Konten dari Pengguna

Di Balik Tirai Politik

Robit Nurul Jamil
Akademisi Universitas Jember
11 Februari 2024 14:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ada banyak sisi positif dan negatif terkait perkembangan teknologi khususnya cara bermedia sosial. Beberapa berpendapat bahwa kemajuan bangsa ditentukan oleh perkembangan teknologi, dan saya sependapat dengan pandangan tersebut, apalagi soal media sosial, kita berharap seluruh indonesia memiliki akses jaringan internet yang berkualitas. Bagi bangsa yang ingin maju, itu menjadi suatu keharusan. Dalam konteks ini isu-isu politik dapat dijangkau lebih luas bahkan secara tidak langsung diakses lebih banyak masyarakat. Tepat pada tanggal 14 Februari besok, kita akan menghadapi kontestasi pemilu yang sangat kompetitif. Algoritma media sosial penuh dengan hiruk pikuk isu-isu politik. Media berita nasional bahkan internasional terkait erat dengan fenomena tersebut, dan semua ini tak lepas dari model-materialisme internet yang dapat kita sebut sebagai "Pendulangan Adsense". Bahkan, kita kesulitan membedakan antara media kredibel independen dan media “Suntikan”. Algoritma tersebut tidak mengenal batasan usia, dan targetnya telah berubah.
Desain AI Bing Image Creator
zoom-in-whitePerbesar
Desain AI Bing Image Creator
Dulu, ketika orang mengenal Facebook, itu adalah tempat berkumpulnya generasi Z. Sedangkan Instagram, dikenal sebagai platform bagi golongan orang muda yang membutuhkan personal branding. Begitu pula dengan TikTok, yang awalnya viral di kalangan generasi Alpha. Seiring perkembangan gadget, desainnya ditujukan untuk semua kalangan. Bahkan, kehebatan algoritmanya bisa membaca kebutuhan pengguna, sehingga tidak heran jika tampilan tiktok saya berbeda dengan generasi Z atau generasi Alpha. Hal ini tentu mendapati sisi positif dan negatif, perubahan drastis dalam media sosial. Lahirnya jenis usaha baru perkembangan e-bisnis kemudian model-model ekonomi digital yang semakin pesat, itu salah satu manfaat positif dari perkembangan tersebut. Namun, seiring dengan kebutuhan zaman, moral dan etika tampaknya menjadi sesuatu yang abu-abu atau bahkan acuh pada era ini. tentu kita mempertanyakan hal ini, kalau kita boleh feedback ke belakang.
ADVERTISEMENT
Pada masa pandemi COVID-19, terjadi perubahan dalam perilaku sosial. Contoh saja Interaksi antara mahasiswa dan dosen atau siswa dengan guru menjadi terbatas, “sungkem” dalam istilah jawa, rasa ketakutan sosial muncul, disisi lain menjaga kesehatan tubuh dan kecurigaan terhadap wabah disisi lain ada budaya yang ter-enkulturasi. Singkatnya ketika covid selesai “sungkem’ tadi menjadi hal yang kaku. Jangan salah persepsi, kebutuhan teknologi meningkat pasca pandemi covid, Prof. Sri Adiningsih, M.Sc., Ph.D., seorang Guru Besar di Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, memberikan kuliah bertajuk "The Influence of Covid-19 on Digital Economy: A Case Study in Indonesia" pada hari Selasa (27/07). Beliau berpendapat selama masa pandemi Covid-19 berlangsung, ruang maya menjadi jauh lebih ramai dan sibuk daripada sebelumnya. Fenomena ini terjadi karena semakin banyak individu yang beralih menggunakan perangkat gadget dan komputer sebagai penghubung untuk menggantikan berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan secara langsung. Perkembangan media sosial juga berkontribusi pada ketidakjelasan etika dan moral, terutama dengan hadirnya platform digital yang sangat liberal. User berkomentar kotor, negatif bahkan mencaci menjadi hal yang biasa.
ADVERTISEMENT
Ketika proses kampanye atau periode kontestasi Pemilu berlangsung, media sosial dipenuhi dengan berbagai wacana isu politik. Tantangannya muncul ketika sulit membedakan wacana yang bersifat idealis kebangsaan dengan yang cenderung provokatif atau bahkan merusak persatuan dan kesatuan. Semakin aneh, akun bodong atau buzzer tumbuh subur, sebenarnya fenomena ini juga terjadi pada tahun 2019 silam, yang menyebabkan resistensi dan ketegangan Pemilu pada saat itu. Harapannya adalah agar tahun 2024 tidak mengulangi peristiwa tersebut, tetapi nyatanya situasinya malah semakin memburuk. Fitnah sosial, spekulasi media, bahkan kalimat-kalimat tak pantas memenuhi media sosial. Keadaan ini berpotensi menurunkan moral atau bahkan merusak integritas etika. Jadi wajar ketika terjadi pelanggaran etika atau perilaku amoral penyelenggara negara dianggap lumrah atau bahkan dipertimbangkan dengan rasionalitas yang tidak masuk akal. Fenomena "kaum mendang-mending" misalnya. ini menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan untuk masa depan bangsa. Bayangkan jika pelanggaran etik dianggap hal yang biasa, regulasi dapat disunat kapan pun, aturan bisa dimainkan kapan pun, dan bahkan melemahkan konstitusi. Betapa sia-sianya nilai perjuangan reformasi yang pernah membara di bumi pertiwi kita. Meminjam istilah viral “rugi dong” Revolusi Mental yang selama ini dibangun presiden jokowi.
ADVERTISEMENT
KAMPUS BERSUARA
Kembali pada isu politik, beberapa kampus menyuarakan kekhawatiran terkait proses demokrasi yang dianggap tercederai. Bahkan, fakta empiris dan hukum menunjukkan bahwa ada pelanggaran etika. Meski demikian, respons terhadap isu ini terlihat kurang peduli atau bahkan acuh. Media sosial memperumit pemahaman, dengan kehadiran akun bodong atau buzzer yang sulit terdeteksi. Menjadikan hal-hal yang semacam itu menjadi hal yang “wajar”.
Dalam suasana ini, penting untuk merenung tentang substansi dari isu-isu tersebut dan mempertajam pemahaman kita terhadap kompleksitas perkembangan teknologi dan dampaknya terhadap nilai-nilai etika dan moral dalam masyarakat. Jangan sampai proses pemilu 5 tahunan menghilangkan atau mengaburkan etika politik hal ini akan menjadi kerugian besar bagi generasi mendatang.
Mari kita bersama-sama merenung dalam suasana politik saat ini. Terkadang, upaya kita untuk memurnikan nilai-nilai demokrasi dianggap sebagai tindakan politis yang dapat mempengaruhi s salah satu pasangan calon. Namun, secara substansial, mari kita kembali kepada moral dan etika yang sebenarnya. Saya rasa semua bisa diakses dan dipelajari, apakah tuntutan tersebut bertentangan dengan konsep demokrasi atau malah cenderung provokatif. Mari kita membaca, menilai, bukan berasumsi, dan menghindari fitnah sosial secara masif.
ADVERTISEMENT
Penting untuk diingat bahwa pernyataan sikap, kampus-kampus atau bahkan guru besar perlu kita refleksikan kembali. Bukan memfasilitasi fenomena miring media sosial bahkan meragukan guru-guru besar kampus. Fenomena ini cenderung mengaktifkan kembali revolusi mental mendatang. Kehadiran buzzer dan akun-akun “suntikan” seharusnya tidak diharapkan untuk muncul lagi di masa depan. Hal ini bertujuan agar perspektif masyarakat dan asumsi mereka terhadap isu politik menjadi lebih sehat.
Ke-depan, kita dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan pemilih pemilu yang lebih rasional. Rasionalitas pemilih yang akademis dan netizen yang kritis, sehingga moralitas dan etika demokrasi kedepan tidak hanya dibebankan kepada negara dan lembaganya saja, melainkan seluruh masyarakat, dan seberapa jauh masyarakat netizen dapat bergerak dan sejauh mana mereka dapat memoderasi integritas berbangsa untuk menciptakan keadilan. Mari bersama-sama menjaga rasionalitas dan menghindari asumsi yang tidak berdasar untuk mewujudkan perubahan positif dalam suasana politik dan demokrasi di negara kita.
ADVERTISEMENT