Mengutuk Kampung Halaman

Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang ngebet jadi penulis tapi malas untuk membaca dengan tekun. Sekarang terlunta-lunta di Yogyakarta.
Konten dari Pengguna
3 Mei 2022 11:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rofqil Bazikh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pasir yang tersisa dipotret dari kejauhan. foto: rofqil
zoom-in-whitePerbesar
pasir yang tersisa dipotret dari kejauhan. foto: rofqil
ADVERTISEMENT
Saya teringat Raka Ibrahim ketika proses merampungkan tulisan ini. Saya teringat bagaimana ingatannya yang—meski tidak subtil—namun emosional. Ikatan dia dan Surabaya, kampung halamannya. Saya dengannya menulis satu hal yang sama, bedanya tulisan saya lebih buruk. Bedanya lagi Raka melihat kampung halamannya dari jauh, saya dari kampung halaman itu sendiri. Sebagaimana Tuhan memberi wahyu pada nabi-nabi, batu, bahkan lebah, tulisan Raka Berdamai dengan Kampung Halaman turut mengilhami saya.
ADVERTISEMENT
Enam tahun tidak berada di kampung halaman adalah waktu yang lama. Perasaan kecewa saya kadang lebih besar, tetapi rindu kampung halaman juga tak kalah besar. Enam tahun bukan waktu yang sedikit untuk setiap perubahan di kampung halaman. Sebelum jauh-jauh saya bawa ke lembar perubahan itu, alangkah lebih baik jika dipahami dulu gambaran singkat kampung saya. Ini sedikit memudahkan siapa saja untuk memberi persepsi di kepala dan kalau bisa memunculkan rasa emosional juga.
Bayangkan sebuah pulau dengan pasir putih terhampar luas dan di bulan-bulan tertentu kadang ombak datang menghempas. Tidak ada sawah, tidak ada irigasi dan lain semacamnya. Tanahnya merah dan hanya cocok untuk menanam jagung semata, tidak lebih. Sekarang simpulkan begini; mata pencaharian di kampung itu antara bertani jagung dan melaut. Sayangnya, selama tujuh tahun terakhir banyak orang yang meninggalkan dua mata pencaharian itu. Merantau, meski bukan pilihan yang ideal, tetapi suportif dalam hal ekonomis.
pasir yang nyaris habis setelah dikeruk bertahun-tahun. foto: rofqil
Ketika perantau mulai masif dan kampung halaman ditinggal, tuduhan saya, dari sanalah semua dimulai. Perubahan itu bermula tatakla orang meninggalkan perahu, meninggalkan laut, meninggalkan tanah dan dibiarkan kerontang. Secara ekonomis, mereka memang hidup layak dan di atas rata-rata orang yang hanya tinggal di kampung halaman. Mereka kaya dan kadang-kadang juga tidak pelit berbagi. Lumrahnya manusia yang hendak hidup dan memiliki papan yang nyaman, mereka berbondong-bondong melakukan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Rumah-rumah yang semula tidak layak pakai sedikit demi sedikit dibenahi. Untuk membangun rumah atau mempercantik pagar halaman mereka butuh oplosan pasir sebagai bahan. Tidak ada langkah lain untuk mendapat pasir selain mengeruk di bibir pantai. Saya tidak paham bagaimana mekanisme pengerukan tersebut. Apakah seseorang membeli kepada yang berhak atau justru mengeruk bebas. Baik opsi pertama atau yang kedua akhirnya merujuk pada satu hal yang sama; kerusakan bibir pantai dan abrasi besar. Belum lagi sampah yang makin lama makin menumpuk. Orang-orang kampung memang terbiasa membuang sampah ke laut, kalau tidak dibakar.
Menulis ini sangat emosional sama halnya dengan tulisan Raka ihwal Memaafkan Orang Tua. Saya baca satu-satunya komentar untuk tulisan tersebut yang mengaku menangis. Saya, sebagaimana anak kecil pada umumnya, punya ikatan emosi yang kuat dengan bibir pantai. Pasir putih yang biasa dijadikan tempat bermain bola setiap senja menjelang kini sudah raib. Marahnya lagi yang bikin raib adalah tangan manusia, tangan orang terdekat mungkin.
batu-batu karang yang menyembul le permukaan akibat pasir yang dikeruk habis-habisan. foto: rofqil
Tiga tahun terakhir, setiap saya pulang yang tersisa hanyalah batu karang. Hanya orang gila dan bocah tolol yang mau bermain bola di atas batu-batu tajam seperti itu. Jangankan mengolah si kulit bundar, duduk saja membuat pantat nyeri. Saya emosional menulis ini disertai ingatan perih pasir putih yang—di mata anak kampung dahulu—tak kalah megah dibanding Santiago Bernabeu. Sejujurnya, itu bukan hal yang menaktukan dan patut diratapi berlebihan. Pikiran saya justru lari ke tiga puluh tahun selanjutnya, tidak ada bibir pantai. Sementara, ombak yang datang di waktu-waktu tertentu besarnya mengalahkan tinggi orang dewasa. Akibatnya, bangunan-bangunan dekat pantai akan terancam keberadaannya.
ADVERTISEMENT
Abrasi besar-besaran nonalamiah memberikan saya pengandaian. Saya menyamakan hal demikian dengan ulah ayam ugal-ugalan yang masuk sangkar musang. Kelihatannya tidak masuk akal dan rasa-rasanya sebuah analogi yang tak sepadan. Pada akhirnya saya hanya mau mengucapkan hal demikian sebagai langkah bunuh diri pelan-pelan. Orang-orang yang berpikir panjang tiga puluh tahun ke depan akan menolak pengerukan bebas. Namun, hari ini semua hanya bisa disesali dan diratapi pelan-pelan kalau perlu.
pohon yang sudah tumbang di bibir pantai. foto: rofqil
Sebagai orang yang pulang setahun sekali, saya mengutuk hal demikian. Saya mengerti, setiap saya pulang selalu ada hal baru yang berubah. Entah batu karang yang semakin besar lantaran pasirnya habis. Entah pohon di pinggir pantai yang tumbang akibat akarnya dirongrong ombak perlahan. Semua perlu dikutuk dengan suara pelan dan sama-sama kita lihat tiga puluh tahun kemudian.
ADVERTISEMENT