Konten dari Pengguna

Tarik Ulur Sepakbola dan Agama

Rofi Ali Majid
Alumni Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan UNY.
7 September 2020 18:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rofi Ali Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepakbola dalam bentuk yang kita lihat pada hari ini masih seumur jangung. Ia baru muncul setidaknya pada pertengahan Abad ke-19, ketika asosiasi sepakbola pertama didirikan di Inggris (FA) pada 1863. Dalam forum pembentukan FA yang dilaksanakan di London tersebut, beberapa keputusan krusial disepakati: penggunaan tangan dalam permainan sepakbola dilarang, juga ukuran dan berat bola distandarisasi. Pertemuan ini mengubah wajah sepakbola.
ADVERTISEMENT
Sebelum pertemuan tersebut, sepakbola sangat mirip dengan rugby. Sepakbola dimainkan dengan berkelompok, boleh menggunakan tangan, juga dilengkapi dengan adu jotos (seperti tinju) –dalam perkembangannya olahraga tersebut masih ada sampai hari ini dan dikenal dengan nama calcio storico. Permainan ini telah dimainkan di jalanan Inggris setidaknya sejak abad ke-12, penuh dengan hingar bingar kekerasan.
Dewa-Dewa yang Marah
Akar permainan sepakbola sebenarnya masih bisa ditarik ke masa yang lebih jauh lagi. Sebelum orang-orang Tiongkok memainkannya, permainan yang diyakini sebagai akar sepakbola telah dimainkan oleh orang-orang Mesoamerika sejak 1600 SM. Suku Aztec menyebut permainan ini dengan nama Pok a Tok, sementara Suku Maya menyebutnya dengan Tlachtli.
Tlachtli dimainkan dalam sebuah lapangan persegi panjang dengan ukuran bervariasi. Lapangan di Cichen Itza adalah yang terluas dengan ukuran panjang 66,5 meter dan lebar 30 meter, sementara di Tikal, Guatemala, ukuran lapangan mereka lebih kecil dari lapangan tenis. Permainan ini dilakukan dengan satu lawan satu atau bisa juga secara tim dengan jumlah orang yang sama. Mereka akan memantulkan bola menggunakan pinggul menuju ujung pertahanan lawan –tanpa menggunakan tangan.
ADVERTISEMENT
Satu hal yang paling menarik dari olahraga yang telah dimainkan semenjak satu mileinum sebelum olimpiade pertama ini adalah euforia dan popularitasnya. Untuk mendukung pertandingan-pertandingan tersebut, tiap tahun, setidaknya 16.000 bola karet diimpor ke Tenochtitlan, ibu kota Aztec. Sampai saat ini, telah ditemukan setidaknya 1.300 lapangan yang tersebar di bekas wilayah Mesoamerika.
Walau begitu populer, nuansa dari permainan ini lebih berbau religiusitas ketimbang rekreasi. Bagaimanapun kemunculan Tlacthtli tak bisa lepas dari mitos penciptaan dalam agama mereka. Dikisahkan, Hun Hunahpu dan Vucub Hunahpu –Dewa Maya, membuat marah para dewa yang ada di bawah bumi.
Mereka akhirnya ditantang untuk memainkan permainan “kick ball” dengan aturan, siapa yang kalah harus rela memenggal kepalanya. Maka yang selanjutnya terjadi adalah Hun dan Vucub Hunahpu kalah, kepala mereka dipenggal, lantas dibuang ke langit, menjelma menjadi matahari dan bulan.
ADVERTISEMENT
Mitos penciptaan dalam agama mereka kemudian memiliki signifikansi yang kuat dalam ritus-ritus peribadatan. Para pemuka agama berkumpul untuk memimpin permainan Tlachtli dan kapten dari tim yang kalah harus siap menjadi tumbal untuk dipersembahkan kepada Dewa Matahari. Ya, ini nyata dan bukan fiktif, sekejam itu akar permainan sepakbola dan tentu saja, perkembangan permainan ini berhutang banyak pada agama.
Puritanisme dan Renaisans
Jalin kelindan antara sepakbola dan agama tak selalu berpeluk mesra. Pada Abad 16-17 misalnya, ketika puritanisme Kristen menyelimuti Eropa, kegiatan-kegiatan fisik selalu dicurigai sebagai dosa. Gereja-gereja Kristen menganggap kegiatan fisik dapat menjauhkan manusia dari kesalehan, meskipun di sisi bersebrangan mereka mengakui jika kegiatan fisik militer dapat berguna. Dalam situasi paradoks macam itu, olahraga-olahraga populer di kalangan rakyat cilik dilarang dengan dalih banyaknya judi dan miras yang ikut berputar di lingkup olahraga tersebut, dosa katanya.
ADVERTISEMENT
Renaisans mengubah segalanya. Kajian-kajian mengenai “yang fisik” mulai digalakkan dan dalam perkembangannya sepakbola juga turut berkembang. Agama mulai mengubah cara pandang mereka terhadap kesenangan fisik dari yang semula hanya sekadar aktivitas fisik mengundang dosa, menjadi sebuah wadah yang identik dengan filosofi moral dan etika. Di titik ini, sepakbola menjadi sebuah wadah untuk mencapai tujuan-tujuan moralis, terutama dalam agama.
