Motinggo Busye: Sensualitas dalam Sastra

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Universitas Andalas dan Peneliti Kajian Gender dan Feminisme
Konten dari Pengguna
10 November 2023 14:33 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Roma Kyo Kae Saniro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sastra. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/old-books-quill-pen-vintage-inkwell-1947616498
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sastra. Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/old-books-quill-pen-vintage-inkwell-1947616498
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Latar belakang hubungan antara sastra dan sensualitas mencerminkan kerumitan dinamika budaya dan seni dalam masyarakat. Sejak zaman kuno, sastra erotika telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan sastra global. Karya-karya klasik seperti "Kama Sutra" dari India, puisi Sappho dari Yunani, dan cerita-cerita rakyat dari berbagai budaya mencakup unsur-unsur erotika sebagai cara untuk merayakan keindahan dan kompleksitas hubungan sensual. Namun, seiring dengan munculnya teknologi cetak dan media audiovisual, representasi sensualitas modern menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Penggabungan sastra dengan sensualitas membuka ruang diskusi tentang representasi gender dan keindahan tubuh. Beberapa karya sastra menggunakan kebebasan bahasa dan imajinasi untuk mendekati isu-isu ini secara artistik, merayakan keintiman dengan kehalusan dan keindahan. Sastra dan sensualitas mencerminkan dan membentuk norma-norma sosial sekitarnya, menjadi cermin budaya yang menghasilkannya.
Seni sensualitas juga dapat berfungsi sebagai bentuk apresiasi estetika dan kritik keindahan, mencoba menyoroti keunikan pengalaman sensualitas dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dengan pergeseran lanskap media dan perkembangan teknologi, hubungan ini terus berkembang, memunculkan pertanyaan menarik tentang batas seni, kebebasan ekspresi, dan peran pengalaman sensualitas dalam mencerminkan serta membentuk identitas budaya.
Enny Arrow dan Fredy S. dikenal sebagai penulis yang berhasil menciptakan karya-karya sastra dengan daya pikat sensual, membangkitkan imajinasi pembaca terkait hasrat seksual. Keduanya telah menciptakan warisan sastra Indonesia dengan karya-karya yang sering kali menjadi pusat perhatian karena kontennya yang menantang dan provokatif.
ADVERTISEMENT
Dengan sejumlah novel erotis, Enny Arrow berhasil memikat pembaca melalui bahasa yang menggoda dan alur cerita yang menarik. Karyanya sering kali dianggap kontroversial karena menjelajahi ranah sastra yang jarang dieksplorasi di Indonesia pada zamannya.
Fredy S., penulis lain yang menonjol dalam sastra sensual, dikenal karena karyanya yang berani mengeksplorasi tema-tema dewasa. Karya-karyanya membahas tidak hanya aspek fisik, tetapi juga dimensi emosional dalam hubungan manusia.
Walaupun keduanya menciptakan karya dengan muatan sensual, respons masyarakat terhadap karya mereka cenderung bervariasi. Sebagian mengapresiasi keberanian mereka dalam mengeksplorasi aspek kehidupan yang umumnya dianggap tabu, sementara yang lain mungkin mengkritik karena dianggap melanggar norma-norma moral tertentu.
Penting untuk diingat bahwa sastra memiliki genre dan sudut pandang yang beragam, dan karya-karya dengan muatan sensual adalah bagian dari keragaman tersebut. Pandangan terhadap karya Enny Arrow dan Fredy S. dapat mencerminkan norma dan nilai-nilai budaya pada masa mereka serta perubahan dalam pandangan masyarakat terkait erotika dan kebebasan berekspresi.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak hanya kedua pengarang tersebut yang terkenal pada tahun 1950—1968-an, pengarang lainnya adalah Motinggo Busye. Selain Motinggo Busye, adanya pengarang Darmo Ario. Kemudian, adanya pengarang pengikut (pengarang yang meniru-niru, pengarang-pengarang “mendadak”) yaitu Min Jotanya, Benny L, Fonny S, Hino Minggo yang dapat dikatakan bahwa mutu-mutu peniru ini sangatlah jauh dari Motinggo, baik perwajahan kover novel maupun isi dan cara berceritanya (Sumardjo, 199: 153-159).
Motinggo Busye, sebagai tokoh yang mencuat dalam dunia sastra populer, menjadi sorotan ketika memberikan ceramah di TIM pada tahun 1968. Keberhasilannya dalam menulis novel-novel dengan muatan sensual dan eksplisit membuatnya menjadi pusat perhatian. Namun, popularitasnya juga menimbulkan berbagai reaksi yang kontroversial, terutama dari kalangan sastrawan.
