Konten dari Pengguna

Sepakbola Perempuan Memang Berkembang, Tetapi Masih Banyak PR

Rofi Ali Majid
Alumni Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan UNY.
29 September 2020 11:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rofi Ali Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber Foto: PSSI
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: PSSI
Dalam waktu yang cukup lama –setidaknya sampai sekarang, sepakbola belum benar-benar menjadi olahraga yang ramah bagi perempuan. Salah satu akar permasalahan yang paling kuat adalah stereotip gender yang berkembang di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Perlu dipahami, gender merujuk pada konstruksi masyarakat mengenai karakteristik perempuan dan laki-laki. Di masayarakat, gender sering disalah kaprahkan sebagai jenis kelamin yang dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai seks.
Apa perbedaan keduanya? Secara ringkas, gender dibentuk oleh masyarakat, sementara seks adalah anugerah dari tuhan yang tidak dapat kita ubah. Gender bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sementara seks sifatnya universal.
Salah satu contoh konsepsi gender yang kondang adalah anggapan bahwa laki-laki yang baik haruslah maskulin sementara wanita yang baik harus feminim. Padahal, bisa saja wanita punya karakteristik maskulin sementara laki-laki punya karakteristik feminim. Prasangka masyarakat yang menganggap jika laki-laki dan perempuan harus punya karakteristik blablabla itulah yang disebut sebagai stereotip.
ADVERTISEMENT
Dikatakan sebagai prasangka, sebab stereotip punya satu ciri khas: ia bekerja dengan menyederhanakan hal yang sebenarnya kompleks. Oleh karenanya, stereotip punya kemungkinan untuk benar atau salah dan satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran sebuah stereotip adalah dengan melakukan verifikasi lewat ilmu pengetahuan.
Sayangnya, stereotip bahwa lelaki harus maskulin dan wanita harus feminim ini salah, tetapi telah berkembang sejak lama. Perkembangan stereotip gender macam itu tak bisa dilepaskan dari budaya patriarki dimana maskulinitas dianggap sebagai wujud inferioritas laki-laki atas perempuan. Dalam budaya patriarki, kerja-kerja yang melibatkan otot selalu dikerjakan oleh laki-laki sementara perempuan idealnya mengurus ranah domestik rumah tangga.
Dalih bahwa laki-laki lebih cocok untuk melakukan kerja-kerja otot biasanya merujuk pada dalil perbedaan anatomi fisik serta sifat biologis antara laki-laki dan perempuan. Dalil tersebut -sayangnya, banyak digunakan oleh orang-orang untuk mendiskriminasi perempuan dalam panggung olahraga, terkhusus sepakbola.
ADVERTISEMENT
Padahal, jika kita mau sedikit lebih jeli, ada dua hal yang setidaknya bisa dipertanyakan. Pertama, jika memang secara anatomi laki-laki lebih unggul untuk kerja-kerja sepakbola ketimbang wanita, bukankah perbedaan anatomi tersebut juga berlaku pada laki-laki?
Sebagai contoh, fisik laki-laki dari Afrika dan Eropa rata-rata lebih tinggi ketimbang orang Indonesia. Lantas mengapa laki-laki dari Indonesia boleh bertanding sepakbola dengan laki-laki dari Eropa? Apakah dengan adanya perbedaan anatomi fisik lantas membuat orang lain tak boleh bermain sepakbola?
Kedua, jika memang kendalanya adalah perbedaan sifat biologis antara laki-laki dan perempuan –menstruasi misalnya, bukankah sistem pertandingan bisa dibedakan berdasar jenis kelamin? Semisal laki-laki melawan laki-laki, perempuan melawan perempuan.
Bukan hanya mendiskriminasi, stereotip gender macam itu juga jahat, sebab secara tidak langsung melarang wanita untuk mendapatkan tubuh sehat lewat olahraga.
ADVERTISEMENT
Untungnya, peluang bagi perempuan untuk bermain sepakbola hari ini kian meningkat. Kompetisi sepakbola perempuan mulai digalakkan, ruang-ruang manajemen sepakbola yang semula didominasi oleh laki-laki, kini mulai diminati oleh perempuan. Kesadaran macam ini tentu berhutang banyak pada gerakan feminisme yang mulai muncul sejak Abad ke-19.
Sepakbola perempuan sebenarnya bukanlah hal yang baru, ia telah dimainkan oleh para perempuan dari Tiongkok sejak tahun-tahun awal Masehi, tepatnya pada 25- 220 Masehi. Fenomena tersebut digambarkan dalam lukisan dinding kuno dari zaman Dinasti Donghan. Namun, semenjak memasuki masa pemerintahan Dinasti Qing (1664-1912), sepakbola perempuan dilarang untuk dimainkan.
