Dari Pecel hingga Demokrasi

Robit Nurul Jamil
Akademisi Universitas Jember
Konten dari Pengguna
15 Februari 2024 11:01 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Fauzan Dwi Anangga
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Fauzan Dwi Anangga
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada tanggal 13 Februari kemarin, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Rencana ini tidak terlepas dari momentum penting, yakni pemilihan umum 2024 yang jatuh pada tanggal 14 Februari. Dua minggu terakhir ini, hiruk pikuk isu-isu politik begitu memanas mewarnai media, menciptakan ketegangan yang melingkupi kita semua. Alhasil kita sudah melewati hal itu dan melihat hasil sementara lewat Quick count.
ADVERTISEMENT
Pada pagi hari tanggal 15 Februari, tepatnya jam 04.30, saya memutuskan untuk kembali ke tempat kerja di Jember. Ketika selesai melintasi jalur Gumitir (06.00), tak sengaja saya melihat seorang bapak membuka warungnya yang berjualan di dekat Stasiun Garahan. Lokasi itu terkenal sebagai tempat jualan nasi pecel Garahan yang legendaris di kalangan penduduk setempat. Nasi pecel juga menjadi lambang keragaman yang memperkaya ragam budaya di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Ir. Murdijati Gardjito, asal-usul istilah "pecel" berasal dari bahasa Jawa yang bermakna "diperas setelah direbus". Setiap kali menyebutkan hidangan ini, ingatan kita langsung teringat akan Madiun atau Blitar di Jawa Timur. Prof. Murdijati Gardjito menjelaskan bahwa hidangan ini telah menghiasi hidup masyarakat Indonesia selama berabad-abad, khususnya di kalangan orang Jawa. Bahkan dalam Serat Centhini, yang ditulis pada tahun 1800 M, sudah ada catatan tentang hidangan ini – segala jenis sayuran segar yang ditemani oleh siraman saus kacang yang menggugah selera.
dokumentasi pribadi
Nasi pecel ini menjadi ikon karena dulu sangat diminati oleh penumpang kereta api lokal yang melintasi rute Banyuwangi-Jember. Dulu ketika saya masih sekolah di MAN 2 Jember, selalu menyempatkan menikmati nasi pecel Garahan setiap kali pulang ke Banyuwangi, karena dulu keseringan naik kereta api. Ketika kereta berhenti di stasiun garahan para penjual nasi pecel berbondong-bondong berjualan masuk ke jalur kereta api, dulu masih belum ada larangan berjualan di dalam kereta api. Sekarang kalau ingin menikmati nasi pecel ini hanya bisa lewat jalur kendaraan.
ADVERTISEMENT
Nostalgia itu membuat saya tergugah untuk menikmati nasi pecel Garahan. Singkatnya setelah menikmati nasi pecel itu, saya menyadari bahwa bentuknya telah sedikit berubah dari yang dulu saya nikmati. Dulu, nasi pecel ini dibungkus menggunakan daun pisang atau “dipincuk” dalam bahasa jawa, namun kini menggunakan kertas mika. Rasanya masih sama seperti yang saya ingat empat belas tahun yang lalu. Tak heran sekarang cabangnya di mana-mana, bahkan era 2015-san namanya sudah menjadi brand lokal di kalangan masyarakat besuki. Betapa legendarisnya nasi pecel ini, yang tampaknya tetap bertahan cita rasanya meskipun zaman telah berubah. Hal ini membuat saya menyadari bahwa cita rasa pada tradisi kuliner yang autentik dapat mempertahankan kenikmatannya dari waktu ke waktu. Di tengah laju zaman yang terus berubah, nasi pecel Garahan tetap menjadi penjaga tradisi yang tak tergoyahkan, dan bagi para pecinta kuliner, sensasi tersebut akan selalu ditemukan dalam setiap lawatanya.
ADVERTISEMENT
Sejenak, saya terperangkap dalam gairah pikiran yang imajenatif, merangkai kisah tentang esensi demokrasi. Tiba-tiba, dalam lamunan itu, Autentisitas pikiran yang menyatu dengan warisan historis, seolah meminta merenung lebih dalam tentang perjalanan demokrasi kita. Seakan ada benang merah yang mengikatnya, ditengah kondisi demokrasi, seperti duri yang merusak kesejukan bernegara, kini semakin rapuh di tangan-tangan yang seharusnya menjaganya. Terperangkap dalam belenggu kepentingan politik yang gelap, suara-suara kebenaran terasa semakin redup, tenggelam dalam lautan ambiguitas. Namun, di tengah refleksi itu, saya yakin bahwa esensi nilai demokrasi tetap abadi, tidak tergoyahkan oleh riuhnya gelombang politik yang menghantam. Nilai itu tetap utuh selama kita menjaga ke-autentikanya. Selama kita tetap memahami dan menjaganya dengan baik, demokrasi kita akan baik baik saja. Meminjam istilah filsuf prancis "Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) tentang demokrasi, Rousseau membayangkan masa depan setiap warga negara memiliki suara yang sama dalam mengatur takdir bangsanya. Dia sebut "Demokrasi sejati, adalah di mana semua warga negara memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan keputusan politik."
ADVERTISEMENT
Dalam langkah-langkah menuju arah demokrasi yang lebih terbuka dan transparan, kita dipanggil untuk mengingatkan diri akan visi yang diungkapkan oleh filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseau. Namun, perjalanan menuju ke arah itu tidaklah mudah. Masih ada tantangan-tantangan yang perlu kita hadapi di masa depan. Salah satu tantangan utama adalah menjaga marwah demokrasi Indonesia. Dalam perjalanan ini, kita harus mengakui betapa pentingnya merayakan keberagaman dan memelihara nilai-nilai autentik demokrasi itu. Dari kelezatan nasi pecel Garahan yang klasik hingga refleksi tentang esensi demokrasi, saya menyadari bahwa keaslian adalah pilar yang tak tergoyahkan dalam menjaga keutuhan kita. Mari kita jaga nilai-nilai autentik demokrasi, baik dalam berbangsa maupun dalam tatanan politik. Dengan memelihara esensi keotentikannya, kita dapat memastikan bahwa demokrasi kita tetap berarti dan bermakna bagi setiap warga negara.
ADVERTISEMENT