Konten dari Pengguna

Pelajaran "Imajinasi" : Dari Drs. Andang Subaharianto, M.Hum

Robit Nurul Jamil
Akademisi Universitas Jember
22 Desember 2024 14:25 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Robit Nurul Jamil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Angin sore yang segar di Kalibaru mengiringi langkah ketiga saya memasuki Hotel Kalibaru Cottage, tempat yang telah disiapkan untuk menyelenggarakan workshop orientasi dosen muda. Dalam rentang dua hari, 16 hingga 17 Desember 2024, kami berkumpul untuk menyelami pembelajaran tentang pengembangan kepemimpinan dan produktivitas dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Di sinilah, saya menemukan momen-mome n reflektif yang memperluas wawasan, menyemai inspirasi, dan menghidupkan semangat baru sebagai seorang pendidik.
ADVERTISEMENT
Keindahan alam sekitar Kalibaru mengingatkan saya pada konsep "resonansi" dalam ilmu fisika dimana sebuah objek bergetar seiring dengan frekuensi yang tepat. Sebagaimana kita, sebagai dosen, harus menemukan frekuensi yang tepat untuk membangkitkan potensi terbaik dari mahasiswa, tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi dengan empati dan pendekatan yang melibatkan seluruh dimensi mereka. Jika kepemimpinan kami resonan dengan kebutuhan mahasiswa dan tantangan zaman, maka Tridharma Perguruan Tinggi sebagai fondasi dari sistem pendidikan kita akan mampu beradaptasi dan berkembang, menjadi lebih produktif dan relevan.
dokumentasi Pribadi 2024/r.n.j
zoom-in-whitePerbesar
dokumentasi Pribadi 2024/r.n.j
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa dunia pendidikan hari ini membutuhkan lebih dari sekadar teori. Dalam konteks ini, workshop ini bukan sekadar memberi ilmu, tetapi membangkitkan sebuah kesadaran bahwa produktivitas tidak hanya dilihat dari jumlah output akademik yang kita hasilkan, tetapi juga dari kualitas dampak sosial yang kita berikan. Pembelajaran, yang selama ini dikenal sebagai pilar utama pendidikan tinggi, harus senantiasa dilihat dalam konteks yang lebih luas, sebagai pendorong perubahan sosial yang mendalam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Paulo Freire dalam karyanya, Pedagogy of the Oppressed, pendidikan haruslah menjadi alat pembebasan yang memungkinkan perubahan sosial, bukan sekadar alat reproduksi pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Sore itu, suasana riuh dengan diskusi hangat mengawali sesi pertama bersama Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Jember. Sebelum di mulai, moderator memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk berkenalan, suasana semakin semarak. Mereka dengan bangga mengulas perjalanan pembinaan prestasi mahasiswa di fakultas masing-masing, menunjukkan betapa banyak mahasiswa yang telah mengukir prestasi, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Saya terperangah, terinspirasi, dan terkesima dengan beragam pencapaian mahasiswa Universitas Jember yang dipaparkan oleh para peserta workshop.
Keberhasilan yang tercermin di setiap fakultas begitu mencengangkan dan membanggakan, seolah membuktikan bahwa Universitas Jember telah menorehkan jejak emas dalam dunia pendidikan tinggi. Para mahasiswa yang menorehkan prestasi luar biasa ini bukan hanya berhasil menorehkan nama mereka di tingkat lokal, tetapi juga mengharumkan nama universitas di level internasional.
ADVERTISEMENT
Materi Dr. Fendi Setyawan, S.H., M.H menitikberatkan pada peran dosen muda dalam pembinaan organisasi kemahasiswaan dan pencapaian prestasi mahasiswa, segera mencuri perhatian saya. Diskusi yang mengalir begitu lancar dan penuh antusias itu membahas dengan seksama skema pemberdayaan prestasi mahasiswa bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam kompetisi, kegiatan sosial, hingga pencapaian internasional yang luar biasa.
