Konten dari Pengguna

Ada Apa dengan Mentalitas Siswa-Siswa Masa Kini?

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
29 September 2023 13:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: CGN089/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu, Indonesia dikagetkan dengan adanya kasus siswi SD loncat dari lantai 4 gedung sekolahnya. Hingga saat ini, alasan siswa tersebut melompat dan kasusnya masih ditangani oleh kepolisian.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga kasus siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Cilacap, Jawa Tengah, yang merundung temannya walaupun ia diketahui sebagai siswa yang berprestasi. Hal ini menyita perhatian kita semua. Sebenarnya ada apa dengan siswa-siswi sekarang?
Apakah ada permasalahan mental yang dihadapi sehingga berbagai kasus tidak biasa terjadi walaupun sebenarnya kasus perundungan sudah biasa terjadi di sekolah? Namun, tetap saja hal tersebut tidak dibenarkan untuk dilaksanakan.
Menilik kasus tersebut, kita dapat berpikir bahwa ada yang salah dengan mentalitas atau cara berpikir yang dimiliki oleh pelaku kedua kasus tersebut. Kasus-kasus ini menggarisbawahi urgensi untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan memberikan dukungan yang lebih baik kepada siswa.
Juga kesadaran untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung bagi semua siswa—walaupun sebenarnya pada kasus perundungan siswa SMP, kejadian perundungan tidak dilakukan di sekolah.
ADVERTISEMENT
Namun, bisa jadi ada sesuatu yang terjadi melalui kegiatan di sekolah. Kenapa? Sebab, baik itu pelaku maupun korban perundungan menggunakan seragam sekolah yang sama.
Sebelumnya, kita harus mengetahui adanya mentalitas (mindset) yang dapat menjadi penggerak dalam kasus-kasus ini. Mentalitas merujuk pada pola pikir atau sikap mental seseorang. Ini mencakup keyakinan, pandangan hidup, dan cara individu menghadapi berbagai situasi dan tantangan dalam hidup mereka.
Ilustrasi bullying di Korea Selatan. Foto: Rawpixel.com/Shutterstock
Mentalitas terbagi menjadi dua, yaitu mentalitas tetap dan mentalitas pertumbuhan. Individu dengan mentalitas tetap cenderung percaya bahwa kemampuan mereka adalah sesuatu yang tetap dan tidak dapat berubah.
Mereka mungkin cenderung menghindari tantangan. Atau cenderung menghindar untuk menghadapi kegagalan dengan kekecewaan karena rasa takut bahwa itu akan mengungkapkan kurangnya kemampuan mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, adanya individu dengan mentalitas pertumbuhan percaya bahwa kemampuan mereka dapat berkembang melalui usaha, latihan, dan pembelajaran. Mereka melihat kegagalan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.
Anak-anak dengan mentalitas pertumbuhan cenderung memiliki motivasi yang lebih tinggi dalam belajar. Mereka melihat usaha sebagai jalan menuju peningkatan kemampuan, sehingga mereka mungkin lebih termotivasi untuk mengatasi hambatan dalam pembelajaran.
Ini dapat membantu mereka dalam mengembangkan ketahanan terhadap kesulitan akademik. Selain itu, mentalitas pertumbuhan juga dapat membantu anak-anak dalam menghadapi kegagalan.
Mereka melihat kegagalan sebagai peluang untuk belajar dan meningkatkan kemampuan mereka, bukan sebagai tanda kekurangan. Ini dapat mengurangi rasa takut akan kegagalan dan memotivasi mereka untuk terus berusaha.
Mentalitas juga dapat memengaruhi cara anak berinteraksi dengan teman-teman mereka. Anak-anak dengan mentalitas pertumbuhan cenderung lebih terbuka terhadap menerima umpan balik dari teman-teman mereka dan berusaha untuk tumbuh dalam hubungan sosial. Mentalitas dapat berkembang dan berubah seiring waktu.
