Konten dari Pengguna

Bentuk Bumi Tidak Bulat Maupun Datar, Ini Penjelasan Geospasialnya

Romanio Bahama Lazuardy
ASN Badan Informasi Geospasial
8 Februari 2021 6:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romanio Bahama Lazuardy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Planet bumi. Foto: Qimono via Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Planet bumi. Foto: Qimono via Pixabay
ADVERTISEMENT
Penerjemahan bentuk bumi di kalangan masyarakat telah terbagi dua sejak lama. Kepercayaan bahwa bumi memiliki bentuk datar merupakan ciri khas kosmologi kuno sampai sekitas abad keempat sebelum masehi.
ADVERTISEMENT
Bahkan di era modern seperti saat ini, terdapat organisasi International Flat Earth Society sebagai wadah para penganut teori bumi berbentuk datar bertukar pikiran. Meskipun sudah terdapat banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa bumi berbentuk bulat, para penganut paham bumi datar tetap bergeming.
Namun, bagaimana dari sisi para peneliti di Indonesia menanggapi isu tersebut? Merujuk pada gelaran diskusi yang dihadiri Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2018 lalu, bumi memiliki bentuk memang tidak bulat, namun tidak pula datar, melainkan elipsoid dengan permukaannya tidak beraturan karena berbagai topografi yang ada di bumi ini

Pemodelan Bumi di Indonesia

Dari sisi geospasial, BIG melalui Pusat Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika (PJKGG) selalu berupaya menyediakan data yang akurat dan terbaru soal lnformasi Geospasial Dasar (IGD) berupa Jaring Kontrol Geodesi (JKG).
ADVERTISEMENT
Secara sederhana, JKG merupakan suatu sistem referensi koordinat nasional yang dapat menetukan lintang, bujur, tinggi, skala, gaya berat, dan orientasinya yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Tantangan pemodelan bumi di Indonesia yakni negara kepulauan dengan lima pulau besar dan beberapa pulau kecil dengan total 16.056 pulau yang bernama dan berkoordinat, serta masih banyak lagi pulau yang sedang dan akan dilakukan verifikasi lebih lanjut.
Salah satu karakteristik negara kepulauan adalah variasi perairan yang berbeda setiap wilayahnya. Perbedaan variasi tersebut menyebabkan adanya perbedaan pasang surut yang berimplikasi pada perbedaan sistem referensi geospasial vertikal.
Urgensi ketersediaan model geoid teliti Indonesia selain sebagai sistem referensi geospasial vertikal juga berguna untuk unifikasi sistem tinggi di semua wilayah.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari pernyataan Kepala Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika BIG tahun 2018, Antonius Bambang Wijanarto (kini menjabat Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik BIG), ketersediaan data gaya berat akan bermanfaat bukan hanya untuk pemodelan Bumi di Indonesia, namun juga bisa menjelaskan bagaimana bentuk Bumi sesungguhnya apakah bulat atau datar.
Ilustrasi bentuk geoid
Selain dari sisi geospasial, bagaimana bentuk Bumi ini juga akan dikupas dari sisi geodesi dan astronomi

Bentuk dasar bumi dapat membantu mensejahterakan kehidupan manusia

Sementara itu, dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, menegaskan, dengan bukti pengamatan pemodelan Bumi, maka sudah tegas bentuk bumi itu bulat.
ADVERTISEMENT
Dia menunjukkan melalui bumi dan bulan, peradaban manusia bisa menciptakan teknologi-teknologi yang bisa dimanfaatkan, salah satunya adalah satelit komunikasi. Dengan dasar bumi dan bulan, jelasnya, manusia bisa merancang dan menghasilkan penerbangan yang murah sebab manusia menggunakan astronomi bola.
Dasar bumi bulan, menurutnya, juga bukan hanya bisa menentukan arah kiblat saja tapi juga memudahkan jalur penerbangan pendek.
"Dengan dasar bumi bulan ini kami bisa mempelajari untuk bisa menyejahterakan manusia. Sedangkan mengenai Bumi datar tidak akan cukup waktu karena tidak ada ujungnya," katanya.

Cara sederhana buktikan bentuk bumi itu bulat

Dilansir dari Live Science, sebetulnya ada berbagai cara untuk membuktikan bentuk bumi tanpa menggunakan satelit, mulai dari yang murah dan mudah hingga yang butuh dana lebih.
ADVERTISEMENT
Pertama, melalui kapal yang berlayar di atas lautan. Cara ini sebetulnya telah diajarkan sejak sekolah menengah melalui pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Namun, mari kita bahas lebih jauh.
Saat kapal berlayar menjauh dari dermaga, lambung kapal akan menghilang ditelan cakrawala lebih dulu dibandingkan dengan tiang kapal. Hal sebaliknya berlaku saat kapal datang dari lautan, tiang kapal terlihat lebih dulu dibandingkan dengan lambung kapal.
Jika Anda ingin membuktikannya sendiri, bawalah teleskop atau teropong dan pergi ke pelabuhan. Dengan daya penglihatan yang lebih jelas, kapal masih akan menghilang di bawah kurva bumi.
Kedua, perhatikan bintang. Cara ini kali pertama ditemukan oleh filsuf Yunani Aristoteles pada 350 SM. Garis lintang yang berbeda akan menciptakan perbedaan konstelasi bintang, misalnya Bintang Biduk dan rasi bintang Crux.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ini hanya dapat dijelaskan karena bumi berbentuk bulat. Sebab, bila bumi berbentuk piringan, bintang biduk dan rasi bintang Crux akan bisa dilihat dari bagian bumi mana pun.
Ketiga, perhatikan gerhana. Lagi-lagi kita akan menengok pada pembuktian Aristoteles. Murid Plato itu melakukan eksperimen pada gerhana bulan. Saat itu, bayangan bumi di wajah matahari melengkung. Fenomena gerhana matahari menandakan bahwa bulan, bintang, dan planet saling mengorbit.
Keempat, panjatlah pohon. Cara ini sangatlah mudah dan setiap orang bisa melakukannya. Dengan naik ke tempat yang lebih tinggi, Anda bisa melihat lebih jauh dari sebelumnya.
Kelima, jika Anda cukup beruntung dengan punya banyak uang, naiklah penerbangan keliling dunia. Berdasarkan studi yang dipublikasikan dalam jurnal Applied Opticstahun 2008, kurva Bumi agak terlihat pada ketinggian sekitar 10 kilometer, selama Anda punya sudut pandang 60 derajat.
ADVERTISEMENT
Keenam, melalui balon cuaca. Hal ini pernah dilakukan oleh mahasiswa University of Leicester pada Januari 2017 yang mengikatkan kamera di balon cuara. Naik hingga naik 23,6 kilometer, rekaman menunjukkan adanya lengkungan cakrawala.
Terakhir, cara yang cukup murah dan sederhana yaitu pembandingan bayangan. Cara ini pernah digunakan oleh matematikawan Yunani bernama Eratosthenes untuk memperkirakan keliling bumi.