Konten dari Pengguna

Sengkarut Ideologi dalam Sepakbola

Rofi Ali Majid
Alumni Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan UNY.
15 September 2020 5:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rofi Ali Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepakbola memang dimulai ketika peluit berbunyi dan berakhir pula ketika peluit akhir pertandingan ditiup oleh wasit. Namun, kita tidak bisa menyangkal jika diluar sembilan puluh menit pertandingan, permainan sepakbola justru mampu memberikan efek sosial, sebelum atau setelah berakhirnya pertandingan.
ADVERTISEMENT
Efek sosial dari sepakbola tentunya tak bisa dilepaskan begitu saja dari berbagai ideologi yang ada di dunia. Dalam konteks diskursus ideologi, sepakbola adalah aparatus ideologi dimana ia menjadi sebuah alat bagi orang-orang untuk mencapai tujuan ideologisnya.
Menarik jika kita meninjau pemikiran Theodor Adorno dari Mazhab Frankfurt yang memperbincangkan hubungan eksplisit antara olahraga dengan ideologi. Bagi Adorno, olahraga, seperti budaya populer lainnya, merupakan aktivitas yang melanggengkan ketidaksetaraan dalam sistem kapitalis.
Olahraga dalam alam pikir Adorno membuat orang-orang menjadi lalai dan terbuai dengan kepopuleran. Hal tersebut berdampak pada menumpulnya nalar kritis orang-orang pada berbagai ketimpangan. Ada setidaknya dua poin penting yang menjadi titik berangkat kritik Adorno terkait budaya olahraga. Pertama, penekanan pada kompetisi, kedua, menjadikan olahraga sebagai konsumsi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Meskipun Adorno membahas olahraga secara umum, tetapi sangat relevan jika pembahasan tersebut kita kerucutkan pada olahraga sepakbola. Dalam hal kompetisi misalnya, tentu kita sepakat jika kompetisi adalah tempat tumbuhnya sepakbola itu sendiri. Iklim kompetisi mensyaratkan para peserta untuk mengalahkan satu sama lain agar mereka bisa berada di puncak dan menjadi juara.
Pola pikir macam itu membuat orang-orang kelas menengah kebawah disibukkan oleh pertandingan demi pertandingan, hingga akhirnya menyamarkan dosa-dosa ketimpangan yang dibuat oleh kaum burjois. Ini adalah sebuah upaya, membuat orang-orang kelas menengah kebawah terjebak dalam kemanjaan masokisme. Tentu saja, buah yang dihasilkan adalah sebuah kenyamanan semu manakala “nalar instrumental” ditanamkan pada kelas menengah kebawah.
Nalar instrumental adalah sebuah cara berpikir dimana nalar bukan lagi digunakan untuk memahami, melainkan nalar digunakan sebagai alat atau instrumen untuk mencapai kepentingan sendiri. Nalar macam ini melahirkan pemikiran-pemikiran macam, “siapa yang paling bekerja keras, maka mereka akan sukses.” Yang terjadi selanjutnya adalah orang-orang sibuk memperalat satu sama lain untuk mencapai tujuan masing-masing dan pada titik tersebut, individualisme jelas menjadi sebuah ciri khas dari nalar instrumental.
ADVERTISEMENT
Lantas dimana letak permasalahannya? Tentu saja kita tak bisa melupakan realitas bahwa kepemilikan alat produksi sangat berpengaruh pada ketimpangan materi yang ada. Dalam sepakbola, kepemilikan klub beserta aset-asetnya merupakan alat produksi yang hanya dimiliki oleh kelas-kelas burjois.
Lewat alat produksi tersebutlah para burjois mendapatkan pundi-pundi cuan yang -tentu saja- lebih banyak secara kuantitas ketimbang apa yang didapatkan oleh para pemain maupun penonton sepakbola. Bukan masalah besar bagi klub ketika sesekali menelan kekalahan, selama orang-orang kelas menengah kebawah menjadi fans setia, uang akan tetap mengalir ke kantung-kantung burjois ini.
Semua pada akhirnya berkaitan dengan poin kedua kritik Adorno terhadap budaya olahraga dimana ia menempatkan masyarakat sebagai konsumen. Masyarakat dengan nalar instrumental turut menyokong iklim kompetisi lewat pemberian remunerasi pada klub. Ini diwujudkan melalui pembelian tiket, merchandise, juga berbagai layanan live streaming yang muaranya, tentu saja untuk mendukung klub kesayangannya dalam kompetisi.
ADVERTISEMENT
Kondisi macam ini tak bisa dilepaskan dari sepakbola -seperti kebanyakan budaya populer lainnya, yang telah menjadi bagian dari industri budaya. Dalam keadaan macam itu, ada sebuah pesan ideologis yang bisa ditangkap: selama masyarakat kelas menengah kebawah memiliki akses terhadap budaya populer, kecil kemungkinan mereka akan menentang struktur kekuasaan yang ada.
