Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
John J Mearsheimer dan Arah Geopolitik Indonesia
21 Oktober 2024 13:02 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden terpilih Prabowo Subianto meminta John J Mearsheimer Pakar Geopolitik sekaligus Ilmuan Hubungan Internasional terkemuka sebagai pengisi materi geopolitik di Hambalang untuk membekali menteri-menterinya, Mearsheimer populer karena mengembangkan ide perihal Realisme Ofensif, sekilas mengenal realisme, Realisme dalam hubungan internasional merupakan cara pandang dimana tidak ada seorangpun yang bisa menolongmu kecuali dirimu sendiri, memaksimalkan power dan upaya keamanan dalam agenda agar dapat mencegah terjadinya kepunahan, bisa kita kontekstualisasikan dengan kata menolong diri sendiri (Self-help) bagaimanapun caranya, karena negara-negara hidup di sistem internasional dimana perang dan kekerasan selalu mengintai, kalau kita lihat pandangan dunia seperti ini bersifat ekslusif mengedepankan egoisme tidak ada otoritas sentral diatas negara.
ADVERTISEMENT
Melihat asumsi dasar dari Realisme Ofensif yang dikembangkan John J. Mearsheimer. Asumsi pertama adalah bahwa terdapat anarki dalam sistem internasional, yang berarti bahwa tidak ada kekuatan koersif yang secara hierarkis lebih unggul yang dapat menjamin batasan terhadap perilaku negara (Mearsheimer 2001, 30). Kedua, semua negara besar memiliki kemampuan militer ofensif, yang dapat mereka gunakan untuk melawan negara lain (2001, 30-31). Ketiga, negara tidak akan pernah bisa yakin bahwa negara lain akan menahan diri untuk tidak menggunakan kemampuan militer ofensif tersebut (2001, 31). Keempat, negara berusaha untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka (integritas teritorial dan otonomi domestik mereka) di atas semua tujuan lainnya (2001, 31), karena hal itu merupakan sarana untuk mencapai semua tujuan lainnya (1990, 44). Kelima, negara adalah aktor rasional, yang berarti bahwa mereka mempertimbangkan konsekuensi langsung dan jangka panjang dari tindakan mereka, dan berpikir secara strategis tentang cara untuk bertahan hidup (2001, 31).
ADVERTISEMENT
Aktivitas rasional akan keamanan dapat dipandang sebagai rasa dimana jauh dari ancaman. Semenjak mengenal kepemilikan territorial (kedaulatan) atau bisa kita sebut dengan konsep politik Nation State, dengan hiasan yang hadir dari negara adalah rasa nasionalisme yang amat mendalam, di mana orang-orang nasionalis menggugah rasa cinta atas tanah air, sehingga rasa cinta itu menimbulkan slogan "NKRI HARGA MATI". Slogan itu dapat dimaknai sebagai tindakan ekslusif untuk melindungi kedaulatan Indonesia agar bisa bertahan hidup. Seperti dalam bentuk konkretnya kapal perang, kapal selam, jet tempur, tank, dan lain-lain.
Indonesia merupakan negara yang menempati kekuatan militer atau TNI (Tentara Nasional Indonesia) di peringkat 13 dari 145 negara di dunia pada 2023 dan di tahun 2024 masih belum beranjak dari angka tersebut, dengan skor indeks 0,2221 di 2023 Dan kemudian bergeser ke Angka 0,2251 di tahun 2024 menjadikan Indonesia sebagai yang pertama di Asia Tenggara menurut Global FirePower.
ADVERTISEMENT
Melihat dari data di atas bahwa Indonesia berada di peringkat yang sangat membanggakan dari segi militer dan mampu untuk menjaga stabilitas regional. Akan tetapi, semakin tinggi peringkat, maka semakin itu pula beban yang dihadapi dan ancaman semakin besar. Sebab, Indonesia negara yang masih berkembang, butuh kekuatan yang amat besar dalam upaya bebas akan ancaman dari negara-negara besar lainnya, seperti upaya mempertahan stabilitas kawasan dan global, mempertahankan kedaulatan, menjalin mitra strategis dan melanggengkan konsep politik bebas-aktif.
Rivalitas AS dan Tiongkok Menjadi Perhatian
Kebangkitan Tiongkok tidak hanya sekedar tentang masalah kekuatan, tapi, juga masalah influence dan legitimasi dari global. Sehingga merubah dinamika geopolitik dari unipolar menjadi bipolar dengan Amerika Serikat dari segi militer.
ADVERTISEMENT
Hal itu tidak luput juga masalah ekonomi. Maka, realitas tersebut dapat dipandang sebagai kompetisi untuk mempengaruhi negara dan berorientasi mendapatkan legitimasi dari negara-negara lainnya.
