Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Merdeka Membaca, Merdeka Belajar, dan Merdeka Berbudaya
13 April 2023 15:13 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Romi Febriyanto Saputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 27 Februari 2023, media memberitakan bahwa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim meluncurkan program Merdeka Belajar episode ke-23 bertajuk Buku Bacaan Bermutu untuk Literasi Indonesia di Jakarta. Nadiem menceritakan pengalaman mengunjungi perpustakaan sekolah di sejumlah daerah. Pada umumnya, buku-buku bertumpuk dan berdebu karena jarang digunakan. Selain itu, banyak buku yang topiknya tidak berhubungan dengan minat siswa. Kunci dari program Merdeka Belajar adalah perubahan paradigma. Buku yang seru untuk anak-anak sangat diperlukan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi kelangkaan buku bermutu yang sesuai minat siswa, Kemendikbudristek mendistribusikan sekitar 15 juta eksemplar dari 716 judul buku disertai pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20.000 pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar pada 2022. Mengutip riset Inovasi Literacy Thematic Study pada 2020 terkait perubahan nilai literasi siswa. Dalam penelitian itu disebutkan, melalui pelatihan, kemampuan membaca anak meningkat 10 persen. Namun, jika dikombinasikan dengan pemberian buku bacaan, peningkatannya bertambah menjadi 18 persen.
Menurut Nadiem, distribusi buku oleh Kemendikbudristek belum bisa menjangkau semua sekolah di Nusantara. Oleh karena itu, program ini diharapkan menjadi gerakan kolaborasi sehingga perlu didukung berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, sekolah, komunitas, dan keluarga. Membeli buku-buku cerita 100 persen boleh dari dana BOS (bantuan operasional sekolah). Ini sama pentingnya dengan buku paket atau buku kurikulum, meskipun banyak sekolah yang masih ragu.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang ditempuh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI ini menunjukkan bahwa Merdeka Membaca, Merdeka Belajar, dan Merdeka Berbudaya merupakan satu rangkaian gerbong pendidikan yang tidak boleh terpisahkan. Merdeka Membaca adalah adalah titik awal untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menemukan potensi, bakat, cita-cita, talenta, kreasi, dan inovasi yang sudah diinstal oleh Tuhan Yang Maha Pencipta kepada setiap manusia ciptaanNya.
Membaca adalah proses panjang untuk memiliki ilmu pengetahuan. H.A.R Tillar (2002) menandaskan bahwa proses memiliki ilmu pengetahuan lebih penting ketimbang memiliki ilmu pengetahuan itu sendiri. Mengapa? Karena ilmu pengetahuan itu terus tumbuh dan berkembang.
Hari ini seorang individu tidak mungkin lagi menguasai semua pengetahuan yang berkembang pesat di dunia ini. Manusia hanya mampu menguasai proses memiliki pengetahuan. Proses memiliki ilmu pengetahuan tidak lain daripada suatu proses belajar. Proses belajar ini tidak mungkin lagi dapat dikuasai melalui proses mendengar atau proses transisi dari sumber ilmu pengetahuan (guru) tetapi melalui berbagai sumber ilmu pengetahuan yang dapat diketahui melalui proses membaca.
ADVERTISEMENT
Kajian Akademik Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Tahun 2022 menjelaskan bahwa kurikulum yang berlaku di Indonesia sering dipandang kaku dan terfokus pada konten. Tidak banyak kesempatan tersedia untuk betul-betul memahami materi dan berefleksi terhadap pembelajaran. Isi kurikulum juga dianggap terlalu teoritis, sulit bagi guru untuk menerjemahkannya secara praktis dan operasional dalam materi pembelajaran dan aktivitas kelas.
Salah satu perubahan yang diusung dalam kebijakan Merdeka Belajar adalah terjadi pada kategori kurikulum. Dalam hal pedagogi, Kebijakan Merdeka Belajar akan meninggalkan pendekatan standarisasi menuju pendekatan heterogen yang lebih paripurna memampukan guru dan murid menjelajahi khasanah pengetahuan yang terus berkembang.