Dengan demikian kecil pula kemungkian bagi para burjois untuk turun kelas dan begitupun sebaliknya, kecil peluang bagi kaum menengah kebawah untuk naik kelas. Alih-alih berpikir mengenai ketimpangan pemilikan alat produksi, orang-orang kelas menengah kebawah telah di-setting agar lebih fokus pada kesibukan pertandingan klub pujaannya
Di sinilah Adorno menekankan bahwa satu-satunya yang tersisa dari olahraga –konteks sepakbola— adalah penindasan terus-menerus kepada orang-orang kelas bawah dalam hal monopoli kapital. Ia juga mengungkapkan kegelisahannya, “Olahraga bukanlah sebuah permainan, melainkan sebuah ritus dimana subjek merayakan penundukan mereka,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Agaknya pas jika diksi olahraga diganti dengan sepakbola, sebab sepakbola telah menjelma menjadi salah satu alat yang ampuh untuk melanggengkan ketimpangan kapital dalam masyarakat. Bisa juga sepakbola digunakan untuk mengganti diktum Marx tentang agama yang ia katakan sebagai candu. “Sepakbola adalah candu.”.
Jika Adorno telah menguraikan bagaimana olahraga bisa menjadi aparatus ideologi dalam sistem kapitalisme, maka Bero Rigauer menguraikan bagaimana olahraga juga telah menjadi alat bagi penganut sosialis untuk mencapai tujuan mereka.
Ia mencontohkan bagaimana pagelaran olahraga segera dibikin setelah lahirnya Uni Soviet pasca revolusi. Dalam pengadaan event olahraga tersebut, orientasi utama bukanlah penggelembungan kapital, melainkan bagaimana olahraga mampu menyatukan masyarakat. Praktik-praktik olahraga juga dirancang para cendekiawan Soviet sebagai alat untuk membasmi penyakit sosial macam mabuk-mabukan dan sebagainya. Model macam itu pernah pula diterapkan oleh Soekarno manakala ia menginisiasi Ganefo yang disebut oleh Muhidin M Dahlan sebagai olimpiade kiri.
ADVERTISEMENT
Terkhusus dalam sepakbola, ada satu contoh menarik dimana Livorno, salah satu klub dari Italia, memiliki basis pendukung yang berhaluan kiri. Dilihat dari akar sejarahnya, kondisi tersebut tak bisa dilepaskan dari momen kongres partai komunis Italia yang pernah digelar di kota tersebut pada 1921.
Kerap dalam pertandingan, para pendukung kesebelasan ini membentangkan atribut-atribut sosialis. Salah satu kejadian menarik terjadi manakala Livorno menjamu Maccabi Haifa dalam pertandingan UEFA Cup 2006. Kala itu, para pendukung Livorno membentangkan bendera Palestina sebagai bentuk solidaritas mereka atas perjuangan kemanusiaan.
Aksi membentangkan bendera Palestina juga pernah dilakukan oleh pendukung Celtic dan Persis Solo. Dengan demikian, harus diakui jika sepakbola juga memiliki dimensi kohesif dimana ia bisa mempersatukan masyarakat untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diamininya.
ADVERTISEMENT
Beralih ke ideologi fasis, peran sepakbola sebagai aparatus ideologis juga tak luput dari para penganutnya. Benito Mussolino, salah satu pemimpin fasis terkondang di jagad raya juga memanfaatkan permainan ini untuk membumikan fasisme. Pada 1934 misalnya, Italia berkesempatan menjadi tuan rumah dalam kontes Piala Dunia. Pemilihan Italia sebagai tuan rumah tentu tak bisa dilepaskan dari lobi-lobi Musolini kepada pejabat FIFA.
Kala itu, Mussolini turut terlibat langsung dalam komite persiapan. Ia memilih sendiri venue untuk ajang Piala Dunia, menggratiskan tiket kereta bagi para kelas pekerja, juga memastikan agar Italia turun dengan skuad terbaik mereka. Dalam buku The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sport Spectacle in the World, dijelaskan bahwa Musollini memanggil para pemain keturunan, satu dari Brasil dan empat dari Argentina, guna melancarkan ambisinya.
ADVERTISEMENT
Mussolini berhasil memuluskan rencananya, Italia masuk final dan berhasil menjadi kampiun dalam perhelatan paling akbar sedunia tersebut. Keberhasilan Italia –sayangnya— meninggalkan sebuah kontroversi, sebab, pada malam sebelum final berlangsung, Mussolini mengundang wasit yang memimpin laga final, Ivan Eklind, dan diduga menyuap Ivan agar memenangkan Italia. Keberhasilan Mussolini membuat doktrin fasisme merebak di seantero Italia.
Jejaknya fasisme dari Mussolini masih terlihat sampai hari ini, dimana Lazio, salah satu klub favorit Mussolini, dihuni oleh pendukung-pendukung dengan nuansa fasisme yang kental. Kerap kali para pendukung Lazio menggunakan atribut-atribut pemujaan terhadap Mussolini, juga perayaan-perayaan kemenangan yang menggaungkan salam fasis, seperti manakala mereka mengalahkan AC Milan di ajang Copa Italia 2018/19.
Pergerakan sosial telah mengalami pergeseran pada Abad ke-20, dari yang semula berbasis kelas, kini mencari bentuk-bentuk lain yang lebih relevan. Dalam hal ini, tentu para pemikir dan penikmat sepakbola perlu menggerakkan diskursusya ke arah masa depan, semisal terkait dengan sepakbola sebagai gerakan berbasis inklusifitas untuk mendukung keikutsertaan difabel, berbasis gender untuk kesetaraan, juga arah-arah lain yang mesti diraba untuk mendapatkan hasil terbaik. Ini menjadi penting, sebab jika berkaca dari masa lalu, gerakan berbasis kelas selalu memakan korban jiwa. Kita perlu menumbuhkan benih-benih gerakan sosial yang lebih humanis melalui sepakbola.
ADVERTISEMENT
Rofi Ali Majid
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY