Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Food Estate: Perwujudan Ketahanan Pangan atau Beban Bagi Sosial dan Lingkungan?
1 Januari 2025 9:49 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Rohmad Ali Fatur Rizki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Apa itu Food Estate?
Food Estate merupakan usaha pengembangan pangan skala luas secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pengembangan pangan menitikberatkan pada bahan pangan pokok, seperti padi, singkong, jagung, tebu, dan kedelai. Penetapan food estate sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian No. 8 Tahun 2023 menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan, terutama padi yang menjadi sumber makanan pokok sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kondisi Ketahanan Pangan di Indonesia
Pada tahun 2022, ketahanan pangan Indonesia yang diukur melalui Global Food Security Index (GFSI) menempati urutan 63 dari 113 negara dengan skor 60,2. Hasil ini berada di bawah rata-rata global yang menunjukkan bahwa perlu adanya upaya perbaikan dalam kualitas, ketersediaan, dan keterjangkauan pangan. Realitanya, penurunan produksi padi dalam negeri terus terjadi sejak 2022 dalam bentuk gabah kering giling (GKG) sebanyak 54,7 juta ton menjadi 52,6 juta ton pada tahun 2024 (Badan Pusat Statistik, 2024 ). Meskipun kebijakan impor beras telah diterapkan dalam waktu yang cukup lama, penurunan produksi padi dalam negeri semakin memperburuk ketergantungan terhadap impor beras. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa impor beras Januari–November 2024 mencapai 3,85 juta ton, naik sekitar 52,17% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Selain itu, harga beras di pasaran mengalami kenaikan dalam satu tahun terakhir. Harga beras medium mengalami kenaikan tertingginya hingga Rp14.270 per kilogram, sedangkan beras premium mencapai Rp16.410 per kilogram (Badan Pangan Nasional, 2024 ). Meskipun dalam enam bulan terakhir harga beras relatif stabil di kisaran Rp13.000 dan Rp15.000, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan harga sebelum adanya kenaikan. Penurunan produksi padi, ketergantungan impor, dan kenaikan harga beras jelas berdampak pada ketahanan pangan nasional. Dalam hal ini, food estate diharapkan mampu mengatasi krisis pangan, memperkuat ketahanan energi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kilas Balik Penerapan Food Estate
Program food estate diinisiasi pertama kali pada tahun 1995 di Kalimantan Tengah dengan alokasi 1.457.100 hektare lahan gambut. Realisasi program hanya 31.000 hektare yang berhasil, 17.000 hektare yang belum berpenghuni, serta menyisakan 1.409.150 hektare tidak termanfaatkan. Selanjutnya di Bulungan, Kalimantan Utara tahun 2012 dengan target 298.221 hektare hanya mencapai realisasi pembukaan lahan 1.024 hektare, dengan area penanaman efektif 5 hektare. Pada tahun 2013 di Ketapang, Kalimantan Barat, dari potensi lahan 886.959 hektare, realisasi penanaman hanya mencapai 104 hektare. Dalam upaya penguatan ketahanan pangan nasional, pemerintah mengembangkan program food estate di Kabupaten Merauke, Papua, dengan target pengembangan 1,2 juta hektare. Pada tahun 2020, sebagai respons terhadap dampak ekonomi pandemi COVID-19, program ini direncanakan di Kalimantan Tengah. Pengembangan dilakukan dengan pendekatan skala ekonomi 10.000 hektare dan klaster 1.000 hektare, menggunakan model pembangunan skala menengah (intensifikasi) dan skala besar (ekstensifikasi). Rencana pengembangan meliputi lima provinsi dengan total area 1.700.000 hektare, terdiri dari Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), Maluku (190.000 ha), dan Papua (1.700.000 ha). Di Kalimantan Tengah, fokus pembangunan diarahkan pada intensifikasi lahan pertanian dengan implementasi teknologi 4.0, meliputi penggunaan bibit unggul, pemupukan berimbang, dan mekanisasi pertanian, dengan target produktivitas 7 ton/hektare (Mukti, 2020 ).