Ilustrasi perundungan (dibully) atau bullying. Foto: Shutterstock
Pendidik dan orang tua memiliki peran penting dalam mempromosikan mentalitas pertumbuhan dan membantu anak-anak mengembangkan pandangan yang positif terhadap diri mereka sendiri dan kemampuan mereka.
ADVERTISEMENT
Mentalitas seorang anak yang terlibat dalam perundungan bisa sangat beragam, dan banyak faktor yang memengaruhi perilaku perundungan ini. Salah satu karakteristik umum yang terkait dengan anak yang melakukan perundungan adalah kurangnya empati terhadap perasaan dan pengalaman orang lain.
Mereka sering kurang mampu memahami atau tidak peduli dengan dampak negatif yang bisa dialami oleh korban perundungan. Selain itu, anak-anak ini cenderung melakukan perundungan dalam kelompok, merasa lebih kuat dan terlindungi ketika bersama dengan orang lain yang juga terlibat dalam perundungan.
Beberapa dari mereka mungkin juga memiliki keterampilan sosial yang kurang berkembang, kesulitan dalam berinteraksi dengan baik, dan memecahkan konflik dengan cara yang sehat.
Terkadang, dorongan untuk menguasai dan mendominasi orang lain juga dapat menjadi faktor yang memotivasi perilaku perundungan. Hal ini dapat muncul dalam bentuk penghinaan, intimidasi, atau merendahkan korban.
ADVERTISEMENT
Faktor lingkungan, termasuk pengalaman perundungan yang mereka saksikan atau alami di rumah, sekolah, atau media sosial, juga dapat memengaruhi mentalitas mereka terkait perundungan. Meskipun ada banyak faktor yang terlibat, penting untuk dicatat bahwa perilaku perundungan adalah tindakan yang tidak benar dan merugikan.
Melalui hal tersebut, mentalitas bukan hanya tentang cara berpikir, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menghadapi kehidupan dan tantangan. Selain itu, mentalitas seorang siswa harus dibentuk dengan baik karena mentalitas memegang peran yang penting bagi mereka.
Ajarkan anak untuk tidak tinggal diam dan berani mempertahankan kebenaran Foto: Shutterstock
Beberapa di antaranya untuk mengatasi rintangan, kesulitan, motivasi untuk belajar, kepercayaan diri, manajemen diri dari kegagalan, pengembangan keterampilan, mengatasi perasaan putus asa sehingga nantinya diharapkan siswa memiliki kesehatan mental yang baik. Kesehatan mental ini diharapkan nantinya membentuk prestasi bagi anak tersebut.
ADVERTISEMENT
Membentuk mentalitas yang baik pada siswa, terutama mentalitas pertumbuhan (growth mindset) dapat berupa memfasilitasi pembelajaran yang efektif dan perkembangan pribadi yang positif. Penting bagi pendidik dan orang tua untuk secara aktif mengedukasi siswa tentang konsep mentalitas dan perbedaannya dengan mentalitas tetap.
Kita dapat mengarahkan siswa untuk melihat tantangan sebagai peluang untuk tumbuh dan berkembang, serta jangan takut menghadapi kegagalan karena itu adalah bagian alami dari proses pembelajaran.
Selain itu, kita pun dapat memberikan pujian yang diberikan harus fokus pada usaha dan strategi yang digunakan, bukan hanya pada hasil akhir. Lalu, galakkan kemandirian siswa dengan mengajar mereka keterampilan seperti perencanaan, manajemen waktu, dan organisasi.
Modelkan mentalitas pertumbuhan dengan menjadi contoh positif dalam mengatasi kesulitan dan terus belajar sepanjang hidup. Dengan memberikan ruang untuk kegagalan, menggunakan bahasa yang mendukung, dan mendorong kolaborasi, hal tersebut mampu memberikan pengaruh positif kepada siswa dan diharapkan prestasi dapat tercipta.
ADVERTISEMENT