Pada Abad ke-18, geliat sepakbola perempuan sepakbola perempuan tercium di Skotlandia. Pelaksanaannya terbilang unik, mereka mempertemukan perempuan yang sudah menikah untuk bertanding dengan perempuan yang belum menikah.
ADVERTISEMENT
Kisah yang tak kalah menarik juga datang dari Inggris, negara yang mempelopori sepakbola modern. Seorang wanita yang menggunakan nama samaran sebagai Nettie Honeyball, membentuk klub sepakbola perempuan pertama pada 1894. Ia memasang iklan di berbagai surat kabar, mengajak para perempuan untuk membentuk klub sepakbola.
Usahanya berbuah, ia mendapatkan tanggapan dari 30 perempuan yang kesemuanya berasal dari keluarga kelas menengah. Dengan segera, didirikanlah British Ladies Football Club (BLFC) sebagai klub sepakbola perempuan pertama di Inggris. Pertandingan pertama mereka yang digelar pada 1895 sukses menggaet kurang lebih 12.000 penonton.
Meski mendapatkan antusiasme yang tinggi, sepakbola perempuan tak lepas dari aral melintang. Banyak orang menentang sepakbola perempuan dengan dalih membahayakan fisik mereka. Para perempuan aristokrat konservatif ikut mengolok-olok perempuan yang bermain sepakbola dengan mengatakannya sebagai “aktivitas tidak wajar bagi perempuan terhormat.”
ADVERTISEMENT
Pada 1921, tepatnya 5 Desember, secara resmi asosiasi sepakbola Inggris (FA) melarang sepakbola perempuan dengan dalih sepakbola hanya untuk laki-laki. Negara lain seperti Jerman dan Belanda turut serta memberlakukan pelarangan tersebut.
Akan tetapi, meski dilarang di banyak tempat, sepakbola perempuan tetap hidup. Angin segar justru datang dari Italia, mereka menggelar turnamen sepakbola perempuan se-benua Eropa pada 1969. Kelak, turnamen tersebut menjadi cikal bakal UEFA Women’s Championship.
Sepakbola perempuan kian berkembang dan pada puncaknya, asosiasi sepakbola dunia (FIFA) menggelar Piala Dunia sepakbola perempuan pertama di China pada 1991. Kabar gembira menyusul lima tahun berselang, tepatnya pada 1996 dimana untuk kali pertama sepakbola perempuan dimainkan dalam Olimpiade.
Hingga kini, sepakbola perempuan masih terus berjalan meskipun belum bisa lepas dari berbagai diskriminasi gender. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
ADVERTISEMENT
Perkara gaji misalnya, sejauh ini bisa dikatakan terdapat ketimpangan yang ngeri antara gaji pemain sepakbola profesional laki-laki dengan perempuan. Gaji laki-laki jauh lebih tinggi.
Ini sungguh ironi mengingat risiko olahraga sepakbola seperti cedera juga menghantui perempuan. Gaji yang tak sebanding dengan risiko ini membuat banyak perempuan memainkan sepakbola hanya sebagai kerja sampingan.
Diskriminasi tetaplah diskriminasi, dalihnya adalah ekosistem industri sepakbola perempuan yang sepi peminat dan belum mapan. Padahal, jika mau ditelaah lebih jauh, ekosistem industri tak bisa lepas dari peran media, sementara sampai hari ini, tak banyak ruang yang diberikan oleh media untuk sepakbola perempuan.
Dimana kita bisa mendapatkan informasi mengenai sepakbola perempuan? Bukankah media yang ramah gender seharusnya juga memberikan ruang untuk sepakbola perempuan? Dampak dari minimnya ruang bagi sepakbola perempuan –dalam media— inilah yang akhirnya membuat sepakbola perempuan tak sepopuler sepakbola laki-laki.
ADVERTISEMENT
Kondisi macam ini diperparah dengan banyaknya eksploitasi seksualitas dalam pemberitaan sepakbola perempuan baik dari media maupun media sosial. Jika kita telusuri, ada banyak konten sepakbola perempuan yang justru tak berfokus pada sepakbola itu sendiri. Alih-alih membahas dari sisi permainan, media justru menyuguhkan eksploitasi seksualitas macam kecantikan dan keseksian para pemain.
Untuk mencapai kesetaraan gender, sikap-sikap diskriminasi macam itu harus lekas dibereskan. Meskipun masih tampak utopis, kesetaraan gender dalam sepakbola harus terus diperjuangkan.
Beberapa negara mulai berbenah, Norwegia menyamakan gaji pemain timnas laki-laki dan perempuan sejak 2017. Timnas perempuan Amerika Serikat melakukan gugatan dengan tujuan serupa. Kita masih menunggu angin segar lainnya.
Rofi Ali Majid
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY