Amplang Ikan Nila: Usaha UKMKM Kelompok Maninjau

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
Konten dari Pengguna
14 November 2023 6:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi Visiting UMKM dari Universitas Andalas Bekerja Sama dengan DKP Sumbar. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
Amplang, camilan tradisional asli Kalimantan Timur, Indonesia, terkenal dengan cita rasa gurih dan kelezatan yang renyah. Terbuat dari perpaduan ikan tenggiri atau ikan belida dengan tepung tapioka atau sagu, amplang diberi bumbu seperti garam, bawang putih, bawang merah, dan beragam rempah-rempah. Proses produksinya melibatkan pencampuran adonan ikan yang kemudian dicetak atau dipress menjadi bentuk stik atau silinder kecil sebelum digoreng hingga krispi. Daya tarik khusus amplang tidak hanya terletak pada rasa ikan yang khas, melainkan juga pada bentuk menariknya yang sering kali menarik perhatian.
ADVERTISEMENT
Di kota-kota seperti Samarinda dan Balikpapan, amplang telah menjadi oleh-oleh populer dengan pertumbuhan industri yang pesat selama beberapa dekade terakhir. Toko-toko amplang bermunculan dengan ciri khas masing-masing. Pengusaha amplang tidak hanya berfokus pada variasi rasa ikan, tetapi juga menciptakan varian dengan sentuhan inovatif, seperti rasa rumput laut.
Perkembangan amplang tidak hanya mencakup popularitasnya di kalangan lokal, melainkan juga menarik minat wisatawan yang mengunjungi Kalimantan Timur. Sebagai simbol kuliner, amplang mencerminkan kekayaan dan keragaman camilan tradisional Indonesia. Keberhasilannya dalam melestarikan warisan budaya lokal tercermin dalam praktik produksi yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan kemajuan teknologi, pemasaran amplang melalui platform online semakin meluas, memungkinkan orang dari berbagai wilayah untuk menikmati kelezatan camilan ini. Dengan beragam rasa, bentuk yang menarik, dan nilai gizi yang terkandung dalam bahan-bahannya, amplang tetap menjadi salah satu ikon kuliner yang menarik di Kalimantan Timur.
ADVERTISEMENT
Di luar Samarinda, kehadiran amplang juga meluas hingga Sumatera Barat, khususnya di Maninjau, Kabupaten Agam. Di wilayah ini, amplang memiliki variasi yang dikenal sebagai "ampang ikan nila," dan keunikan rasa serta cara penyajiannya dapat membedakannya dari amplang versi lainnya. Inisiatif untuk mengenalkan ampang ikan nila berasal dari Harkisst Harapan Baru, yang terletak di Jorong Muko Jalan, Nagari Tanjung Sani, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pencetusnya untuk mengembangkan usaha amplang, dengan harapan agar produk ini dapat diterima dan dikenal oleh masyarakat luas.
Ilustrasi Amplang. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/kerupuk-kuku-macan-amplang-fish-cracker-2380895485
Ampang ikan nila mungkin memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya, seperti rasa yang lebih unik atau bumbu-bumbu tambahan yang menjadi ciri khas lokal Maninjau. Keberadaan varian amplang ini menunjukkan adaptasi kuliner lokal terhadap keanekaragaman bahan dan selera di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan demikian, ampang ikan nila di Maninjau dapat memberikan pengalaman kuliner yang berbeda dan menarik bagi para penikmat makanan.
ADVERTISEMENT
Ampang ikan nila di Maninjau membedakan dirinya dari wilayah lainnya, terutama dalam pemilihan bahan bakunya yang khas, yakni ikan nila. Dalam wawancara dengan Harkisst (Harapan Kelompok Ibu Sungai Sibaruah dan Sungai Gadang) Harapan Baru, yang dikenal sebagai Ida, terungkap bahwa Maninjau memiliki keberagaman bahan baku ikan, dan ikan nila menjadi salah satu sumber daya utama. Pilihan ini dapat dipahami sebagai upaya untuk menggambarkan karakteristik unik dari danau dan wilayah tersebut dalam bentuk makanan lokal. Selain itu, Ida menyampaikan adanya kekhawatiran di masyarakat Maninjau terkait klaim hak kekayaan intelektual yang dilakukan oleh pihak luar terhadap berbagai usaha dan bahan di daerah tersebut. Sebagai seorang asli Maninjau, Ida dan kelompoknya merasa perlu untuk melibatkan diri dalam pengembangan makanan lokal sebagai bentuk respons terhadap tantangan ini.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, pengembangan ampang ikan nila tidak hanya menciptakan variasi rasa baru, tetapi juga menjadi inisiatif untuk melibatkan komunitas lokal dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam mereka. Pemilihan ikan nila sebagai bahan baku dapat dipandang sebagai langkah cerdas untuk mempertahankan kekayaan sumber daya lokal sambil menciptakan produk kuliner yang unik.
Keputusan untuk fokus pada bahan baku lokal juga mencerminkan kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan pelestarian identitas budaya di tengah perkembangan dan perubahan yang terjadi. Dengan demikian, ampang ikan nila di Maninjau tidak hanya menjadi sajian yang lezat, tetapi juga simbol tanggung jawab terhadap warisan budaya dan lingkungan di wilayah tersebut.
Ilustrasi Bentuk Amplang Maninjau. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/fish-cracker-originally-banjarmasinindonesia-usually-called-1881035800
Ampang di Maninjau tidak hanya terbatas pada penggunaan ikan nila, melainkan juga melibatkan ikan lainnya seperti ikan bada, ikan rinuak (spesies khas Danau Maninjau yang tidak ditemukan di daerah lain), dan bahkan lobster. Keanekaragaman ini memberikan dimensi rasa yang lebih luas dan unik pada produk amplang khas Maninjau. Inisiatif kelompok usaha yang digerakkan oleh Bu Ida bukan hanya dipicu oleh keberagaman bahan baku, tetapi juga oleh pertimbangan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Pendekatan alternatif dalam pengolahan hasil perikanan menjadi amplang membawa manfaat ganda, tidak hanya sebagai produk yang praktis dan mudah dibawa, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian para nelayan dan masyarakat Maninjau secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Keberagaman bahan baku dan nilai tambah yang dihasilkan melalui pengolahan lokal mencerminkan kebijakan kelompok usaha dalam memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dengan cara ini, kelompok usaha bukan hanya menjadi pelaku dalam produksi amplang, tetapi juga sebagai agen perubahan yang positif dalam pemberdayaan ekonomi lokal. Keseluruhan proses ini menciptakan dampak positif, tidak hanya pada tingkat kuliner dan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga pada tingkat ekonomi dan sosial masyarakat Maninjau secara umum.
Melalui inisiatif dan kreativitas seperti pengembangan ampang dengan bahan baku lokal di Maninjau, kita dapat melihat peluang untuk merangsang pertumbuhan ekonomi lokal, melestarikan warisan budaya, dan mendukung keberlanjutan sumber daya alam. Dengan melibatkan komunitas, terutama para nelayan dan warga Maninjau, kita berharap bahwa upaya ini dapat menjadi model untuk pengembangan usaha lokal yang berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat setempat. Harapan kita adalah bahwa makanan lokal seperti ampang dapat terus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berdampak positif pada kehidupan sehari-hari penduduk setempat. Semoga inisiatif semacam ini tidak hanya memberikan kelezatan kuliner, tetapi juga merajut cerita keberlanjutan dan keberagaman dalam konteks budaya Indonesia.
ADVERTISEMENT