Konten dari Pengguna

Strategi Indonesia dalam Mengatasi Ketegangan di Semenanjung Korea

Robbi Herfandi
Robbi Herfandi, Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Andalas
13 September 2024 12:01 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robbi Herfandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peta Globe (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Globe (Pixabay)
Latar Belakang
Ketegangan Semenanjung Korea merupakan isu yang paling krusial bagi dunia, hal ini dikarenakan nuklir merupakan ancaman yang tidak bisa diangap sepele, selain mengancam perdamaian dunia, nuklir juga dapat mengancam kehidupan, tidak hanya manusia, tapi, juga biodiversitas bahkan kita tidak tahu alam juga bisa tensi ketika nuklir itu diledakan, karena nuklir dewasa ini memiliki daya rusak yang luas dan mematikan. Tensi di Semenanjung Korea tidak lepas dari faktor historis seperti ideologi, security dilemma, dan saling curiga, aliansi militer serta struktur internasional yang anarki, hal ini dapat dipahami oleh Indonesia, bahwa dunia sedang mengalami perang urat syaraf dengan kendaraan modernitas semenjak blok timur dan barat hadir, agar tidak mencapai agenda titik klimaksnya, maka Indonesia tidak akan tinggal diam, Indonesia harus mempertimbangkan nasib warganya yang tinggal di semenanjung korea berjumlah 73 ribu orang bekerja disana, menyelamatkan seluruh manusia, biodiversitas dan masa depan perdamaian dunia, untuk menuju kesimpulan tersebut Indonesia perlu kolaborasi internasional bersifat semesta.
ADVERTISEMENT
Sejarah
Ketegangan Korea Utara dan Korea Selatan sampai detik ini menjadi isu yang belum berkesudahan. Ketegangan ini tidak terlepas unsur historisitas. Hal ini bermula ketika blok barat dengan ideologi liberalisme dipegang oleh Amerika Serikat dan blok timur dikuasai Uni Soviet berhaluan komunisme menyebarkan pengaruh dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi ideologi dari negara-negara dunia, kemudian dengan dua ideologi tersebut menjadi cikal bakal kerumitan bagi Semenanjung Korea, Korea Selatan mengadopsi paham blok barat sedangkan Korea Utara takluk oleh blok timur. Sehingga hal ini juga memicu Perang Saudara atau Perang Korea, terjadi pada 25 juni 1950 hingga 27 juli 1953, perang ini belum ada perjanjian damai, tapi, berakhir dengan gencatan senjata hingga detik ini. Maka dapat dipahami, ketegangan ini masih turunan dari perang dingin atau perang urat syaraf yang terjadi dari 12 Maret 1947 dan berakhir pada 26 Desember 1991, meskipun perang urat syaraf sudah berakhir dimenangkan oleh ideologi liberalisme, tapi, warisannya masih hidup sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Dinamika begitu rumit juga senada seperti Jepang dan China, maka stabilitas kawasan Asia Timur ditentukan oleh empat negara ini, serta disokong oleh negara besar diluar kawasan seperti Amerika Serikat dan Rusia. Semenanjung Korea ini menjadi sorotan dunia internasional karena nuklir menjadi ancaman eksistensialis. Ancaman eksistensialis itu dapat dilihat dari perlombaan senjata nuklir yang disebabkan oleh saling curiga dan takut sehingga menimbulkan security dilemma. Adanya amity (persahabatan) dan enmity (permusuhan). Keadaan dilematis ini ditandai dengan adanya aliansi militer menggunakan cara pandang premanisme dan peningkatan anggaran militer negara-negara serta anarkisme kawasan, pada akhirnya menciptakan kompleksitas keamanan karena kedaulatan menjadi sakral semenjak kita mengenal kepemilikan wilayah, sakralitas yang menjadi pegangan semua negara dapat bermetamorfosis menjadi dikatator agar kedaulatannya dapat dilanggengkan seperti kasus Korea Utara dengan program nuklir ambisiusnya pasca gencatan senjata dengan korsel kemudian bekerja sama dengan Russia dan China yang dilatarbelakangi oleh motivasi penyeimbangan kekuasaan Amerika Serikat sebagai mitra Korea Selatan. Selain itu hadir Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) untuk mengimbangi kemajuan rudal Korea Utara, Kerjasama militer dan joint exercise antara Amerika Serikat dan Korea Selatan menimbulkan tensi yang tinggi di Zona Delimiterisasi Korea dan garis Demarkarsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Program Ambisius Nuklir Korea Utara
Program nuklir Korea Utara perdana pada tahun 1956 melakukan perjanjian dengan Uni Soviet dalam kerjasama penggunaan damai energi nuklir. Dalam perjanjian ini, Korea Utara tertarik mengirim para ilmuwan dan teknisi ke Uni Soviet untuk mendapatkan pelatihan dalam agenda Moscow yang berorientasi untuk melatih para ilmuwan dari negara komunis lain.
Di abad-21 ini, Korea Utara sudah memiliki sekitar 50 hulu ledak nuklir hal ini menandakan ada gerilya ide nuklir di masa lalu, yang mungkin dapat diluncurkan dari rudal. Negara itu telah melakukan enam uji coba nuklir semenjak tahun 2006 dan 2017.
Pada tahun 2021, Kim Jong-un mengumumkan beberapa tujuan strategis utama untuk program senjata nuklir Korea Utara, yang diusulkan sebagai rencana lima tahun. Menurut pernyataan Kim, tujuan-tujuan ini termasuk: 1) memproduksi “hulu ledak nuklir berukuran super hulu ledak nuklir berukuran super, 2) memproduksi senjata nuklir yang lebih kecil dan lebih ringan untuk penggunaan taktis, 3) meningkatkan kemampuan serangan dan jangkauan yang presisi, 4) memperkenalkan “hulu ledak penerbangan meluncur hipersonik,” 5) mengembangkan “roket balistik antarbenua, bawah air, dan darat yang digerakkan oleh mesin bahan bakar padat,” dan 6) memperkenalkan “kapal selam bertenaga nuklir dan peluncuran bawah air senjata strategis nuklir” (KCNA 2021). Korea Utara tampaknya telah membuat kemajuan yang signifikan dalam hal ini, tujuan ini, dan sejak itu memperkenalkan lebih banyak tuntutan termasuk peningkatan dramatis produksi rudal dan “mesin senjata strategis yang canggih” (Kim 2023).
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2023 Badan legislatif Korea Utara menjadikan status senjata nuklir negara itu ke dalam undang-undang (KCNA 2023) “Kebijakan pembangunan kekuatan nuklir The Democratic People's Republic of Korea (DPRK) dijadikan sebagai hukum dasar permanen negara, yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun,” kata Pemimpin Tertinggi Kim Jong Un dalam pertemuan Majelis Rakyat Negara yang diadakan Selasa dan Rabu (26-27/9/2023), dikutip dari kantor berita AFP.
Kunjungan Putin ke Pyongyang
Pada tahun 2024 kita dikabarkan Putin berkunjung ke Pyongyang dan menandatangani pakta perjanjian aliansi militer dengan Kim, seperti bunyi perjanjian yang dilansir dari Korean Central News Agency (KCNA) In case any one of the two sides is put in a state of war by an armed invasion from an individual state or several states, the other side shall provide military and other assistance with all means in its possession without delay in accordance with Article 51 of the UN Charter and the laws of the DPRK and the Russian Federation. Dengan artian jika salah satu diserang maka wajib menolong dengan bantuan militer, setalah pakta perjanjian itu menggema terjadi respons dari dunia internasional yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan memberikan pandangan sebagai berikut Matthew Miller, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, mengatakan penyediaan senjata Rusia kepada Pyongyang “ tentu saja akan mengganggu stabilitas semenanjung Korea, dan berpotensi … tergantung pada jenis senjata yang mereka sediakan … melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang didukung oleh Rusia sendiri ”. wakil menteri luar negeri Korea Selatan, Kim Hong-kyun, memanggil Dubes Rusia Georgy Zinoviev. Dengan mengutuk perjanjian tersebut dan meminta Rusia untuk segera menghentikan kerja sama militer dengan Korea Utara, dan kemudian sekretaris kabinet Jepang Yoshimasa Hayashi juga menentang dengan perkataan “sangat khawatir bahwa Presiden Rusia Putin tidak mengesampingkan kerja sama teknologi militer dengan Korea Utara ” dengan mempertimbangkan “lingkungan keamanan di sekitar negara dan kawasan kita”. hal ini menandakan dinamika dunia semakin menampakan kerumitannya di masa depan, karena diperkuat oleh dukungan Moskow sebagai sahabat lama dan salah satu negara yang hampir mampu mengimbangi kuantitas dan kualitas senjata nuklir negara Paman Sam.
ADVERTISEMENT
Hadirnya Terminal High Altitude Area Defense (THAAD)
Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) sistem pertahanan rudal yang dikembangkan Amerika Serikat, Hal ini juga dapat dipandang sebuah organisasi di yang diusulkan pada tahun 1987 dan mulai di operasikan di tahun 2008 sampai hari ini, dengan ide merespons program ambisius korea utara yang semakin hari tidak terkendali. terutama di Guam dan Korea Selatan, dalam ikhtiar melawan potensi serangan rudal dari Korea Utara dan musuh lainnya. agenda yang dilakukan seperti peningkatan teknologi, rudal balistik, Latihan tempur bersama. Sehingga hal ini dapat memicu ketegangan, bahkan strategi penempatan THAAD di pangkalan militer di daerah Seongju, Dimana Amerika Serikat notabanenya adalah North Atlantic Treaty Organization (NATO), tentunya mendapatkan interpretasi yang berbeda dari korea utara terkait keamanan negaranya, hal ini juga menjadi konsekuensi logis bagi korea utara untuk terus berkompetisi meningkatkan kualitas dan kuantitas rudal dan nuklirnya.
ADVERTISEMENT
Perbandingan Jumlah Nuklir Dunia 2023 dan 2024
Robbi Herfandi tabel 1. Sumber: International Peace Research Institute annual report
Dapat kita lihat jumlah nuklir di tahun 2023 sebagai berikut; Amerika Serikat = 3,708. Rusia = 4,489. China = 410. France = 290. India = 164. Korea Utara = 30. UK = 225. Pakistan = 170. dan Israel berjumlah 90.
Robbi Herfandi tabel 2. Sumber: Arms Control Association
Tahun 2024 ini, Arms Control Association Merilis sebaran nuklir dunia sudah mencapai 12. 825 hulu ledak nuklir, hampir 90% dikuasai oleh Amerika dan Rusia, dengan rincian sebagai berikut; Amerika Serikat = 5,748. Rusia = 5,580. China = 500. France = 290. India = 172. Korea Utara = 50. UK = 225. Pakistan = 170. dan Israel berjumlah tetap 90.
Data diatas dapat dipahami peningkatan jumlah nuklir dari tahun 2023 dan 2024 bisa dikatakan terbilang tinggi, hal ini menjadi salah satu pemicu program nuklir ambisius Korea Utara terus meningkat dari 30 menjadi 50 ditahun 2024 dan mendapat sokongan dari Rusia, karena menilik program peningkatan nuklir negara lain juga massive seperti Amerika Serikat dari 3,708 di tahun 2023 menyundul angka 5.748 di tahun 2024 dan sokongan negara tersebut terhadap Korea Selatan di semenanjung juga menjadi perhatian serius, serta PBB dan negara barat lainya telah mendatangkan banyak sanksi seperti menggunakan unilateral untuk menekan negara-negara lainya agar tidak berbisnis dengan Korea Utara, dan banyak lagi seperti pembekuan aset, meskipun korea utara sudah pernah mentandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) pada 12 juli 1985, namun, pada tahun 2003 korut undur diri akibat ketegangan dengan Amerika di kawasan bahkan negosiasi tentang denuklirisasi dengan negara-negara dunia seperti Amerika Serikat juga terus ada kebuntuan, menurut penulis hal ini memicu preseden bagi korea utara untuk terus meningkatkan pertahanannya, memodernisasi dan tidak mau melakukan denuklirisasi hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Maka dapat dipahami, ketegangan ini telah memenuhi asumsi bahwa peningkatan nuklir sebagai bentuk security dilemma korea utara akan keamanan nasional negaranya, karena ingin melanggengkan keadaulatannya agar tetap aman, terhindar dari ancaman dengan mempertimbangkan dan mempertahankan eksistensinya di kawasan dan dunia, budaya selfish, kompetitif memang telah membudaya di semenanjung korea dan dunia karena ada rasa saling curiga, adanya aliansi, hal ini terjadi karena faktor insecure, semakin insecure suatu negara, maka, semakin itu pula peningkatan anggaran pertahanan dan nuklinya secara agresif serta membuat aliansi. Sehingga kita menjadi realistis dan akan menuju kesimpulan perang nuklir itu bisa saja terjadi kapanpun.
