Lukisan dan Literasi untuk Merdeka

Romi Febriyanto Saputro
Pustakawan Ahli Madya Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen
Konten dari Pengguna
5 April 2023 18:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Romi Febriyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karya-karya Raden Saleh. Foto: Andin Danaryati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Karya-karya Raden Saleh. Foto: Andin Danaryati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (2004), seni lukis Indonesia modern terhitung sejak munculnya Raden Saleh (1814 – 1880). Raden Saleh memperoleh banyak pelajaran seni lukis Barat zaman renaisans. Sepeninggal Raden Saleh, seni lukis Indonesia modern mengalami kemunduran hampir setengah abad, walaupun pada masa itu muncul beberapa pelukis. Baru pada awal abad 20, muncul pelukis R Abdullah Suriobroto, Wakidi, dan Mas Pringadi. Mereka melukis pemandangan alam dengan realistis. Keberadaan pelukis Indonesia ini didampingi oleh sejumlah pelukis Belanda, seperti Jan Frank Roland Strasser, Gerald P Adolfs, yang umumnya adalah para pelukis pemandangan alam.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1937, pelukis S Sudjojono membentuk organisasi Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), yang mengobarkan semangat pelukis Indonesia untuk bangkit mencari jati diri. Perjuangan Sudjojono ini dibantu beberapa pelukis, seperti Agus Djaya, G.A. Sukirno, dan Otto Djaya. Setelah Indonesia merdeka sampai tahun 1960 Indonesia memunculkan banyak sanggar seni lukis, di antaranya sanggar Pelukis Rakyat (1947) dengan anggota Affandi, Hendra Gunawan, dan Sudarso. Pada tahun 1948 di Bandung berdiri Universitaire Opleiding voor Tekenaren, yaitu perguruan tinggi seni rupa yang di kemudian hari dikenal dengan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung.
Dunia seni rupa di tanah air tumbuh di masa perang revolusi merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia merupakan titik puncak dari kehendak untuk bersatu. Kehendak untuk bersatu dari semua suku, agama, ras, dan golongan yang ada di tanah air tercinta ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ernest Renan (1882), bahwa syarat utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah keinginan untuk bersatu. Orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu.
ADVERTISEMENT
Tidak setiap negara yang merdeka adalah satu Nationale Staat. Sejarah nasional Indonesia mencatat ada dua Nationale Staat pada masa lalu yakni Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Di luar itu bukanlah Nationale Staat. Mataram, Pajajaran, Kalingga, Pajang, Singasari, dan Kahuripan bukanlah Nationale Staat. Indonesia terbentuk dengan ciri yang amat unik dan spesifik. Berbeda dengan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Yunani, yang menjadi suatu negara bangsa karena kesamaan bahasa. Atau Australia, India, Sri Lanka, Singapura, yang menjadi satu bangsa karena kesamaan daratan. Atau Jepang, Korea, dan negara-negara di Timur Tengah, yang menjadi satu negara karena kesamaan ras.
Indonesia menjadi satu negara bangsa meski terdiri dari banyak bahasa, etnik, ras, dan kepulauan. Hal itu terwujud karena kesamaan sejarah masa lalu; nyaris kesamaan wilayah selama 500 tahun Kerajaan Sriwijaya dan 300 tahun Kerajaan Majapahit dan sama-sama 350 tahun dijajah Belanda serta 3,5 tahun oleh Jepang. Inilah yang disebut dengan persatuan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kehendak bersatu yang kuat mendorong Raden Saleh untuk membuat lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro dengan maksud untuk menangkal lukisan hoax yang disebarkan oleh pelukis Belanda Nicolas Pieneman pada tahun 1835. Lukisan Pieneman yang dipersembahkan ntuk De Kock dengan judul "Penyerahan Pangeran Diponegoro" ini menceritakan penangkapan sutradara Perang Jawa ini dalam versi penjajah. Lukisan ini menceritakan Sang Pangeran yang menyerahkan diri dengan wajah lemah, letih, dan lesu. Sementara itu, Jenderal De Kock yang selama lima tahun pusing tujuh keliling menghadapi taktik perang gerilya berdiri dengan wajah gagah dan berwibawa.
