Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Budaya Penyucian Diri Melalui Tradisi Hari Tilem Sasih Karo
27 Agustus 2023 5:38 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Tilem Sasih Karo merupakan sebuah peringatan budaya yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali pada malam hari. Peringatan ini dilaksanakan setiap tanggal 26 Agustus. Perayaan ini merupakan unifikasi (pada proses atau tindakan menggabungkan, menyatukan, atau mengintegrasikan beberapa elemen yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan yang lebih besar atau koheren) kalender yang dilaksanakan pada abad ke XX ketika Belanda datang menguasai Indonesia (Ramdhani, 2020).
ADVERTISEMENT
Unifikasi ini dilakukan sebagai kepentingan aspek pariwisata, sedangkan bagi masyarakat Hindu yang diwakili oleh para tokoh, tujuan unifikasi ini adalah penyatuan persepsi waktu diadakannya upacara. Unifikasi ini ternyata telah dilaksanakan sejak sekitar tahun 1930-an sehingga menghasilkan rekonstruksi kalender yang disebut sebagai Penampih Sasi Karo dan Kawulu.
Pada kalender ini, terdapat rekonstruksi yang bertujuan untuk penyesuaian jatuhnya purnama Kartika (sasih kapat) dan purnama waisaka (sasih kadasa) (Ramdhani, 2020). Penyelenggara kalender ini berfungsi sebagai kriteria kemapanan melalui syarat keberlakuan ditetapkan otoritas tunggal, dan konsistensi kriteria yang disepakati.
Nantinya, penyamaan persepsi dan konsepsi terkait dengan waktu melalui tokoh agama Hindu yang tersebar di seluruh Bali akan memberikan pengaruh pada aspek religius, politik, dan pariwisata.
Pada saat perayaan ini, umat Hindu dianjurkan untuk menyediakan wangi-wangian di sanggar atau di parahyangan dan di tempat tidur dengan tujuan untuk menghilangkan segala bentuk dosa dan kekotoran dalam diri.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, perayaan ini untuk menghormati gelap. Sebelumnya, kita harus memahami pengertian sasih dalam masyarakat Bali. Sasih dapat dipahami sebagai perhitungan baik atau buruk sebuah hari berdasarkan sebuah bulan.
Sistem perhitungan yang digunakan adalah letak matahari, uttarayana (utara), wiswayana (tengah), dan daksinaya (selatan). Melalui konsep tersebut, masyarakat Bali yang memeluk agama Hindu mempercayai adanya 12 sasih, yaitu sasih kasa, sasih karo, sasih katiga, sasih kapat, sasih kalima, sasih kanem, sasih kapitu, sasih kasanga, sasih kadasa, sasih jiyesta, dan sasih sadha (Budiani dan Sari, 2022).
Pada hari ini juga dilaksanakan berbagai kegiatan untuk menolak bala, seperti tradisi Mejaga-jaga yang dilaksanakan di Desa Pakraman Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapua Kaja, Klungkung. Tujuan tradisi ini adalah menghindari malapetaka bagi warga desa (Indradewi, dkk., 2021).
Tradisi ini dipusatkan di titik cats pata desa setempat dengan menggunakan seekor benteng sebagai kurban suci yang akan diarak keliling desa dan ditebas untuk dicecerkan darahnya di jalan karena dipercaya sebagai penetralisir desa (Indradewi, dkk., 2021).
ADVERTISEMENT
Darah dalam hal ini dipercaya sebagai obat untuk berbagai macam penyakit sehingga warga berebut mengambil darah tersebut dan melumurinya ke seluruh badan. Tidak hanya itu, tradisi ini pun menjadi sebuah karya busana dan pernah dianalisis oleh Indradewi, dkk.
Selain itu, adanya kegiatan lain yang dilaksanakan pada hari Tilem Sasih Karo, yaitu Sanghyang Grodog, sebuah upacara keagamaan yang memiliki keunikan berupa banyaknya Sanghyang (23 Sanghyang) yang dipentaskan pada setiap hari perayaan tersebut.
Sebagai sebuah budaya penyucian diri, Tilem Sasih Karo berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan kesucian diri untuk menyejahterakan alam dan isinya karena semua makhluk diyakini akan kembali ke hadapan yang Maha Suci (Kemenag, 2016).
Dengan demikian, masyarakat Hindu di Bali tekun melaksanakan persembahan dan pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi melalui waktu Rahina Tilem.
ADVERTISEMENT
Rahina Tilem sendiri dapat dipahami sebagai waktu bagi seluruh umat Hindu melaksanakan puja bakti kepada Sang Hyang Widhi untuk memohon anugerah sehingga muncul jiwa yang bersih pada pikiran, perkataan, dan perbuatan. Biasanya, pada perayaan ini, masyarakat Hindu akan melaksanakan persembahyangan bersama dengan durasi waktu kurang lebih 1 jam.
Perayaan ini dilakukan melalui pemujaan saat malam hari agar sepi atau hening (Tribun Bali, 2021). Dengan melakukan pemujaan ini, manusia akan diberikan pahala berupa segala noda dan dosa yang akan teruwat.
Kegiatan Tilem Sasih Karo ini dilakukan melalui pemujaan kepada gelap kepada Siwa. Dalam konteks kebudayaan Bali, pemujaan dilakukan tidak hanya pada bulan terang atau purnama, tetapi juga pada buan yang gelap. Hal ini menunjukkan bahwa gelapnya bulan mati (tilem) tidak kurang dari hormat kepada terang bulan purnama.
ADVERTISEMENT
Saat tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala keburukan berupa dosa, noda, dan kotoran dalam diri. Hal ini pun digambarkan melalui manuskrip nusantara berupa lontar Sundarigama yang dapat diterjemahkan bahwa pada saat tilem, seseorang wajib menghilangkan segala bentuk dosa dan kekotoran diri.
Hal ini pun dapat dilakukan dengan memberikan wangi-wangian di sanggar atau parahyangan dan di tempat tidur yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadari (TribunBali, 2021). Budaya ini patut dihormati oleh semua agama dan menjadi kekhasan bagi masyarakat Hindu di Bali sebagai keberagaman yang memiliki makna yang begitu mendalam.