Namun, di tengah pujian itu, saya tak bisa mengabaikan sebuah celah yang menurut saya perlu disempurnakan dalam sistem yang sudah ada. Saya mengusulkan ide ketika moderator memberikan saya kesempatan berkenalan dan mengulas tentang pembinaan mahasiswa. Sistem administrasi mahasiswa yang disebut “Aplikasi Sister for Student,” yang sejauh ini hanya digunakan untuk keperluan akademik, seharusnya mampu menjadi lebih dari sekadar alat administrasi. Diperluas dengan menambahkan fitur baru yang saya misalkan namanya “e-Prestasi”. Jadi Sister for Student tidak hanya menjadi platform terintegrasi yang hanya mencatatkan data kehadiran kuliah atau nilai akademik, tetapi juga mengakomodasi pencapaian non-akademik mahasiswa, seperti lomba, penghargaan, atau kegiatan ekstra kurikuler yang dapat membantu mahasiswa mengakses potensi mereka secara lebih komprehensif, dan list kompetisi yang sedang berlangsung. Karena sistemnya akan di-update setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, sebuah sistem yang memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk mengakses informasi prestasi dengan mudah, mengakses segala macam kompetisi dan penghargaan serta pencapaian yang sudah di dapat, baik di tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Sistem ini akan memberikan mahasiswa akses yang lebih terbuka terhadap peluang yang ada, sekaligus menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan motivasi dan partisipasi mereka dalam kegiatan-kegiatan prestisius. Konsep ini tidak hanya menambah fungsi teknis, tetapi juga berpotensi menjadi strategi penting bagi universitas dalam mengukir reputasi di dunia pendidikan global.
Imajinasi dan Kepemimpinan
Jam menunjukkan pukul 19.00 ketika sesi kedua dimulai, menghadirkan suasana malam yang penuh refleksi. Di hadapan kami Bapak Drs. Andang Subaharianto, M.Hum, beliau mantan rektor saya ketika dulu mengabdi di kampus swata Universitas 17 Agustus Banyuwangi. Beliau tidak hanya berbicara tentang kepemimpinan, tetapi juga menyelami esensi dari nilai-nilai Pancasila dalam konteks produktivitas dosen muda. Pembahasannya membawa kami menembus batas waktu, menyoroti peran penting imajinasi dalam kepemimpinan untuk menggerakkan perubahan.
ADVERTISEMENT
Beliau mengawali slide Powerpoint-nya dengan gagasan Benedict Anderson dalam The Imagined Communities, yang menjelaskan bahwa bangsa Indonesia adalah hasil dari Imajinasi. Namun, beliau memberi sudut pandang yang lebih spesifik, seorang pemimpin harus memiliki imajinasi yang kuat untuk menciptakan visi yang mampu menggerakkan orang lain. Kepemimpinan, dalam pandangannya, adalah seni merajut imajinasi kolektif tersebut menjadi arah nyata bagi sebuah tujuan. Dari situ, beliau menganalisis kembali bagaimana perjuangan generasi terdahulu, mulai dari Budi Utomo hingga Sumpah Pemuda, merupakan bagian yang lahir dari visi yang dirajut oleh imajinasi kolektif untuk merdeka. Imajinasi ini adalah kekuatan yang membentuk identitas bangsa.
Seketika terbersit dalam pikiran saya “Tanpa imajinasi, seorang pemimpin hanyalah pengelola rutinitas”. Imajinasi yang dimaksud bukan sekadar mimpi kosong, melainkan kemampuan untuk melihat potensi di balik kenyataan, mengidentifikasi peluang dalam tantangan, dan memobilisasi orang-orang untuk bersama-sama mencapai tujuan besar. Sejarah bangsa ini membuktikan bahwa imajinasi pemimpinlah yang melahirkan pergerakan besar, yang kita kenal Sejarah Pergerakan 1928 Hingga 1945.
ADVERTISEMENT
Kita digiring agar memahami bahwa dalam pola kepemimpinan imajinasi ini menjadi kunci. Beliau menekankan bahwa dosen bukan hanya penyampai ilmu, tetapi juga pemimpin di kelas, kampus, dan masyarakat. Saya teringat dengan salah satu statement Kouzes & Posner "Leadership is the art of mobilizing others to want to struggle for shared aspirations." Menganggap kepemimpinan adalah seni, di situ saya melihat korelasinya, seni tertinggi adalah keberanian imajinasi. Seorang akademisi harus mampu memiliki imajinasi, untuk melihat masa depan yang lebih baik dan mendorong mahasiswa berkontribusi aktif dalam perubahan, poinnya itu yang saya catat dalam buku kecil catatan saya.