ADVERTISEMENT
Para sastrawan memberikan gugatan terhadap Motinggo Busye, merespons karyanya yang dianggap sebagai pergeseran dari norma-norma sastra yang diakui pada masa itu. Protes tidak hanya datang dari masyarakat luas, tetapi juga dari lingkungan sastrawan sendiri, yang melihat karyanya sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai sastra konvensional.
Novel-novel Motinggo Busye sering diidentifikasi sebagai bagian dari kategori "buku hiburan dewasa" karena penekanannya pada adegan-adegan seksual. Meskipun karya-karya ini dapat dilihat sebagai ekspresi seni dan kebebasan berekspresi, beberapa pihak menganggapnya sebagai tindakan provokatif yang melanggar norma-norma moral dan etika sastra.
Ilustrasi "Buku Hiburan Dewasa". Sumber: https://www.shutterstock.com/image-photo/book-carnival-mask-331922537
Kritik terhadap Motinggo Busye mencerminkan perdebatan yang lebih luas dalam masyarakat seputar batas-batas seni, kebebasan berekspresi, dan pertanyaan etika terkait dengan representasi sensual dalam sastra. Pandangan terhadap karyanya menciptakan keragaman interpretasi di antara masyarakat dan menimbulkan pertanyaan tentang peran seniman dalam meredefinisi batas-batas seni dan kreativitas. Menurut Jacob Sumardjo (1979: 56), buku-buku saku Motinggo Busye yang telah beredar dengan berpuluh-puluh jumlahnya tidak termasuk ke dalam kategori buku sex hiburan.
ADVERTISEMENT
Hampir semua buku-bukunya mengupas kenakalan remaja (delikwensi), broken home kalangan high class, penyelewengan-penyelewengan sexuil dan sebagainya yang bercampur dalam tiap bukunya. Di dalam tiap buku dengan sendirinya mempunyai “jalan cerita” sendiri. Orang yang ingin mendapatkan “kepuasan” lebih baik membeli buku “Tante Girang” saja dibandingkan harus mendapatkannya di “tempat-tempat tertentu”.
Motinggo Boesje atau Motinggo Busye memiliki nama lahir Bustami Djalid. Motinggo lahir di Kupang Kota, 21 November 1937 dan meninggal di Jakarta, 18 Juni 1999 pada umur 61 tahun. Selain sebagai sastrawan, Motinggo juga dikenal sebagai sutradara dan seniman Indonesia. Awal kariernya dalam dunia tulis-menulis dimulai ketika Tomoyuki Yamashita datang ke rumahnya dan memberi mesin ketik. Mesin itu akhirnya menjadi sahabatnya untuk mencurahkan ide-ide.
ADVERTISEMENT
Semenjak tekun membaca buku-buku sastra Balai Pustaka, minatnya tumbuh untuk terjun di dunia sastra. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat hadiah pertama sayembara penulisan drama dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bagian kesenian pada tahun 1958. Cerpennya yang berjudul Nasehat Buat Anakku mendapat hadiah majalah Sastra pada tahun 1962.
Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain bahasa Ceko, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Jepang, dan Mandarin. Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Sepanjang hidupnya Motinggo telah menulis lebih dari 200 karya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, D. C..
Di taman kota Seoul, Korea Selatan, namanya terpahat indah di antara 1.000 penyair dunia. Ia juga sempat menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, ia juga menyukai seni lukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karyanya.
ADVERTISEMENT
Novel-novel populer dari Motinggo Busye seperti Perempuan itu Bernama Barabah (1963), Cross Mama (1966), Tante Maryati (1967), Sri Ayati (1968), Madu Prahara (1985), Fatimah Chen Chen (1999), Nyonya dan Nyonya (1963), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963), dll (Wikipedia dalam jaringan).
Motinggo Busye memberikan kontribusi yang signifikan bagi sastra Indonesia. Meskipun kontroversial karena muatan sensual dalam karyanya, Motinggo Busye berhasil menciptakan karya-karya sastra yang menarik perhatian pembaca dan meraih pengakuan di tingkat nasional maupun internasional.
Karya-karya Motinggo Busye, terutama yang mengeksplorasi aspek seksualitas, dapat dianggap sebagai usaha untuk menggali dan memahami dimensi-dimensi kompleks dari kehidupan manusia, serta bagaimana budaya memandangnya.