Murid adalah pemimpin pembelajaran dalam arti merekalah yang membuat kegiatan belajar mengajar bermakna, sehingga pembelajaran akan disesuaikan dengan tingkatan kemampuan siswa dan didukung dengan berbagai teknologi yang memberikan pendekatan personal bagi kemajuan pembelajaran tiap siswa, tanpa mengabaikan pentingnya aspek sosialisasi dan bekerja dalam kelompok untuk memupuk solidaritas sosial dan keterampilan lunak (soft skills).
ADVERTISEMENT
Moh. Yamin (2009) mencatat bahwa Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa kemerdekaan siswa merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun. Kemerdekaan ini diinternalisasikan sedemikian rupa sehingga mereka merasa sudah berada dalam kehidupannya, bukan kehidupan yang lain yang diupayakan masuk dalam kehidupannya.
Berilah kemerdekaan kepada anak-anak kita, bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju ke arah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kehidupan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Kurikulum Merdeka menghendaki baik siswa maupun guru memiliki kedudukan sebagai subjek belajar. Sebagai subjek belajar, keduanya dituntut aktif untuk mencari data, informasi dan interpretasi dari materi pelajaran. Siswa dituntut bersikap kritisisme terhadap materi pelajaran, bukan sekadar meniru, copy paste dan menghafal yang diberikan guru. Dengan strategi ini siswa dan guru didorong memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan sekolah.
Paulo Freire (2008) dalam buku yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas menganjurkan, proses belajar mengajar hendaknya membangkitkan nalar dan kreativitas siswa dengan cara memotivasi siswa belajar mencari data, menganalisisnya dalam arti sebenarnya.
Cara belajar sistem bank hanya akan menghasilkan pemahaman materi pelajaran yang bersifat instan dan tidak menyeluruh. Ada kalanya beberapa unsur materi pelajaran yang susah dipahami siswa, tetapi siswa terpaksa menerima begitu saja dengan menghafal. Model penerimaan materi pelajaran demikian, hanya akan menghasilkan pemahaman yang mudah terlupakan. Akibatnya proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana statis, monoton dan membosankan.
ADVERTISEMENT
Perpustakaan diharapkan dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan siswa guna memperoleh hasil belajar yang optimal. Meminjam istilah dari teori dua faktor Frederick Herzberg, peran perpustakaan adalah sebagai faktor higinis. Berfungsi mencegah terjadinya ketidakpuasan siswa dalam mencari informasi dan data yang diperlukan. Faktor higinis memang tidak berkaitan langsung dengan prestasi siswa, tetapi tanpa tersedianya perpustakaan sekolah yang memadai dapat mengganggu kelancaran proses belajar mengajar.
Perpustakaan dapat dimanfaatkan siswa dan guru sebagai tempat pembelajaran di luar kelas. Kebutuhan siswa untuk melakukan active playing (belajar aktif), interpretation (interpretasi), make sense (masuk akal), negotiation (pertukaran pikiran), cooperative (kerjasama) dan inquiry (menyelediki) dapat dilakukan di perpustakaan sekolah. Di perpustakaan siswa juga dapat melaksanakan konsep belajar mengetahui (learning to know), belajar melakukan (learning to do), belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar seumur hidup (life long learning).
ADVERTISEMENT
Perpustakaan sekolah merupakan lingkungan strategis untuk mengubah budaya lisan ke arah budaya tulisan atau membaca. Perpustakaan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengalami pengetahuan sebagai proses penguatan karakter sekaligus kesempatan untuk belajar dari lingkungan sekitarnya. Di perpustakaan siswa memiliki kesempatan untuk mempelajari tema-tema atau isu penting seperti kebudayaan yang sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya sehingga siswa bisa melakukan aksi nyata dalam menjawab isu-isu kebudayaan sesuai dengan tahapan belajar dan kebutuhannya.