ADVERTISEMENT
Kegagalan Food Estate dan Dampak yang Ditimbulkan
Program food estate memiliki tujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, namun selama ini menunjukkan pola kegagalan sejak pertama kali penerapannya. Hasil yang dicapai tidak sebanding dengan alokasi lahan dan sumber daya yang telah dikeluarkan. Salah satu contoh nyata adalah pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) Merauke, memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan sosial. Dari aspek lingkungan, proyek ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, merusak kawasan hutan lindung, gambut, dan ekosistem bernilai konservasi tinggi. Proyek ini memanfaatkan kawasan hutan adat dan lahan gambut untuk perkebunan tebu dan pengembangan bioetanol, yang meningkatkan emisi gas rumah kaca serta memperburuk krisis lingkungan, termasuk banjir, kekeringan, dan kesulitan pangan. Dari sisi sosial, PSN Merauke telah memicu konflik serius, terutama dengan masyarakat adat. Pengambilalihan tanah tanpa musyawarah dan intimidasi menggunakan aparat militer telah menggusur masyarakat adat Yei dan Marind dari tanah leluhur mereka. Hal ini berdampak langsung pada hilangnya sumber kehidupan seperti berburu, meramu, dan berkebun, serta menghancurkan situs budaya dan kepercayaan lokal. Masyarakat adat yang selama ini hidup selaras dengan alam kini terancam kehilangan identitas budaya dan hak asasi manusia, termasuk hak atas tanah dan lingkungan hidup yang sehat. Janji peningkatan kesejahteraan sering kali tidak terealisasi, dengan keuntungan ekonomi lebih banyak dirasakan oleh korporasi besar daripada masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Tantangan dan Solusi Penerapan Food Estate
Berbagai dampak yang belum terselesaikan ini menuntut kita untuk memahami tantangan secara mendalam untuk menemukan solusi yang lebih optimal. Salah satu tantangan utama adalah pembukaan lahan gambut yang memicu trauma deforestasi lingkungan. Bukannya berkaca pada kegagalan Proyek Lahan Gambut (PLG) era 1990-an yang merusak lebih dari satu juta hektare, pemerintahan Prabowo-Gibran justru merencanakan ekstensifikasi cetak sawah hingga 3 juta hektare secara bertahap. Dengan dalih swasembada pangan, program ini bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga nol pada 2060. Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan intensifikasi pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan teknologi seperti precision farming yang mampu meningkatkan produktivitas tanpa membuka lahan baru. Selain itu, restorasi ekosistem lahan gambut harus menjadi prioritas dengan memperbaiki tata kelola air dan penghijauan kawasan gambut yang rusak. Dengan ini, program food estate dapat lebih selaras dengan upaya global dalam mitigasi perubahan iklim (Pretty, 2018 ).
Di balik ambisi besar food estate, konflik sosial menjadi persoalan yang kerap terjadi terutama di wilayah-wilayah dengan keberadaan masyarakat adat dan kearifan lokalnya. Sebagai contoh, masyarakat adat di Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan menuntut pengakuan atas tanah mereka yang diklaim sebagai bagian dari proyek food estate. Konflik ini diperburuk oleh kurangnya keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan program. Selain itu, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam adaptasi teknologi pertanian modern turut serta menjadi hambatan. Untuk meredam konflik dan meningkatkan penerimaan masyarakat, pendekatan partisipatif harus diterapkan sejak tahap perencanaan hingga implementasi proyek. Pelibatan aktif masyarakat adat dan petani lokal dapat mendorong rasa kepemilikan terhadap program ini. Sementara itu, pemerintah perlu menyediakan pendidikan dan pelatihan bagi petani agar mereka lebih siap memanfaatkan teknologi modern. Dengan pendekatan yang inklusif ini, program food estate dapat menjadi lebih berkelanjutan dan minim gesekan sosial (Siborutorop, 2023 ).
ADVERTISEMENT
Namun, tantangan sosial ini tidak dapat diselesaikan sepenuhnya tanpa memperbaiki aspek teknis dan infrastruktur. Dari sisi teknis, keterlambatan dalam pendistribusian benih, sistem irigasi yang belum optimal, dan minimnya infrastruktur pendukung seperti jalan dan gudang penyimpanan menjadi hambatan utama yang mengurangi produktivitas dan daya saing hasil panen di pasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan distribusi sarana produksi, membangun irigasi yang memadai, serta memperbaiki jalan dan gudang untuk mendukung distribusi dan kualitas hasil panen. Dengan menyelaraskan solusi dari ketiga aspek ini—lingkungan, sosial, dan teknis—program food estate diharapkan dapat menjadi tonggak keberlanjutan yang tidak hanya mengejar swasembada pangan, tetapi juga menghormati ekosistem, masyarakat, dan infrastruktur yang menopangnya.