Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Friedman Bertanya, Siapa yang Bayar Makan Bergizi Gratis
19 Februari 2025 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada sebuah pemandangan yang tampak begitu menyenangkan di berbagai sekolah, para siswa menikmati makan bergizi gratis. Bagi banyak keluarga, ini terdengar seperti jawaban dari persoalan gizi anak sekaligus beban pengeluaran harian. Program “Makan Bergizi Gratis ” untuk siswa sekolah di Indonesia lantas dielu-elukan sebagai gebrakan kebijakan publik yang inklusif.
ADVERTISEMENT
Siapa yang tak gembira ketika pihak pemerintah menegaskan bahwa program ini merupakan bentuk kepedulian terhadap generasi muda dengan mengintervensi asupan gizi siswa. Tidak sedikit orang tua yang langsung merasa lega karena anak-anak mereka bisa menyantap menu sehat, sementara isi kantong mereka sedikit lebih aman. Di media sosial, kabar ini ramai diperbincangkan, memunculkan kesan bahwa negara benar-benar hadir untuk rakyat, bahkan di waktu makan siang.
Adagium Milton Friedman: Tidak Ada yang Benar-Benar Gratis
Di tengah euforia ini, sebaiknya kita mengingat adagium terkenal dari Milton Friedman: “There’s no such thing as a free lunch. ” Meskipun slogan ini terkesan sederhana, maknanya sangat dalam. Friedman ingin menegaskan bahwa di balik label “gratis,” selalu ada biaya tersembunyi yang harus ditanggung seseorang, entah secara langsung maupun tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Ketika pemerintah menyatakan bahwa layanan makan bergizi di sekolah tidak membebankan uang sepeser pun pada siswa, pertanyaannya kemudian berpindah: dari mana dana untuk program ini? Apakah berasal dari penambahan pajak, efisiensi anggaran , pemangkasan anggaran infrastruktur, atau malah dialihkan dari pos pendidikan. Dalam analisis Friedman, seluruh sumber daya terbatas sehingga ketika sebagian besar “dialihkan” ke program prioritas, ada sektor lain yang harus merelakan sebagian dananya.
Ilusi Makan Gratis
Kasus di Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana konsep “no free lunch” ini bekerja. Program yang awalnya didengungkan sebagai solusi gizi anak ternyata dibiayai oleh efisiensi berbagai pos anggaran . Ada kementerian yang harus merogoh kocek lebih dalam untuk “berbagi” dana, sementara proyek lain mungkin terpaksa dikorbankan.
ADVERTISEMENT
Mungkin masih sedikit yang mengetahui bahwa pemerintah pada saat bersamaan menginisiasi program-program raksasa lain, seperti pembentukan superholding BUMN yaitu Danantara atau proyek infrastruktur berskala besar. Demi memenuhi semua ambisi tersebut, negara memerlukan kucuran dana signifikan. Bagi publik, fakta ini sering kali dikemas layaknya bumbu rahasia. Kita terbuai dengan hidangan makan siang gratis, namun lupa menanyakan resep apa yang sebenarnya digunakan dan siapa yang membayar tagihan belanja bahan-bahannya.
Ada yang Harus Membayar Makan Gratis
Meski program Makan Bergizi Gratis memiliki tujuan mulia, berbagai dampak dan potensi biaya tersembunyi layak dipertimbangkan. Pertama, kebijakan yang tidak dikelola transparan dan akuntabel rentan menimbulkan inefisiensi. Bisa jadi, kualitas makanan menurun karena perusahaan penyedia menekan biaya produksi. Kedua, alokasi dana yang besar demi mewujudkan makan gratis berisiko membuat sektor pendidikan lain—seperti pelatihan guru atau peningkatan fasilitas sekolah—terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konsep “gratis” sering kali memunculkan moral hazard. Siswa dan orang tua mungkin cenderung bersikap kurang peduli pada penanganan makanan atau menyia-nyiakan kesempatan belajar gizi mandiri karena semuanya ditanggung oleh pemerintah. Jika tidak diimbangi dengan edukasi, program ini bisa menjadi sekadar formalitas, bukannya mendorong kesadaran jangka panjang akan pentingnya nutrisi.
Mengingatkan Kembali Esensi “No Free Lunch”
Friedman telah memberi kita lensa tajam untuk menilai kebijakan publik. Melalui “no free lunch ,” Ia menyampaikan bahwa setiap kebijakan, betapapun populis dan indahnya, pasti mengandung trade-off. Sederhananya, selalu ada pihak yang akan membayar tagihan, entah melalui pajak, penundaan proyek lain, atau tambahan utang negara yang menjadi beban generasi mendatang.
Dalam konteks makan bergizi gratis, bukan berarti program ini harus dibatalkan. Namun, publik berhak mengetahui bagaimana dana tersebut dihimpun, bagaimana manajemen pelaksanaannya, serta bagaimana dampaknya bagi bidang lain. Dengan kata lain, keterbukaan dan manajemen yang baik adalah kunci agar program ini tidak hanya sukses menekan angka malnutrisi anak, tetapi juga berkelanjutan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Demi Makan Sehat yang Benar-Benar Bermanfaat
Menjadi wajar jika pemerintah ingin menunjukkan keberpihakannya pada kesehatan siswa, karena masa depan bangsa tergantung pada kondisi generasi mudanya. Makan Bergizi Gratis bisa menjadi langkah positif sepanjang kita mengakui bahwa tidak ada kebijakan yang sepenuhnya bebas biaya. Bila kita mengharapkan hasil yang optimal, seyogianya dana yang digelontorkan tidak mengorbankan aspek krusial lain seperti kualitas pengajaran, pembangunan sarana pendidikan, dan pemberdayaan guru.
Pada akhirnya, kebijakan semacam ini justru berpotensi sukses apabila dipadukan dengan transparansi anggaran dan pertanggungjawaban publik. Kita pun tidak perlu alergi mengkritisi program populis. Menyoal asal-usul dana, mekanisme distribusi, hingga dampak jangka panjang bukanlah pertanda menentang kebijakan—justru hal tersebut adalah bentuk kepedulian dan partisipasi demi kebaikan bersama.
ADVERTISEMENT
Penutup
Makan Bergizi Gratis untuk siswa sekolah tentu layak diapresiasi jika dijalankan dengan benar. Namun, kita tidak boleh melupakan pesan Milton Friedman bahwa “tidak ada makan siang gratis. ” Setiap kebijakan pasti memiliki konsekuensi, sering kali tersamar di balik jargon-jargon positif. Semakin kita menyadari hal ini, semakin matang pula cara kita memandang dan mengawal kebijakan publik.
Jadi, ketika anak-anak kita melahap hidangan bernutrisi di sekolah, mari sama-sama memastikan bahwa di balik senyum mereka, tidak ada sektor lain yang diam-diam dibiarkan kelaparan. Dan di sanalah, mungkin, letak keadilan sejati: memastikan semua tagihan terbuka dan adil, sehingga tidak ada “biaya tersembunyi” yang akan menghantui di kemudian hari.