demikian, karena Ketergantungan, Orientasi Ekonomi, Fanatik terhadap world class university, dan tunduk pada persaingan; Hal ini mendistorsi filsafat pendidikan itu sendiri, Penilaian dilakukan untuk tujuan pemeringkatan, Universitas menjadi tergoda untuk mengadopsi budaya perusahaan, Pendidikan sebagai bentuk membudaya kemudian diartikan sebagai perolehan modal sosial dan manusia. Berimplikasi kepada Pendidikan yang menjadi instrumen nilai-nilai bisnis.
ADVERTISEMENT
Mantra neoliberal bersifat meresap, berulang, dan terus-menerus ditegaskan: jika suatu negara baik (rata-rata), maka warga negaranya pasti baik meskipun mereka sangat miskin”. dan keinginan untuk terpandang di kancah dunia dengan label World Class University.
Jikalau kita selalu di dogma kan dengan perguruan tinggi sekelas dunia yang akan terjadi adalah Tri Dharma Perguruan tinggi menjadi tidak berkualitas dan menyimpang, karena kita terus sibuk dengan pertumbuhan ekonomi dan maka manfaat kualitas penelitian pada awal nya diharapkan substansial tapi, akhirnya tidak menghasilkan apa yang di harapkan contoh-nya penelitian yang tidak substansial cenderung penghamba Scopus semuanya itu demi mengejar pemeringkatan, pun sejalan dengan itu pemahaman tentang etika, berpikir kritis dan pemahaman sosial menjadi terdegradasi. Melihat kasus di Indonesia perihal plagiarisme oleh dosen, jual beli ijazah kepada mereka yang tidak berhak/tanpa proses belajar mengajar, manipulasi data mahasiswa, pembelajaran fiktif, penyalahgunaan KIP Kuliah sehingga 23 kampus ditutup. memang harus diakui konsep neolib ini banyak pembangunan, tapi, kalau dalam pepatah minang nya “Rancak di Labuah” lagak gayanya saja yang ditonjolkan tapi, tidak sesuai dengan reasoning akademica-nya.
Pernahkah anda berpikir bahwa budaya kompetisi melahirkan itu semua, karena beban administrasi mengikat sehingga menimbulkan kegamangan untuk menyeleseikan itu semua, bahkan pengabdian juga menjadi terkendala serta tidak substansial, tidak hanya itu program ambisius latah nan penuh sensasi tanpa substansi yang dihadirkan oleh kurikulum merdeka berbagai program seperti beasiswa luar negeri dalam negeri juga diafirmasi asalkan dalam konsepsi budaya keunggulan dan pemeringkatan tetap langgeng meskipun program kampus merdeka banyak kritikan seperti program IISMA dan PMM yang tidak mendapatkan dampak nan signifikan bagi pendidikan indonesia kemudian space tersebut banyak diisi oleh kelompok majikan, di posisi itu, dapat dipahami meskipun program tersebut problematik, namun, tetap mengalir tanpa ada kerinduan untuk mengalokasikan kepada cita-cita pendidikan merata di seluruh indonesia, bahkan untuk meningkatkan insentif para guru terkhusus guru honorer. Masih banyak anak muda para pekerja kerah biru yang belum dapat mengakses pendidikan karena terkendala dari beragam aspek seperti ekonomi, lingkungan dan keluarga, entah itu takdir atau kutukan untuk mereka, atau lebih seriusnya perguruan tinggi dan negara belum memikirkan untuk memenuhi hak mereka untuk hidup layak dan mendapat hak pendidikan serupa dengan teman sebayanya? maka sistem pendidikan kedepannya adalah bebas dengan tertib agar tidak terjadi paradoksal di hilir bersih, tapi, di hulu kotor, sehingga kita kehilangan skala prioritas.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu menuju republik kuat perlu resep ampuh seperti;
1. Menurunkan beban administrasi dosen dan meningkatkan gajinya agar mereka fokus kepada penelitian substansial dan pengabdian pencerahan begitupun para guru, mengangkat para guru honorer menjadi PNS dengan ujian ketat dan menambah insentif mereka.
2. Hadirnya pendidikan dan perguruan tinggi bukan mengaliri sungai lagi, tapi, mengaliri padang pasir. Perguruan Tinggi itu harus menumbuhkan harapan bukan tempat menghina orang, kemudian perguruan tinggi harus keluar dari sistem pemeringkatan
3. Saya akan menghilangkan program latah dan tebar sensasi untuk kemudian mengalokasikan dana pendidikan untuk daerah terpencil sehingga cita-cita pendidikan merata dapat diwujudkan, pendidikan merata disini bukan hanya sekedar teks, tapi, mereka bisa berbahasa internasional juga pokoknya setara dengan anak-anak kota
ADVERTISEMENT
4. Saya akan mengajak anak-anak dibawah dan diatas umur untuk mengecap pendidikan, baik anak-anak yang pekerja keras dan kerah biru dengan "tinggi badan 145 Cm tapi badannya besar dan berotot" ini takdir atau kutukan entahlah! Karena mereka butuh pendidikan untuk mengarungi dunia
5. Progam beasiswa luar negeri harus diseleksi dengan ketat dengan orientasi pendidikan percaya nilai, bukan ekonomi, agar mereka ada goresan di hatinya untuk mengalami kerinduan untuk mengabdi, baik itu diluar maupun balik kedalam
6. Gratiskan kuliah S-1
7. Kita membutuhkan peran maksimal dari berbagai kalangan