Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
25 Ramadhan 1446 HSelasa, 25 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Kenapa Harus Demo: Jawaban untuk Anggota DPR Termuda yang Kebingungan
23 Maret 2025 20:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gelombang demonstrasi yang muncul mulai dari persoalan kenaikan PPN 12% hingga pengesahan revisi UU TNI rupanya membuat seorang anggota DPR termuda kebingungan, kenapa harus demo katanya. Agak kurang wajar sebenarnya seorang anggota DPR yang dipilih melalui mekanisme demokrasi untuk mewakili aspirasi rakyat tapi tidak mengerti proses demokrasi diluar ruang parlemen. Tapi, okelah mungkin memang harus dijelasin biar kebingungannya tidak berlanjut.
ADVERTISEMENT
Hai, Annisa! Wah, sebagai anggota DPR termuda (dan putri seorang politisi), tentu kamu sudah hafal teori demokrasi sejak TK, ya? Tapi kok pertanyaanmu "kenapa harus demo, bukan diskusi?" bikin saya ikut bingung. Jangan-jangan kamu sedang uji publik, atau mungkin strategi viral seperti respon kepala kantor berita presiden soal teror kiriman bangkai ke Tempo? Ah, sudahlah. Mari kita kupas dengan simple biar sebagai elite kamu ngerti kenapa rakyat memilih demo turun ke jalan.

Jangan Demo mending Diskusi? Tentu! Tapi Siapa yang Diundang
Gini ya Annisa, coba bayangin, di sekolahmu, OSIS hanya mengizinkan anak-anak ketua guru dan anak pejabat yang masuk grup WhatsApp "Forum Aspirasi Siswa". Nah, ketika siswa lain protes soal kantin mahal atau aturan dilarang pakai hoodie? Mereka cuma bisa teriak di luar ruang OSIS sambil bawa spanduk supaya didengar oleh Ketua OSIS. Sementara, si Ketua OSIS update di story instagram foto siswa yang lagi protes sambi ngasih caption "Kan bisa diskusi!" bukannya nyamperin siswa yang lagi protes. Meskipun alasannya OSIS rapat di dalem ruangan, siswa kan ga tau apa yang dirapatin, jangan-jangan mau manggil satpam buat bubarin protes atau nugasin satpam ngegantiin bibi kantin supaya biar harga naik siswa ga bisa protes karena dipelototin satpam sambil bawa pentungan.
ADVERTISEMENT
Nah, Annisa, menurut Charles Tilly, demo adalah bahasa kedua rakyat ketika bahasa pertama—dialog—dibajak oleh orang-orang yang punya akses istimewa. Rakyat demo bukan karena suka ribut, tapi karena kalian sebagai anggota DPR seringkali hanya mendengar suara yang sudah diundang ke ruang rapat mewah kalian di Hotel. Bu Sumarsih aja yang aksi kamisan dari tahun 2007 sampe sekarang belum dapet keadilan, disamperin juga engga, apalagi diundang dan didengarkan aspirasinya. Sederhananya, kalau rakyat bisa diskusi langsung denganmu dan temen-temen kamu di DPR secara setara, buat apa demo? Tapi kan… kursi diskusi di DPR itu bukan untuk rakyat, ya?
Akses Politikmu Beda dengan Akses Politik Pedagang Kaki Lima
Kamu bilang, "diskusi dari hati ke hati lebih efektif". Benar! Tapi hati siapa? Kamu lahir di keluarga elit politik yang langsung punya nomor HP menteri. Tapi coba tanya tukang becak dan pedagang starling di depan gedung DPR yang tiap hari main petak umpet sama Satpol PP, mungkin ngga protesnya direspon? Atau buruh pabrik yang upahnya dipotong bahkan kena PHK demi "efisiensi" berapa menit mereka diizinkan bicara di depan direktur perusahaannya?
ADVERTISEMENT
Soal itu, Charles Tilly menyebut ini ketimpangan mobilisasi. Rakyat jelata tidak punya koneksi, uang, atau privilege untuk "ngobrol santai" di lobi hotel bintang lima. Bagi mereka, demo adalah satu-satunya alat komunikasi politik setelah semua pintu tertutup. Kalau DPR benar-benar menjalankan fungsi representasinya, mungkin tidak perlu ada massa bakar ban di jalanan. Tapi… ribet banget kali ya harus dengerin banyak orang kalo bukan masa kampanye, mendingan healing ngga sih.
Demo Personal buat apa? Emang Demo bukan Soal Personal tapi Soal Kebijakan, Kamu aja yang ga tau
Kamu protes nih kemaren "Demo personal buat apa?" Oh, Annisa, kamu kira rakyat demo ke Istana karena sebel sama potongan rambut wakil menteri? engga lah. Tilly bilang gini dan kamu harus ngerti, "semua kritik pada individu pejabat adalah kritik pada sistem yang ia wakili". Ketika massa demo minta seorang menteri mundur, itu bukan sekadar dendam pribadi, tapi penolakan terhadap kebijakan yang merugikan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Tapi kamu benar juga, demo personal itu ga elit banget ya,... Mending kita backchanneling, kirim WA ke pejabat, lalu masalah selesai di balik pintu. Sayangnya… rakyat ga ada yang punya nomor WA menteri! Mereka hanya punya telapak tangan untuk tepuk spanduk, dan kaki untuk berbaris ke Gedung DPR. Rakyat juga ga sempet buat belajar table manner dulu buat FGD di Fairmont.
Kemana Fungsi Politik DPR Sebagai Corong Aspirasi Rakyat?
Sampai disini, kalau kamu heran kenapa demo masih terjadi? Tanya aja ke cermin. Secara politik DPR seharusnya jadi saluran aspirasi, tapi faktanya, rakyat lebih percaya pada viralnya TikTok daripada surat resmi ke Senayan. Ketika DPR sibuk berebut kursi komisi atau mengurus tunjangan, rakyat mengatur sendiri bikin "rapat umum" di jalanan yang kadang disebut sekedar Demo.
ADVERTISEMENT
Kalo Charles Tilly masih hidup, mungkin dia bakal ketawa baca berita kamu yang kebingungan. Dalam proses politik, jika parlemen gagal menjadi perantara, maka rakyat jadi mediator untuk diri sendiri. Demo adalah bukti bahwa proses politik formal telah gagal dan dikhianati oleh para aktornya sendiri. Kalau DPR bekerja dengan baik menjalankan fungsi politiknya, mungkin demo tidak lagi diperlukan.
Jangan Khawatir, Annisa! Suaramu Pasti Didengar, karena Kamu Bukan Rakyat
Annisa, sebagai wakil rakyat, kamu punya hak istimewa, akses langsung ke kekuasaan, suaramu bisa didengar, kecuali mic nya dimatiin. Makanya, hak istimewa bersuara ini perlu diimbangi dengan kewajiban mendengar karena pemilihmu dulu memilihmu supaya aspirasi mereka didengarkan dan diperjuangkan. Perlu diingat juga, mereka bukan politisi gagal yang kecewa karena tidak terpilih, tapi mereka adalah korban dari sistem yang tuli selektif.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika suatu hari kamu didemo, jangan tersinggung. Itu bukan serangan personal, tapi teguran bahwa kursi DPR-mu mungkin terlalu nyaman hingga lupa mendengar jerit di luar. Sekarang saatnya kamu berpikir bagaiman spanduk demo yang bikin kamu bingung bisa berubah jadi presentasi powerpoint di ruang rapat DPR.