Perlukah PUBG Dilarang untuk Mencegah Kekerasan?

Rolip Saptamaji
Founder Poligrabs Infographic
Konten dari Pengguna
28 Maret 2019 15:20 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rolip Saptamaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Game battle royale PUBG (PlayerUnknown's Battlegrounds). Foto: PlayerUnknown's Battlegrounds
zoom-in-whitePerbesar
Game battle royale PUBG (PlayerUnknown's Battlegrounds). Foto: PlayerUnknown's Battlegrounds
ADVERTISEMENT
Seperti saya, Anda juga pasti terkejut melihat aksi teror di Selandia Baru yang dilakukan oleh seorang pemuda Australia beberapa waktu lalu. Bagaimana tidak, aksi yang disiarkan langsung melalui media sosial tersebut memperlihatkan bagaimana pelaku memberondong penduduk sipil yang baru selesai beribadah salat Jumat di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru, tanpa ampun dengan senapan semi otomatis.
ADVERTISEMENT
Brenton berjalan santai sambil bersiul sebelum masuk ke masjid. Kemudian sesampainya di depan pintu masjid, dia mengokang senapan otomatis miliknya sambil berjalan masuk. Satu per satu orang yang dilihatnya diberondong dengan peluru, bahkan untuk memastikan korban sudah tewas, ia mengulangi tembakannya beberapa kali.
Hasilnya, 49 orang tewas dan puluhan lainnya terluka. Brenton, dalam pengakuannya, sama sekali tidak menyesali perbuatannya, bahkan ia menganggap tindakannya adalah tindakan peringatan bagi imigran muslim dan menginspirasi tindakan serupa di belahan dunia lainnya.
Dengan bantuan action cam, aksi Tarrant terekam dengan baik seperti aksi penembakan dalam gim bergenre first person shooter (FPS). Hal ini sontak membuat banyak orang terkejut dan menduga-duga kalau Tarrant terinspirasi gim.
Di Indonesia, dugaan ini menjadi-jadi ketika dihubungkan dengan kebiasaan bermain gim di smartphone, terutama gim yang secara visual terlihat serupa. Dugaan ini semakin bergerak liar dalam wacana publik hingga akhirnya tuduhan pun jatuh pada 'Player Unknown Battleground' (PUBG), gim aksi bergenre battle royal yang juga menampilkan aksi tembak-menembak.
ADVERTISEMENT
Wacana ini langsung bergulir dan berkembang luas hingga mendapatkan respons dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang menyatakan siap untuk memblokir PUBG setelah kajian MUI yang sebelumnya sudah mewacanakan fatwa haram pada gim ini.
Sebuah tangkapan layar saat insiden penembakan berlangsung, menunjukkan petugas memasuki sebuah masjid di Christchurch, Selandia Baru. Foto: Reuters
Persoalan fatwa haram sebenarnya tidak memiliki urgensi tinggi dalam konteks kebijakan negara karena MUI bukan lembaga negara. Tapi, ketika Kominfo masuk ke dalam wacana ini dan menyatakan ingin memblokir gim tersebut, maka wacana ini sudah masuk ke dalam konteks kebijakan negara, meski baru pada tataran wacana.
Klaim bahwa gim yang menampilkan kekerasan mampu memengaruhi sifat agresif pemainnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Pada Maret 2018, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, juga menuduh video games menjadi penyebab kejadian penembakan di sekolah yang menewaskan 17 orang dan dianggap sebagai kasus penembakan terburuk di Amerika Serikat dalam 5 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
Kepanikan itu memancing banyak pro-kontra yang disiarkan di televisi dan dimuat di media massa. Pernyataan Trump tidak meraih simpati publik di Amerika karena masyarakat sadar betul persoalan penembakan berakar dari akses kepemilikan senjata api dan didorong oleh kasus-kasus bullying di Sekolah.
Klaim video games memengaruhi sifat agresif juga sudah dibantah berkali-kali melalui berbagai penelitian ilmiah, baik penelitian psikologi maupun penelitian perilaku. Penelitian menyatakan bahwa sifat agresif pemain dalam gim sebenarnya didorong oleh kompetisi di dalam gim bukan sifat agresif nyata dari pemain (Adachi & Willoughby, 2011).
Selain itu, sikap agresif yang memicu kekerasan pada kasus-kasus kekerasan remaja lebih didorong oleh persoalan riil yang dihadapi pelaku secara personal, seperti motivasi kelompok, depresi, trauma, dan kekerasan dalam rumah tangga (Gunther & Daly, 2011).
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, wacana kebijakan pelarangan dari pemerintah melalui Kominfo perlu ditinjau ulang urgensinya dan diperkuat oleh penelitian ilmiah yang serius mengenai penyebab kekerasan yang sebenarnya. Perlu dipahami juga bahwa Tarrant juga menulis manifesto politik untuk melegitimasi aksinya, hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan gim tapi berkaitan dengan ideologi.
Jadi, klaim bahwa kekerasan dalam gim menghasilkan kekerasan dalam dunia nyata dengan menghubungkan aksi teror di Selandia Baru dengan PUBG adalah klaim yang sangat lemah dan berpotensi menyesatkan kita dari penyebab kekerasan dan aksi teror yang lebih substansial.
***
Sumber:
Dmitri Williams & Marko Skoric. 2005. Internet Fantasy Violence: A test of Agression in an online games. Communication Monographs.
Whitney D Gunther & Kevin Daly. 2011. Causal or Spurious: Using Propensity Score Matching to Detangle the Relationship between Violent Video Games and Violent Behavior. Michigan University.
ADVERTISEMENT
Ferguson CJ. Et.al. 2011. A longitudinal test of video game violence influences on dating and aggression: a 3-year longitudinal study of adolescents. Journal of Psychiatrich Research
Adachi.J.C,P & Willoughby,T. 2011. The Effect of Video Game Competition and Violence on Aggressive Behavior: Which Characteristic Has the Greatest Influence?. Psychology of Violence.