Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ada Apa dengan Siswa Belakangan Ini?
31 Oktober 2023 12:06 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu terakhir, terdapat beberapa kasus kontroversial terkait dunia pendidikan Indonesia melalui peristiwa antara guru dan murid. Peristiwa pertama melibatkan siswa HK yang mengamuk dan menantang gurunya untuk berkelahi di SMA Negeri 1 Buntok, Barito Selatan, Kalimantan Tengah, Senin siang (23/10) lalu.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini terjadi ketika HK, seorang siswa di SMA Negeri 1 Buntok, Barito Selatan, ditegur oleh gurunya karena berpakaian tidak rapi saat hendak masuk ke ruangan untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler bulan bahasa. HK tidak menerima teguran tersebut dan merasa tersinggung. Akibatnya, dia mengajak gurunya untuk berkelahi di depan pintu dan melepas seragam atasnya.
Selain itu, kasus lainnya dialami oleh Akbar Sarosa adalah seorang guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang mengajar di SMK Negeri 1 Taliwang, Sumbawa Barat. Ia menjadi perbincangan hangat dalam lingkungan sekolah dan masyarakat setelah terlibat dalam sebuah insiden yang memicu kontroversi.
Insiden ini melibatkan tindakan hukuman disiplin yang diberikan oleh Akbar Sarosa kepada seorang siswa di sekolahnya. Tindakan ini muncul setelah siswa tersebut menolak untuk berpartisipasi dalam salat berjemaah, yang merupakan salah satu program sekolah.
ADVERTISEMENT
Tindakan disiplin yang diberikan oleh Akbar Sarosa diduga termasuk tindakan fisik, seperti pukulan, yang membuat siswa tersebut dan orang tuanya merasa sangat tidak puas. Mereka percaya bahwa tindakan fisik ini melanggar hak dan kesejahteraan siswa. Orang tua siswa yang merasa bahwa anak mereka telah menerima perlakuan tidak adil melaporkan Akbar Sarosa kepada pihak berwajib, yang mengakibatkan tuntutan hukum terhadap guru tersebut.
Kasus ini menjadi perbincangan publik dan media sosial, dengan berbagai pihak yang mengemukakan pendapat dan dukungan terhadap salah satu pihak yang terlibat. Kasus ini juga menciptakan kekhawatiran tentang dampaknya pada dunia pendidikan, khususnya terkait dengan kedisiplinan siswa dan peran guru dalam menjaga disiplin di sekolah.
Dalam respons terhadap kasus ini, pihak sekolah bersama dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Asosiasi Guru Agama Islam Indonesia (AGAII) telah menyampaikan pernyataan sikap kepada pihak berwenang, yang mencakup tiga tuntutan utama: membebaskan Akbar Sarosa dari tuntutan hukum, memberikan perlindungan hukum bagi profesi guru, dan menolak kriminalisasi terhadap guru dalam menjalankan tugas mereka.
Dari dua kasus tersebut, kita dapat mengambil kesamaan yang terjadi, yaitu sikap seorang siswa, khususnya dalam emosi. Pada peristiwa pertama, sikap dengan emosi yang meluap-luap yang diberikan seorang siswa ke guru tidak dibenarkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun akhirnya berakhir pada sekolah yang mengeluarkan siswa tersebut. Begitu pula pada kasus kedua yang menitikberatkan pada sikap siswa yang diajak salat dan penolakan siswa berdampak pada pemukulan.
Memang, tidak dibenarkan untuk melakukan pemukulan terhadap siswa karena sangat bertolak belakang dengan visi sekolah ramah anak yang digaungkan oleh pemerintah. Sistem mendidik dan mengajar pada masa kini sangat berbeda dengan masa lampau.
Pada masa lampau, ketika seorang guru menarik jambang rambut seorang anak pun karena tidak mengerjakan tugas rumah, murid menganggapnya adalah sebuah hukuman atas tindakan yang tidak patuh kepada aturan yang diberikan guru, bukan dianggap sebagai tindakan kekerasan. Perspektif yang berbeda ini tentunya menjadi sebuah isu sensitif untuk proses belajar dan mengajar.
ADVERTISEMENT
Berbicara terkait dengan sikap anak. Walaupun pada kasus kedua dapat dipahami bahwa salat atau beragama pada dasarnya adalah hak individu, tetapi guru selaku orang tua siswa di sekolah berhak untuk mendidik siswa ke arah yang lebih baik dengan cara yang baik pula. Namun, pertanyaan terkait dengan mengapa siswa-siswa memiliki sifat tersebut menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Kejadian tersebut menciptakan kekhawatiran tentang dampaknya pada kesejahteraan mental HK dan siswa lainnya di sekolah. Siswa yang menunjukkan perilaku yang sangat menantang atau agresif mungkin memerlukan bantuan dan dukungan khusus untuk mengatasi masalah kesehatan mental mereka.
Selain itu, situasi ini menunjukkan tingkat stres yang mungkin dirasakan siswa, terutama karena dampak pandemi COVID-19 dan ketegangan di lingkungan sekolah. Peningkatan stres yang dibawa pada masa pandemi dan memungkinkan adanya dampak yang dialami secara personal dapat memengaruhi cara siswa merespons teguran atau peraturan sekolah.
Kasus-kasus tersebut menyoroti perlunya pembinaan keterampilan kepemimpinan emosional di antara siswa. Siswa perlu belajar cara mengelola emosi mereka dengan baik, terutama saat mereka merasa marah, frustrasi, atau tidak setuju dengan aturan sekolah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sekolah dapat mempertimbangkan peningkatan layanan dan dukungan kesehatan mental bagi siswa, termasuk penyediaan konseling atau sumber daya yang membantu siswa mengatasi tekanan dan masalah emosional. Hal ini diharapkan sangat membantu siswa-siswa dalam mengatur emosi dan tindakan yang akan dilakukannya.
Peran orang tua dalam mendukung kesejahteraan mental anak-anak mereka juga menjadi penting. Orang tua perlu terlibat dalam memahami perasaan dan tekanan yang dialami anak mereka di sekolah. Tentunya jika ada anak yang melaporkan hal yang tidak menyenangkan anak tersebut, orang tua harus dengan kepala dingin melihat dua sisi sehingga menghasilkan keputusan yang bijaksana. Kadang kala, orang tua pun dapat “bersumbu pendek” ketika mendengar laporan yang mungkin saja tidak benar seutuhnya. Hal ini harus diperdalam oleh orang tua.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pengaruh media sosial dalam menyebarkan peristiwa ini juga perlu diperhatikan, karena bagaimana siswa merespons peristiwa yang menjadi viral di media sosial bisa memengaruhi kesejahteraan emosional mereka.
Terakhir, siswa perlu diajarkan keterampilan penyelesaian konflik yang sehat dan konstruktif sehingga mereka dapat mengatasi ketidaksetujuan atau konflik dengan guru atau rekan sekelas secara positif dan mengurangi situasi seperti yang terjadi pada HK.
Keseluruhan, penting untuk memahami dan mengatasi isu-isu kesejahteraan mental dan emosional siswa dalam manajemen perilaku siswa dan dalam menciptakan lingkungan sekolah yang mendukung perkembangan mereka secara holistik. Dengan demikian, sikap siswa dapat menjadi lebih baik lagi dan diharapkan tidak ada kasus yang sama terulang kembali pada masa depan.
ADVERTISEMENT