Dalam fenomena di masyarakat, sepakbola kemudian dijadikan alat agar lelaki dapat menjalani hidup “sesuai kodratnya” macam berotot, kuat dan maskulin. Secara moral, lelaki yang feminin dianggap sebagai sebuah dosa dan sepakbola diibaratkan sebagai tameng untuk mencegah laki-laki masuk ke jurang dosa tingkah laku feminin.
Sampai hari ini, kita melihat bagaimana ada banyak agama yang memanfaatkan organisasi sepakbola untuk misi-misi suci. Young Men’s Christian Associaton misalnya, menggunakan olahraga sebagai alat untuk penginjilan. Dalam contoh yang lebih dekat, bisa kita lihat akun-akun media sosial yang mengaitkan agama dengan sepakbola sebagai sarana dakwah.
ADVERTISEMENT
Civil Religion
Membicarakan hubungan antara sepakbola dan agama tentu saja tak bisa kita lepaskan dari pesatnya arus industrialisasi pada satu abad terakhir. Hak siar yang memungkinkan lebih banyak orang mengenal sepakbola, profesionalisasi manajemen klub, penggunaan teknologi kiwari dalam pertandingan, juga bujuk rayu sponsor dan iklan, telah menarik jiwa orang-orang yang mau tidak mau, kian gila terhadap olahraga ini.
Sepakbola makin populer dan orang datang berduyun-duyun memenuhi tribun untuk mendukung kesebelasan kesayangan. Ini menjadi sebuah fenomena yang relatif baru dimana sebuah olahraga dapat menyedot jutaan mata, membuat semua orang sepakat bahwa sepakbola adalah olahraga paling populer di dunia saat ini.
Stadion selalu lebih ramai ketimbang masjid, gereja dan tempat-tempat ibadah lain. Para kolumnis bola mengatakan jika sepakbola telah menjadi agama baru. Apakah klaim ini tepat? Untuk memahaminya, setidaknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu alasan orang-orang yang menyebutnya demikian.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan dalil yang digunakan untuk membela klaim ini biasanya merujuk pada hubungan struktural antara agama dan sepakbola yang memiliki banyak kemiripan. Dalam hal dewa-dewa misalnya, sepakbola selalu memiliki bintang yang dipuja oleh para penggemar baik di stadion maupun layar kaca. Iman dari para pendukung dimanifestasikan dalam hal ketulusan hati meluangkan waktu, bahkan menyisihkan sebagian uang yang mereka miliki hanya untuk membeli tiket, merchandise klub atau berlangganan platform live streaming. Jangan lupa, adu bacot di media sosial juga bagian dari iman orang-orang pada “dewa” pujaannya.
Dalam hal leluhur yang berkuasa, sepakbola memiliki orang-orang berpengaruh baik di dalam maupun luar manajemen organisasi yang dapat mempengaruhi dan mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Ada juga dewan-dewan macam ulama yang berhak untuk menentukan tafsir mengenai aturan-aturan dalam sepakbola yang tak boleh dibantah oleh siapapun.
ADVERTISEMENT
Sebagai patron, jangan lupakan ahli-ahli kitab sepakbola, “media olahraga” yang bertugas mencatat setiap sejarah, dimana semua akan menjadi sebuah “peringatan” bagi orang-orang yang mencintai sepakbola. Contoh dari semua itu bisa kita lihat manakala orang-orang menyerukan “pengalihan isu, kawal 8-2” di berbagai kolom komentar media sosial.
Memandang sepakbola sebagai agama dengan dalih macam itu, memang menarik secara tipologi, tapi bukankah itu hanya melihat dan menitikberatkan pada kesalehan penggemar pada klub pujaannya? Di titik ini, gagasan yang ingin disampaikan adalah sepakbola mampu menciptakan makna bagi orang-orang melalui cara yang berbeda dengan agama dalam bentuknya yang tradisional.
Alasan tersebut sebenarnya tidak bisa membuat kita secara semena-mena menyebut sepakbola sebagai agama baru, sebab semua itu lebih menekankan pada hasrat, komitmen, penderitaan dalam kekalahan, juga kebahagiaan dalam kemenangan. Semua itu adalah pengalaman transendental yang memberikan momen sakral dan komunal antara klub dan penggemar. Agama tradisional memberikan lebih dari sekadar itu.
ADVERTISEMENT
Pada suatu contoh misalnya, agama tradisional berperan untuk memberikan penjelasan bagi keberadaan manusia di dunia ini, sepakbola jelas tidak memiliki peran tersebut. Pada titik lain, agama tradisional muncul dari alam ketuhanan, pengalaman di luar manusia tentunya, sementara sepakbola jelas berkembang dari pengalaman manusia. Menyamakan sepakbola sebagai agama baru sama halnya dengan mengabaikan perbedaan fundamental dari sisi filosofis antara sepakbola dan agama.
Menganggap sepakbola sebagai agama baru juga kurang tepat jika hanya mengidentifikasi melalui simbol-simbol yang ada di dalamnya. Jika landasan macam itu yang dijadikan acuan, maka negara juga bisa dikatakan sebagai agama, sebab “negara” juga bisa dianalisis menggunakan argumen simbol-simbol manakala kita membahas sepakbola sebagai agama seperti di atas.
Akhirnya, akan lebih tepat jika sepakbola sebagai agama dikatakan dalam konteks civil religion. Dalam diskursus mengenai civil religion, ia memiliki definisi sebagai kepemilikan perasaan bersama yang dapat mempersatukan orang-orang tanpa memandang latar belakang agama tradisional yang di anut. Sepakbola punya potensi ke arah sana.
ADVERTISEMENT