Dalam lukisan Pieneman tangga tempat Pangeran Diponegoro berdiri lebih rendah daripada tangga tempat Sang Jenderal Belanda berdiri sambil menunjukkan tangan kepada Sang Pangeran. Seperti sebuah isyarat yang menyuruh Pangeran menuju kereta jurusan Batavia. Menurut Peter Carey, penulis buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785 – 1855), lukisan Pieneman memancarkan situasi yang kaku dan terkesan formal. Sebaliknya, lukisan Raden Saleh (1857) diperkaya oleh nuansa kesedihan dan drama, dengan gambaran sikap keras para perwira Belanda yang berlawanan dengan wajah-wajah sendu pengikut Diponegoro.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Pieneman yang menggunakan frasa “menyerah” dalam judul lukisan, Raden Saleh mengunggah “Penangkapan Pangeran Diponegoro” sebagai judul lukisan. Penangkapan yang didahului oleh taktik licik diramu dengan tipu daya undangan silaturahmi pada tanggal 2 Syawal 1245 H bertepatan dengan 28 Maret 1830. Model tipu daya inilah yang paling membuat saya jengkel setiap membaca buku sejarah Indonesia. Kejengkelan yang selalu berulang karena adegan tipu daya ini selalu terulang pada episode perjuangan melawan kolonialisme negeri tulip.
Raden Saleh memilih sudut pandang lukisan dari arah kiri sehingga kibaran bendera penjajah merah putih biru di goresan kuas Pieneman, menjadi tidak terlihat di lukisan hasil goresan tangan pelopor seni rupa modern ini. Raden Saleh melukis Sang Pangeran dengan kepala tegak menantang, tanpa sedikit pun rasa takut menatap wajah Jenderal De Kock. Sikap ksatria Sang Pangeran ini berpadu dengan wajah-wajah penuh duka dari para pengikut Sang Pangeran yang terlihat tidak membawa senjata sama sekali.
ADVERTISEMENT
Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” adalah ekspresi sikap anti kolonialisme Raden Saleh. Sikap ini juga terlihat pada lukisan beliau yang berjudul “Perburuan Singa”. Serupa.id menulis bahwa pada lukisan ini tampak segerombolan pemburu yang beretnis Timur Tengah (Arab) sedang berusaha untuk memburu Singa. Latar perburuan di gurun padang pasir yang sepertinya bukan habitat asli dari Singa. Singa memang hidup di savana Afrika, namun bukan di padang pasir timur tengah. Padahal Raden Saleh pernah berkunjung ke timur tengah dan pastinya mengetahui fakta ini. Perburuan singa yang berlatar di timur tengah ini tampaknya bukan hanya sekadar lukisan dokumentasi semata.
Pada tahun 1882 Inggris berhasil menalukkan Mesir dan beberapa negara Timur tengah lainnya. Singa dikenal sebagai lambang Kerajaan Inggris. Mungkinkah lukisan pertarungan dengan Singa ini mengalegorikan keadaan Timur Tengah pada masa itu? Dilihat dari korelasinya hal tersebut sangatlah relevan. Gambar pada lukisan ini adalah kumpulan simbol yang menyuarakan penjajahan Inggris pada masa itu. Meskipun Mesir telah kalah, mereka masih tetap ingin berjuang untuk merebut kembali kemerdekaannya
ADVERTISEMENT
Pangeran Diponegoro merupakan ikon perjuangan yang memberi inspirasi pada setiap zaman. Pertempuran yang beliau pimpin seolah tidak pernah dihentikan oleh dimensi waktu dan ruang. Sungguh tepat jika pada tahun 1943 Chairil Anwar membuat puisi dengan salah satu bait berbunyi “ Di masa pembangunan ini/tuan hidup kembali/Dan bara kagum menjadi api/Di depan sekali tuan menanti”. Poster-poster berwajah pangeran ganteng dan berwibawa ini pernah menjadi viral pada awal tahun 1900-an.
Muhammad Subarkah (2019) menulis bahwa sosok Diponegoro memang sempat menghilang dari ingatan publik Jawa setelah dia ditaklukkan dalam perundingan yang licik di kediaman Residen Magelang seusai lebaran 1830. Setidaknya dalam kurun lima puluh tahun setelah kematiannya yang terjadi pada tahun 1850, keberadaan dia menghilang. Tapi, bertepatan dengan munculnya Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada awal dekade pertama tahun 1900-an, nama dia muncul ke publik. Berbagai poster dan rapat-rapat kedua pelopor organisasi pergerakan kebangsaan menuju Indonesia itu, mulai memunculkan namanya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah kolonial pun mulai mencermati sekaligus mengkhawatirkan munculnya sosok dia. Apalagi itu kemudian 'mengejewantah' pada sosok ' raja Jawa tanpa Mahkota', HOS Cokroaminoto, yang merupakan guru Bung Karno itu, Semaun, hingga Kartosuwiryo. Maka para pejabat kolonial saat itu mulai mengkerenyitkan kening ketika melihat poster wajah Diponegoro terpajang di tembok dan pepohonan pinggir jalan. Di kalangan para pendidik, terutama pendidikan pribumi/swasta (Belanda menyebut sekolah-sekolah liar), sosok Diponegoro dipopulerkan dari mulut ke mulut