Bagaimana Amerika tetap bertahan dengan hegemoninya, Tiongkok melebarkan pengaruh di kawasan Asia bahkan diplomasi persenjataan dengan gencarnya Tiongkok dari rentang 2010—2020, Tiongkok mengekspor hampir menyundul angka 16,6 miliar senjata konvensional senilai TIV (Trend-Indicator Values) ke seluruh dunia.
Sekitar 77,3 persen jatuh ke Asia, 19,1 persen lagi mengalir ke Afrika, dan 3,6 persen sisanya mengalir ke belahan dunia lain. tentunya ini akan menjadi dua kubu yang sangat menarik ketika kita mengkaji isu kemanan dan situasi geopolitik yang sangat memanas hingga hari ini.
Menakar Tiongkok muncul sebagai negara baru yang mampu bersaing dengan AS yang sedang berupaya juga menyebarkan pengaruh untuk mendapatkan legitimasi, AS juga bertahan sambil mendapatkan legitimasi dari negara-negara lain.
ADVERTISEMENT
Situasi demikian juga berimplikasi kepada ancaman kepada negara berkembang, merujuk kepada historis perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet, tentunya negara berkembang pada masa itu akan dipaksa untuk memihak salah satu kubu.
Jika tidak ada ketegasan dari negara berkembang untuk memilih, maka konsekuensinya adalah ancaman dari negara adidaya (bipolar).
Jika kita lihat dan hadapkan juga pada dinamika geopolitik antara AS-Tiongkok, dapat dipahami iklim geopolitiknya tidaklah jauh dari pola reasoning yang berbeda, bisa saja Indonesia akan diperlakukan serupa, melihat ekspansi barat ke timur khususnya kontestasi di Indo Pasifik, mau tidak mau secara rasional Tiongkok akan dan sedang membangun hegemoni yang lebih luas.
Apa Strategi Indonesia Seharusnya?
Jikalau kita lihat anggaran pertahanan Indonesia dari tahun ke tahun pada periode pertama Jokowi dan Kedua, pada periode pertama sebanyak Rp510 triliun dan periode kedua berjumlah Rp692,92 triliun atau hampir Rp700 triliun. Maka dapat dianalisis dari data-data di atas Indonesia semakin insecure. Karena anggaran pertahanan terus meningkat dari periode ke periode, terlebih lagi melihat arah pandang Prabowo yang notabanenya adalah seorang militer, yang kemudian menjadikan Mearsheimer menjadi panutan dalam geopolitik global, tentu saja Prabowo memprioritaskan keamanan dan modernisasi persenjataan bahkan tidak mustahil melakukan diplomasi persenjataan, semuanya dalam rangka penyeimbangan kekuatan global.
ADVERTISEMENT
Maka dapat dipahami, Indonesia yang merupakan negara masih berkembang. Tentu Indonesia dalam situasi yang merumitkan dan juga menjadi dilema akan historis antara rivalitas AS-Uni Soviet. Ini diakibatkan kejadian yang melanda negara-negara berkembang, seperti tekanan dan ancaman seperti dipaksa untuk memilih salah satu blok.
Maka dari itu, Indonesia yang masih negara berkembang yang potensial mendapatkan ancaman kedaulatan. Sehingga negara harus mempertahankan kedaulatan dan tidak boleh memihak kepada salah satu blok mana pun.
Brian Healy dan Arthur Stein yang mempopulerkan publikasinya, yaitu The Balance of Power in International History: Theory and Reality, menguraikan konsep Triadic Balance. Di mana ketika negara-negara besar bertikai, maka negara berkembang terkena imbas dari fenomena tersebut seperti yang telah penulis uraikan tadi, yakni dipaksa untuk memilih salah satu kubu. Terlebih lagi Indonesia merupakan mitra dagang di antara AS-Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Tentunya Indonesia yang menganut paham politik bebas-aktif juga dipertaruhkan dan juga terancam. Sehingga dengan adanya strategi tersebut, dapat meminimalisir atau terhindar dari ancaman yang potensial didapat oleh Indonesia bahkan turut andil dalam penyeimbangan kekuatan (Balancing Of Power). Memang sulit, tapi, kalau tidak dilakukan dominasi Tiongkok juga akan semakin diterima oleh negara-negara yang lainya terkhusus Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang memiliki jejak sejarah Panjang untuk melawan, karena gerakan Tiongkok sudah terlanjur melebar di Laut China Selatan (LCS) dan laut Natuna Utara terlebih lagi Asia Tenggara tidak seirama untuk menentang hegemoni Tiongkok.
Negara-negara di Asia Tenggara memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi hegemoni Tiongkok. Beberapa negara, seperti Vietnam dan Filipina, cenderung lebih tegas dalam menentang klaim teritorial Tiongkok di Laut Cina Selatan, sementara yang lain, seperti Laos dan Kamboja, lebih memilih untuk menjaga hubungan dekat dengan Tiongkok demi kepentingan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini dipengaruhi oleh faktor sejarah, ekonomi, dan politik masing-masing negara. Misalnya, ketergantungan ekonomi terhadap Tiongkok dapat memengaruhi sikap negara-negara tersebut. Selain itu, ada juga perbedaan dalam kapasitas militer dan aliansi strategis yang dimiliki. Ini menciptakan dinamika yang kompleks di kawasan, di mana kerja sama dan ketegangan berjalan berdampingan.