Beliau kemudian menghubungkan hal ini dengan tantangan bangsa dalam menyongsong bonus demografi 2024 dan visi Indonesia Emas 2045. Ada salah satu kutipan menarik dalam salah satu PPT beliau "Investasi material dan skill tanpa investasi mental hanya melanggengkan penjajahan," beliau kutip dari Bung Karno. Beliau menegaskan ini menjadi landasan bahwa revolusi mental adalah elemen krusial dalam membangun pemimpin masa depan. Tanpa mentalitas yang kokoh, transformasi revolusi hanya akan menjadi ilusi tanpa hasil nyata. Malam itu, saya merenungkan bahwa seorang pemimpin yang sukses bukan hanya seorang visioner, tetapi juga seorang penggerak. Imajinasi mereka harus mampu menyalakan semangat, mengarahkan tindakan, dan menjadikan mimpi kolektif sebagai kenyataan.
ADVERTISEMENT
Saya tertarik untuk bertanya kepada Bapak Andang, meskipun pada saat itu audiens sudah terlihat kelelahan, karena hampir jam 23.00, namun bagi saya diskusi semacam ini sangat seru dan menarik. Bahkan, suasana tersebut membawa saya pada sebuah nostalgia, mengingatkan saya pada masa-masa kuliah S1 dulu. Meski waktu sudah larut malam, rasa ingin tahu dan semangat untuk menggali lebih dalam tentang materi yang disampaikan semakin bergejolak di benak saya. Di tengah kelelahan itu, saya merasa ada semacam kebangkitan intelektual yang saya rindukan. Oleh karena itu, saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Bapak Andang. Kira kira singkatnya begini :
ADVERTISEMENT
Jawaban Pak Andang saat itu benar-benar mengejutkan dan menggugah saya. Beliau mulai bercerita tentang pengalamannya mengunjungi rumah seorang pelukis di banyuwangi pada saat itu beliau melihat dua lukisan yang berbeda. Salah satunya luar biasa seperti sebuah karya agung yang penuh makna dalam tiap warna dan goresannya. Namun lukisan yang satunya lagi, meskipun indah, tampak lebih sederhana.
Pak Andang menjelaskan dalam peristiwa itu, setelah pelukis menjadi lebih terkenal, semakin sibuk dengan berbagai kegiatan, lukisan-lukisan menjadi lebih sederhana. Itu adalah karya-karya yang sekarang, di fase usia saya yang lebih matang. Dari pengalaman itu kemudian beliau menyampaikan kepada audien sebuah pandangannya, beliau berpendapat: Lukisan yang luar biasa itu lukisan yang penuh kehidupan dan warna bukan hanya berasal dari keahlian teknis. Tapi lebih dari itu, itu adalah hasil dari imajinasi yang dipenuhi dengan nilai ketuhanan.
ADVERTISEMENT
Saat seorang pelukis menyatukan imajinasi dengan nilai-nilai spiritual dalam setiap goresannya, hasilnya menjadi sesuatu yang melebihi sekadar karya seni biasa. Lukisan yang begitu memukau lahir dari kedalaman jiwa yang tersentuh nilai Tuhan, “Sementara lukisan yang lebih sederhana itu, saya rasa, terlahir dari rutinitas hidup yang semakin membuat kita jauh dari inti kedalaman jiwa kita. Tanpa disadari, kita mulai melupakan elemen-elemen yang memberi kekuatan pada karya-karya besar itu—imajinasi yang diwarnai oleh nilai-nilai ketuhanan, dunia kita yang terus berkembang dengan teknologi canggih dan kecerdasan buatan yang semakin merajalela, tidak dapat mengalahkan kekuatan sejati dari imajinasi yang dilandasi oleh nilai ketuhanan. Ketika keduanya—imajinasi yang murni dan nilai-nilai spiritual—bersatu dalam diri kita, maka tak ada yang bisa menghentikan kreativitas dan karya kita. Karya-karya kita menemukan jiwanya dan cara seperti itulah yang tidak akan tergantikan oleh teknologi apapun yang datang di masa depan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pemikiran tentang imajinasi sebagai kunci dalam kepemimpinan semakin ditekankan. Sebagai akademisi, penting untuk memiliki visi dan kemampuan membangkitkan imajinasi kolektif untuk memimpin perubahan. Sebuah pergerakan besar lahir dari pemimpin yang memiliki imajinasi yang dapat menggerakkan SDM untuk bertindak. Tantangan dalam menghadapi era digital dan kecerdasan buatan yang dapat mengurangi proses berpikir kritis, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga orisinalitas dan integritas ide di dunia yang serba instan. Sebagai penutup, Imajinasi dalam setiap karya dan tindakan menjadi elemen krusial yang menghidupkan gagasan kita, menjadikannya tak tergantikan oleh teknologi apapun. Terima kasih telah memberikan wawasan mendalam dan inspiratif.
Sabtu 21 Desember 2024