Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Mewaspadai Politik Pragmatis dan Politik Ambisi Tanpa Esensi dalam Pileg
12 September 2023 10:19 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhammad fakhrur rodzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Perhelatan pesta demokrasi yang datang satu kali dalam waktu lima tahun, tinggal menghitung bulan saja. Di mana rumah besar rakyat yang bernama Dewan Perwakilan Rayat Republik Indonesia (DPR RI), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada tahun 2024 mendatang akan segera mencari penghuni yang baru.
ADVERTISEMENT
Alarm pemilu lewat pemilihan legislatif (pileg) ini tentu memberikan peringatan dan tanda-tanda bahwa masyarakat akan menghadapi tahun politik, juga akan memilih calon wakil mereka yang bisa merepresentasikan/mewakili kepentingannya, memperjuangkan hak-haknya, serta bisa memberikan kontribusi atas kemajuan pembangunan disebuah wilayah.
Begitupun dengan para politisi/bakal calon anggota legislatif, mereka sejauh ini telah mengikuti beberapa proses dan tahapan pemilu dan juga memulai mempersiapkan diri untuk menghadapi kontestasi pada pemilihan legislatif di Indonesia ini nantinya akan diselenggarakan pada bulan Februari 2024 mendatang.
Pada tulisan kali ini, saya akan mengupas terkait dengan fenomena politik yang akan terjadi pada pemilihan legislatif di Indonesia mendatang terkait dengan politik pragmatis, politik ambisi, dengan menghilangkan bahkan mengesampingkan esensi dari demokrasi dan pemilu.
ADVERTISEMENT
Politik Pragmatis dan Politik Ambisi Tanpa Esensi
Dalam hal pileg pada bulan Februari tahun 2024 ini akan dilangsungkan pemilu legislatif di Indonesia akan digelar juga akan diikuti oleh seluruh kontestan yang akan maju sebagai calon legislatif baik itu di perwakilan pusat maupun sampai dengan perwakilan di daerah.
Berdasarkan informasi di atas juga pada momentum tahun politik ini, penulis merasa isu terkait pileg ini di rasa menjadi isu seksi,panas serta sangat menarik untuk dibahas dan ditulis. Sebelum lebih jauh berbicara terkait dengan politik pragramatis yang akan terjadi pada pemilihan anggota legislatif diseluruh Indonesia mendatang, sedikit penulis akan menjelaskan terkait dengan politik pragmatis.
Pragmatisme dalam politik acap kali sering kita dengar dalam politik maupun pemilu. Politik pragmatis menurut Ulung Pribadi (2020) secara sederhana diartikan sebagai sebuah sikap politik dan sarana untuk mencapai keuntungan hanya sesaat dan mendapatkan keuntungan secara pribadi. Sikap ini hanya menghadirkan pemimpin atau politisi yang tidak berpihak kepada rakyat/pemimpin yang liberal bebas dengan kemauannya sendiri saja.
ADVERTISEMENT
Berkaca pada pileg tahun sebelumnya, politik pragmatis ini selalu saja menghampiri masyarakat Indonesia dan partai politik, serta sengaja diciptakan oleh politisi/calon anggota DPR RI, DPD, dan calon DPRD itu sendiri.
Penulis demikian mengatakan karena berdasarkan analisis, pengamatan serta realitas politik yang terjadi pada setiap pemilihan anggota legislatif. Misalnya partai politik sering kali pragmatis terhadap menjaring kader dan mencalonkan anggota legislatif dari partainya.
Contoh lain, parpol sering kali tidak merekrut atau mengkaderisasi figur/orang yang mempunyai kemampuan, kapasitas, kapabilitas, rekam rejak yang bagus pada calon di partainya—akan tetapi lebih memilih para pengusaha/pemodal yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berpolitik. Bahkan tidak paham akan makna serta esensi dari politik.