Ada kasus mencengangkan terjadi ketika Strategic and Defence Studies (ISDS) menggelar lomba IG Reels dengan tema “Menjaga Natuna, Menjaga Indonesia” terkait wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di laut natuna utara yang di klaim masuk perairan Tiongkok melalui peta Nine Dash Line, konten itu dicoba diunggah di akun tiktok ISDS mendadak dihapus, karena kita bisa melihat alasannya bahwa Tiktok berasal dari negera tirai bambu itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Langkah yang telah dilakukan Indonesia adalah dialog diplomatik, pengeboran minyak agar laut itu ada tuanya dan itu telah di akui oleh PBB tentang konvensi hukum laut serta patroli pengawasan maupun gerakan di media sosial telah diupayakan, tapi, di sering kali diabaikan.
Berada dititik itu, Tiongkok tidak main-main dengan keangkuhanya dan enggan untuk mematuhi, meskipun sudah ada dialog diplomatik, kerja sama internasional, tapi, masih saja melanggengkan keegoisannya maka dari pada itu konsep Triadic Balance salah satu opsi sebagai langkah masuk akal dalam bertindak untuk geopolitik Indonesia kedepannya, karena dipandang sebagai strategi bijaksana, dimana cara pandang ini dapat mempertahankan kedaulatan Indonesia dari ancaman, menjaga stabilitas kawasan, dan secara pro-aktif menyebarluaskan konsep perdamaian. Bahkan, menjaga ideologi politik luar negeri bebas-aktif agar tidak memihak ke salah satu kubu, tampaknya Prabowo akan berusaha meyakinkan dan Ingin mendapatkan legitimasi dari Anggota-anggota ASEAN agar satu suara untuk melawan hegemoni Tiongkok di kawasan.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi dengan Diplomasi persenjataan yang kian menjadi menonjol dan menguntungkan, melihat kasus kesepakatan antara Indonesia dan Perancis yang secara gelontor dana kiranya menguntungkan Indonesia. Indonesia berhasil mendapatkan 42 unit jet tempur dengan harga Rp125,7 triliun,
Kemudian Strategi diplomasi senjata tidak hanya dioperasikan kepada aspek perdagangan saja, melainkan juga berorientasi kapada keamanan nasional, stabilitas regional, legitimasi, serta pengaruh politik dan ekonomi juga diperhitungkan, tidak hanya itu, untuk menjalin mitra strategis Indonesia tidak akan luput bekerja sama kepada salah satu negara eksportir terbesar yaitu Korea Selatan beserta negara-negara lainya.
Menakar kembali rivalitas perdagangan senjata antara AS-Tiongkok tidak hanya berpengaruh kepada bipolar tersebut, melainkan juga berimplikasi kepada perubahan dinamika geopolitik. Ini secara tidak langsung juga mempengaruhi strategi politik luar negeri negara-negara lain seperti Indonesia. Sehingga pada akhirnya konsep Triadic Balance dan Diplomasi persenjataan hadir sebagai konsekuensi logis untuk bertahan, terhindar dari ancaman, dan ikut berperan dalam penyeimbangan kekuatan global serta ikut dalam serta dalam perdamaian dunia yang berkelanjutan. Ini sangat menantang geopolitik Indonesia kedepan, karena juga ketakutan tentang Artificial intelligence (Al) menjadi perhatian serius bagi kita bersama, seperti kecemasan penerima Nobel Prize 2024, Geoffrey Hinton, hinton melihat Al dapat meruntuhkan keamanan suatu negara, maka perlu juga presiden terpilih juga menelaah Al untuk melindungi kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Namun, yang perlu kita perhatikan ulang melihat fenomena diatas ketika negara hanya menghimpun pikirannya kepada keamanan, militer dan penyeimbangan kekuatan global, diharapkan juga Prabowo presiden terpilih juga tidak lupa kebutuhan dasar warga negara Indonesia perihal kesejahteraan, menyelesaikan ketimpangan sosial, serta keadilan lingkungan, bahkan untuk mensejahterakan para petani. Semuanya tidak terlepas dari komitmen kepada prinsip demokrasi itu sendiri.
Referensi
Steinson, S. 2015. John Mearsheimer’s Theory of Offensive Realism and the Rise of China https://www.e-ir.info/2014/03/06/john-mearsheimers-theory-of-offensive-realism-and-the-rise-of-china/
https://www.pinterpolitik.com/in-depth/mengapa-capres-abaikan-as-tiongkok/