Strategi Indonesia
Indonesia terkenal dengan negara cinta damai tanpa memihak salah satu kubu hal ini ditandai dengan gerilya geopolitik Indonesia di pencaturan global yang menganut paham bebas dan aktif, maka dari pada itu indonesia memberikan solusi dan penawar. Indonesia sebagai non-nuklir dan salah satu negara yang mendukung non-proliferasi nuklir, perlu memberikan pendekatan sebagai berikut:1. Diplomasi dan Dialog di dalam forum internasional seperti PBB dan ASEAN untuk mendorong agar terlibat dalam upaya mendukung denuklirisasi di Semenanjung Korea dan dunia. Serta mendorong seluruh negara untuk berkomitmen secara penuh terhadap perjanjian NPT. 2. Mendukung sanksi unilateral secara penuh dari PBB dan negara barat kepada Korea Utara. 3. Mengajak Kembali Amerika dan Rusia bahkan China untuk berunding di Six-Party Talks, dan 4. Mempersiapakan langkah diplomatik dengan kedua belah pihak yang berkonflik agar melindungi WNI dan WNA dan semua non-kombatan dan juga seharusnya memberikan informasi kemanan ketika eskalasi konflik itu terjadi. 5. Track Two Diplomacy melibatkan aktor nonpemerintah dan kalangan profesional baik itu peneliti dan akademisi.
ADVERTISEMENT
Banyak hal yang dapat dilakukan, tapi, penulis memberikan usulan lagi agar kolaborasi ini menjadi gerakan semesta yaitu melibatkan Masyarakat Sipil secara kolektif dalam upaya menyuarakan denuklirisasi dan anti-perang baik itu secara visibilitas seperti kampanye, publikasi media cetak, menggunakan tagar seperti #Denukliriasasi #Humanity dan #Peace untuk menonjolkan gerakan Masyarakat Indonesia bahwa Indonesia bersungguh-sungguh dalam isu krusial ini, supaya dapat mendorong percikan api semangat kolektivisme Masyarakat Sipil negara-negara lain untuk melakukan upaya yang sama, kita bisa memanfaatkan kendaraan modernitas dengan menggunakan media sosial sebaik mungkin dalam aksi-aksi perjuangan dan sokongan dari pemerintah dengan tujuan menjadikan algoritma sebagai tools membuat pernyataan sikap bahwa Masyarakat Sipil menyokong penuh denuklirisasi, kemanusiaan, dan perdamaian, dengan secara massive terkait nuklir yang dapat mengancam kehidupan orang banyak, selain itu juga dapat menyadarkan Masyarakat lain dari kesadaran tertunda, bahwa isu ini tidak hanya menjadi tanggung jawab negara, institusi regional dan internasional saja melainkan isu ini juga tanggung jawab Masyarakat Sipil yang telah bergerak secara kolektive sedari awal dengan upaya menyuarakan dunia lebih inklusif, solidaritas dan terlibat, meskipun belum massive, setidaknya dengan sokongan negara dapat membuat gerakan di media sosial menjadi besar dan lebih besar lagi baik itu lokal, nasional, regional, maupun global, bisa di kontekstualisasikan dengan kata-kata “Think Globally, Act Locally” karena perlu keterlibatan untuk menciptakan ide-ide Global Governance lebih hidup serta bermakna atas rasa cinta kemanusiaan, menjaga biodiversitas dan dunia damai, meskipun ide ini terkesan utopis, tapi, setidaknya kita berusaha bekerja sama, dan terlibat untuk dunia lebih baik.
ADVERTISEMENT