Artinya ini menandakan parpol di Indonesia lebih-lebih tidak menjalankan dengan maksimal bunyi pasal 29 dalam UU No 2 tahun 2011 terkait Parpol yang menyebutkan bahwa salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan rekrutmen kader pendidikan politik maupun sosialisasi politik yang baik dan benar kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tidak henti sampai di situ, pragmatis politik juga menghampiri masyarakat kita. Mereka sering kali pragmatis terhadap pemilihan anggota legislatif. Hal demikian pengalaman dan kejadian yang terjadi dengan sederhana masyarakat di Indonesia lebih memilih calon legislatif karena tingkat popularitasnya, karena cantik, ganteng, atau karena punya uang.
Atau mereka lebih memilih calon anggota legislatif yang memberikan kepada mereka uang walaupun caleg tersebut tidak mempunyai kompetensi di politik. Tidak tahu-menahu terkait politik akan tetapi mereka tetap dipilih, bahkan menang sebagai calon anggota DPR, DPD, DPRD terpilih ketimbang calon legislatif yang mempunyai modal sosial, integritas, rekam jejak yang baik di politik serta mempunyai jiwa politik yang bisa bisa merepresentasikan kepentingan mereka lebih luas karena.
ADVERTISEMENT
Bagi saya, ini merupakan sikap pragmatis begitu parah yang terjadi di masyarakat kita. Karena hal ini menyebabkan politik uang (money politics) yang dapat merusak tatanan kehidupan demokrasi. Sikap pragmatis pada masyarakat ini terjadi disebabkan karena kurangnya kesadaran masyarakat terhadap politik, tingkat pendidikan yang sangat rendah, juga kurang maksimal fungsi pendidikan politik dari partai politik.
Tidak sampai di situ, selain politik pragmatis, pileg nantinya juga akan hadir politisi/calon legislatif (caleg) yang ambisi politiknya besar sehingga menghilangkan esensi demokrasi maupun pemilu itu sendiri.
Menurut pandangan saya sebagai penulis, hal ini akan terjadi pada calon legislatif yang berlatar belakang pengusaha. Mereka yang mempunyai modal finansial sangat besar—dengan berdalih pada aspek uang adalah segalanya—sehingga mereka dapat meraup ataupun mengambil suara rakyat lewat politik uang.
ADVERTISEMENT
Politik ambisi ini dilakukan oleh calon legislatif yang tidak mempunyai rekam jejak politik yang matang dan tidak mempunyai modal sosial yang cukup, akan tetapi mereka dengan percaya diri bisa mendapatkan kursi legislatif dan menang pada pertarungan pemilu pileg tahun 2024 dengan membayar suara masyarakat.
Perilaku ini merupakan patologi yang besar bagi demokrasi. Mereka menghilangkan nilai esensial dari politik dan demokrasi itu sendiri demi kepentingan individu atau kelompok, bahkan menjaga kekuasaan itu sendiri.
Harapan besar saya pada pileg mendatang adalah masyarakat mempunyai kesadaran terhadap demokrasi dan politik dengan tidak apatis maupun pragmatis dalam hal pemilihan anggota legislatif. Masyarakat betul-betul harus memilih calon legislatif yang mempunyai rekam jejak yang baik, jiwa sosial tinggi, juga secara kapasitas dan kapabilitasnya bisa diandalkan.
ADVERTISEMENT
Juga baliknya, mereka tidak memilih calon wakil mereka berdasarkan uang yang diberikan oleh calon legislatif. Karena demikian menurut saya sendiri ketika suara dibayar uang itu sama halnya harga diri dijual untuk kepentingan sesaat untuk lima tahun saja.
Juga ketika anggota legislatif yang berasal dari hasil politik uang itu terpilih, mereka nantinya tidak akan bekerja dengan baik dan maksimal. Justru orientasinya bagaimana mendatangkan kembali uangnya yang telah habis ketika diberikan kepada pemilih ketika mereka calon.
Selain itu juga—harapan selanjutnya—para calon legislatif (caleg) memberikan edukasi politik yang baik kepada masyarakat dan tidak menciptakan konflik pada masyarakat lewat tim sukses masing-masing. Serta semua elemen yang ada menjaga keamanan, stabilitas, serta sama-sama mengawal proses pemilu dan demokrasi yang akan datang.
ADVERTISEMENT